BANGKOK (Arrahmah.com) – Dua jurnalis yang menjadi tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik yang berkaitan dengan berita yang mereka tulis bahwa ada dugaan beberapa perwira Angkatan Laut Thailand terlibat dalam perdagangan Muslim Rohingya, telah meminta komisi hak asasi manusia untuk membantu mereka dalam kasus tersebut dimana mereka bisa diancam hukuman penjara selama tujuh tahun, sebagaimana dilansir oleh WorldBulletin, Jum’at (4/4/2914).
Alan Morison, seorang warga Australia, editor berita di website Thailand berbahasa Inggris yang bernama Phuketwan, dan reporter lokal Chutima Sidasathien bertemu dengan Komisaris HAM Thailand Niran Pitakwatchara di Bangkok pada Jum’at (4/4/) untuk membahas tuduhan yang dapat dikenakan terhadap mereka di bawah undang-undang negara Thailand tahun 2007 tentang kejahatan komputer.
Sebelum pertemuan tersebut, Sidasathien mengatakan kepada Bangkok Post bahwa perbuatan tersebut – yang melarang peredaran berita yang dapat menyebabkan kepanikan atau dipandang sebagai hal yang dapat merugikan keamanan nasional – mengancam kelangsungan hidup media di negeri ini dan juga mengancam pengembangan professionalnya.
Artikel kontroversial tersebut diterbitkan secara online pada tanggal 17 Juli tahun lalu. Artikel tersebut mengutip paragraf dari sebuah laporan yang dirilis oleh kantor berita Reuters yang berjudul “Pemerintah Thailand terlibat dalam jaringan penyelundupan Muslim Rohingya.”
Rohingya adalah minoritas Muslim yang teraniaya yang tiba di Thailand setelah melarikan diri dari Myanmar barat dengan menggunakan perahu melalui Laut Andaman.
Perwakilan dari media yang menerbitkan berita Rohingya tersebut mengatakan bahwa berita tersebut didasarkan pada investigasi mendalam yang diambil selama beberapa minggu. Rincian tuduhan tersebut mengatakan “beberapa pasukan keamanan angkatan laut Thailand secara sistematis bekerjasama dengan para penyelundup untuk mendapatkan keuntungan dari lonjakan warga Rohingya yang melarikan diri.”
Menurut laporan itu, para penyelundup di Thailand terus menerus memukuli warga Rohingya sehingga mampu menekan keluarga mereka untuk mengirimkan uang tebusan kepada para penyelundup, dan orang-orang yang keluarganya tidak bisa membayar akan dijual ke peternakan atau perkebunan sebagai buruh kontrak, atau bekerja sebagai budak di kapal ikan Thailand.
Angkatan Laut Thailand mengajukan tuntutan pencemaran nama baik terhadap website tersebut tahun lalu, tetapi belum mengajukan keluhan terhadap kantor berita Reuters di Bangkok.
Dalam sebuah artikel yang diposting di situs Phuketwan, Morison mengatakan: “Sayangnya, tindakan hukum yang keliru ini yang dilakukan oleh Angkatan Laut Thailand cenderung merusak reputasi Thailand sebagai negara demokrasi. Angkatan laut di negara demokrasi tidak akan menggugat media.”
Pada 17 April jaksa akan mempertimbangkan apakah akan mengajukan dakwaan terhadap dua wartawan tersebut. Jika gugatan tersebut diterima, mereka bisa menghadapi ancaman hukuman penjara lima sampai tujuh tahun, denda 100.000 Baht, atau bahkan keduanya.
Human Rights Watch mengatakan bahwa angkatan laut Thailand harus menghentikan upayanya untuk membungkam wartawan dan sebaliknya mereka harus mengizinkan otoritas sipil untuk melakukan investigasi yang menyeluruh dan imparsial terkait dengan dugaan perdagangan manusia dan penganiayaan serius lainnya terhadap ‘manusia perahu’ Rohingya yang dilakukan oleh personel angkatan laut Thailand.
(ameera/arrahmah.com)