RAKHINE (Arrahmah.com) – Para pejabat Myanmar menolak untuk mendaftarkan responden minoritas Muslim di negara bagian Rakhine yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Rohingya, dan memaksa mereka untuk mendaftarkan diri mereka sebagai “Bengali”, merujuk kepada imigran ilegal dari Bangladesh.
Keputusan pemerintah Myanmar tersebut telah mengingkari janji sebelumnya bahwa sensus penduduk yang didanai oleh UNFPA PBB tersebut akan dilaksanakan sesuai dengan standar internasional, yang memungkinkan setiap responden untuk mengidentifikasi etnis mereka sendiri, sebagaimana dilansir oleh Burma Times, Senin (31/3/2014).
Langkah ini disambut baik oleh para pemimpin Budha Rakhine, tapi hal ini secara langsung menyebabkan masalah selama pelaksanaan sensus penduduk antara rumah tangga Rohingya di sekitar di Sittwe yang dilaksanakan pada Senin (31/3/).
Ribuan tim pendaftaran sensus penduduk, yang terdiri dari para guru sekolah, mulai melakukan wawancara di kalangan rumah tangga di seluruh Myanmar pada Ahad (30/3) untuk melaksanakan sensus penduduk nasional pertama di bekas negara yang dikuasai militer selama beberapa dekade.
Tapi juru bicara Presiden Ye Htut mengatakan kepada tim pendaftaran, “Jika kita bertanya kepada sebuah keluarga tentang etnis mereka dan mereka mengatakan Rohingya, kita tidak akan mendaftarkannya.”
“Jika mereka mengatakan Bengali atau etnis lain itu tidak apa-apa. tetapi jika mereka mengatakan Rohingya kita tidak akan mendaftar,” katanya kepada wartawan di sela-sela pertemuan antara Presiden Thein Sein dan pemimpin partai politik pada Sabtu (29/3).
Zaw Maung Aye, Menteri Divisi Rangoon untuk urusan Rakhine mengatakan, “”Orang-orang kami tidak perlu melakukan boikot lagi, karena Menteri Khin Yi telah datang dan secara pribadi mengatakan kepada saya bahwa presiden telah setuju untuk melakukan apa yang kami minta.”
Budha Rakhine telah mengancam akan memboikot sensus tersebut karena Rohingya akan diizinkan untuk mendaftarkan etnis mereka sendiri di bawah metodologi sensus penduduk PBB.
Pada Ahad (30/3), dentuman tembakan telah mengancam penduduk desa Myint Lhut / Mayru lwa, dan kota Maung Daw di negara bagian Rakhine di malam hari sekitar pukul 19:00 sampai pukul 22:00 yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar dan menangkap seorang pemimpin agama Hashimmullah dan mengancamnya untuk menulis Bengali berkali-kali dalam daftar sensus penduduk.
Beberapa warga Muslim Rohingya dipukuli oleh tentara Luntheen yang mengancam Muslim untuk tidak menulis Rohingya dalam sensus penduduk.
Pasukan keamanan mengatakan, “Anda bukan warga negara ini dan Anda adalah keturunan dari negara-negara tetangga seperti Bangladesh, Pakistan, India dan Nepal dan lain-lain,” sebagaimana dilansir oleh Burma Times, Ssenin (31/3).
Kemudian beberapa warga Rohingya membalas kepada mereka dan mengatakan, “sesuai dengan latar belakang sejarah Myanmar kami sudah membuktikan bahwa kami adalah warga negara dari negara ini dan kami memiliki negara ini tanpa penolakan dan diskriminasi rasial. “
Diskriminasi rasial ini telah menciptakan kekerasan sektarian berdarah antara ekstrimis Budha Rakhine dan Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine Myanmar.
Banyak Budha Rakhine yang menghawatirkan bahwa pengakuan pemerintah terhadap keberadaan Muslim Rohingya akan menggeser demografi negara bagian Rakhine yang akhirnya akan mengancam dominasi Budha di negara itu.
Data pemerintah tahun 2010 mencatat bahwa penduduk negara bagian Arakan berjumlah sekitar 3.340.000 orang, dimana penduduk Muslim berjumlah 29 persen.
(ameera/arrahmah.com)