JAKARTA (Arrahmah.com) – Ratusan warga Nahdliyin memadati tabligh akbar bertajuk “Memperkokoh aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari penyimpangan Syi’ah” yang dilaksanakan di Jl. Otista II, RW.09, Kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta, Ahad (30/3/2014). Acara berlangsung dari jam 08.00 – 11.30, dilaksanakan di jalan depan Madrasah Al Kamiliyyah, dengan penyelenggara Lisan Al-Hal, Al Bayyinat, Front Anti Aliran Sesat (FAAS) dan LKS Maqashid Syariah.
Salah seorang pembicara, Habib Ahmad Zain Al-Kaff menyerukan kaum Muslimin Indonesia bersatu dalam menentang kesesatan aqidah Syi’ah, agar pembatain terhadap kaum Muslimin yang sedang terjadi di Suriah, Iraq, Pakistan tidak terjadi di Indonesia.
Dirinya menghimbau agar perbedaan organisaasi, baik NU, Muhammadiah, PERSIS dan sebagainya. Serta perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’iyyah tidak menyebabkan Ahlussunnah wal Jama’ah terpecah sehingga terlena dan melupakan musuh bersama.
Pengurus MUI Jawa Timur dan Majelis Tinggi NU ini mengatakan tentang kedudukan kaum Muslimin di luar NU, “Mereka adalah keluarga besar Ahlussunnah. Bagi yang tahlil silahkan tahlil, bagi yang tidak silahkan. Namun jangan saling menyerang sesama Ahlussunnah,” kata Habib Zain
Hal yang senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Muhammad Baharun, “Ahlussunnah wal Jama’ah bersatu dalam satu barisan, selesai masalahnya.”
Kerena perbedaan sesama Ahlussunnah hanyalah perbedaan dalam masalah furu’ yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sedangkan perbedaan dengan Syi’ah adalah perbedaan yang tidak pernah bisa disatukan, kerena perbedaannya menyangkut masalah aqidah.
Ketua Komisi Hukum MUI Pusat ini juga mengingatkan dampak buruk jika Ahlussunnah tidak bersatu, musuh akan bergembira. “Syi’ah, Ahmadiah dan Liberal akan menari-nari di atas penderitaan kita,” demikian tausiyah Prof. Baharun dihadapan ratusan kaum Muslimin.
Salah satu penyebab Ahlussunnah di Indonesia dapat diintervensi oleh Syi’ah, menurut Prof Baharun, adalah kerena Ahlussunnah di Indonesia tidak lagi bangga dengan nama-nama para sahabat. Anak-anak mereka, yayasan-yayasan, masjid-masjid, dan majelis ta’lim tidak lagi dinamakan dengan nama-nama sahabat.
“Salah satu penyebabnya kerena tidak menghargai ulama-ulama terdahulu, terutama dari kalangan para sahabat. Ummat Islam tidak berbangga lagi dengan para sahabat, anak-anaknya tidak dinamakan lagi dengan nama para sahabat,” ujarnya.
Akhirnya, Prof. Baharun menghimbau kepada masyarakat, jika ada orang yang terang-terang mencaci maki para sahabat, maka laporkan kepada pihak yang berwajib! Kerena hal tersebut bertentangan dengan fatwa ulama-ulama Indonesia yang berhimpun dalam MUI. Begitu juga jika ada praktek mut’ah di suatu kampung, segera laporkan! Kerena hal tersebut disamping bertentangan dengan Islam, juga bertentangan dengan UU perkawinan di Indonesia. (azm/maududi/arrahmah.com)