JAKARTA (Arrahmah.com) – Kembali media menjadikan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sebagai target bulan-bulanan. Berkenaan dengan pernyataan Pengasuh Majelis Anshor At-Tauhid, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang mengatakan SBY kafir pada hari Senin (25/4/2011) di Pengadilan Negeri Jakarta.
Menurut Ustadz Ba’asyir, SBY pantas disebut kafir karena gagal menjalankan syariat Islam di Indonesia. “Itu sudah menjadi konsekuensi, jika seorang pemimpin di negara ini tidak menjalankan syariat Islam dengan benar. Sangat pantas jika saya mengatakan bahwa SBY itu seorang kafir,” tegas Ustadz Ba’asyir.
“Pemimpin manapun yang memimpin negara ini, tetapi tidak menjalankan hukum Islam dengan sebagaimana mestinya, maka hukuman yang layak diberikan kepada orang itu adalah hukum kafir,” ungkap Ba’asyir.
Apalagi selama pemerintahan SBY, ummat Islam selalu terpojokan dengan berbagai macam fitnah dan tuduhan. Karena itu, cara yang harus ditempuh seorang pemimpin adalah menjalankan hukum Islam secara benar, lanjut Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Sementara dalam pemberitaan di www.suarapembaruan.com ditulis, “Lebih lanjut Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ini mengatakan Negara Islam Islamiah (NII) adalah wajib hukumnya. Sehingga, siapa yang tidak mampu melaksanakan dapat dikatakan murtad. Kecuali, jika memang belum mampu tetapi sudah memiliki niat.”.
Tampak sekali disini suarapembaruan.com berusaha menggiring opini hubungan antara Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dengan isu NII yang sekarang sedang hangat diperbincangkan. Padahal sepenulusuran arrahmah.com, tak ada satu media pun yang menuliskan bahwa ustadz Abu Bakar Mengatakan kata ‘Negara Islam Islamiyah (NII)’, melainkah kata Daulah Islamiyah.
Dalam persidangan pun tampak Jaksa seolah menggiring Ustadz Abu Bakar Ba’asyir pada wacana NII. Jaksa meminta tanggapan Ba’asyir apakah setuju dengan Negara Islam Indonesia (NII). Ustadz Ba’asyir menjawab, “Wajib, kalau saudara orang Islam enggak setuju murtad saudara. Setiap negara wajib diatur dengan hukum Islam.”
Berkaitan dengan pernyataan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir marilah kita buka lembaran sumber dari segala sumber hukum Ummat Islam. Dalam Al Qur’an dijelaskan,
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian yang telah diturunkan Allah kepadamu” (Al-Maaidah:49)
Lihatlah Negara ini, sudahkah para pemimpinnya memutuskan segala perkara berdasar atas hukum Allah. Bila tidak maka mereka semua itu termasuk bagian dari apa yang disebut dengan thagut. Padahal dengan jelas Allah menegaskan dalam surat An Nahl ayat 36, “Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) “sembahlah Allah saja dan jauhilah Thaghut itu”.
Begitu pula dengan jelas Allah berfirman “Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja” (Yusuf: 76).
Di sini jelas Allah melarang menghukumi sesuatu berdasar pada undang-undang selain undang-undang yang dibuat Allah yaitu kitabullah Al-Qur’anul Kariim.
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya ada petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kita itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah, oleh orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah : 44).
Kalau sudah jelas demikian, maka dimanakah posisi hukum keimanan para pemimpin kita? (m1/arrahmah.com)