YERUSALEM (Arrahmah.com) – Puluhan ribu warga Palestina yang tinggal di wilayah Yerusalem timur telah hidup tanpa air mengalir selama lebih dari satu bulan, korban dari infrastruktur jompo dan pendudukan “Israel”.
Penduduk di kamp penggungsi Shuafat secara teknis bagian dari kota Yerusalem. Namun mereka tinggal di luar tembok besar pemisah Tepi Barat yang dibangun oleh “Israel”. Jadi, layanan “Israel” tidak aktif di sana namun otoritas Palestina dilarang beroperasi di sana atau mengembangkan sistem air, lansir Daily Star (7/4/2014).
Otoritas lokal “Israel” mengklaim sistem air yang ada tidak bisa menangani pertumbuhan penduduk yang cepat.
Dengan musim panas terik yang mendekat, warga setempat semakin putus asa. Kebutuhan dasar menjadi sebuah tantangan. Hujan telah menjadi suatu kemewahan. Keluarga di sana sering mengirimkan pakaian mereka ke kerabat di kota lain untuk mencucinya.
“Enam puluh hari, itu merupakan waktu yang banyak bagi kami,” ujar Hani Taha, seorang tukang daging lokal. “Akan ada kekacauan di sini.”
“Israel” merebut Yerusalem timur dalam perang di tahun 1967. Setelah perang mereka menggambar ulang batas kota Yerusalem, memperluas ke Tepi Barat untuk mencaplok tanah milik Palestina.
Pencaplokan itu tidak pernah diakui secara internasional, namun tidak ada satu pun komunitas internasional yang berani memberi sanksi kepada “Israel”. “Israel” menganggap Yerusalem timur sebagai bagian dari ibukota, membangun sebuah cincin distrik Yahudi di sekitar kota.
Warga Palestina telah lama mengeluh bahwa jalan, sekolah dan pelayanan publik tidak ada untuk lingkungan Arab di Yerusalem timur. Situasi telah memburuk untuk daerah seperti Shuafat sejak “Israel” membangun tembok pemisah satu dekade terakhir.
Hambatan yang diklaim “Israel” diperlukan untuk menjaga penyerang memasuki kota, telah memotong beberapa pemukiman, meninggalkan ribuan orang di luar. Siapa pun masuk atau keluar shuafat, misalnya, harus melewati sebuah pos pemeriksaan militer “Israel”.
Penduduk mengatakan mereka pertama kali mulai merasakan krisis air pada bulan lalu ketika aliran air dihentikan pada tanggal 4 Maret. Sejak itu layanan telah langka dan sering tidak ada. Warga membeli botol atau jerigen air untuk memenuhi kebutuhan.
“Ketika anak-anak saya ingin pergi ke sekolah, tidak ada air untuk mandi. Suami saya pergi untuk bekerja dan mengenakan pakaian yang sama,” ujar Umm Osama al-Najar, menunjuk tumpukan piring kotor di wastafel dapurnya.
“Kadang-kadang saya pergi ke kamar mandi dan merasa jijik, terutama ketika begitu banyak orang menggunakan kamar mandi dan tidak ada air untuk menyiram. Ini sangat penting bahwa kami harus mendapatkan air kembali.”
Di tahun lalu warga telah menderita kekurangan air, namun tahun ini adalah yang terburuk seingat mereka. Sebagian besar masalah berasal dari konstruksi tembok pemisah “Israel”.
“Tanpa air bisa kita hidup?”Ujar Aida subhi Hamoud, seorang ibu dari 11 anak yang telah tinggal di wilayah itu selama 40tahun.
“Kami mampu untuk membeli air untuk minum, tapi bagaimana dengan sisanya, cucian, kamar mandi? Air adalah sumber kehidupan di rumah.” (haninmazaya/arrahmah.com)