JAKARTA (Arrahmah.com) – Demokrasi telah dihukumi syirik akbar oleh para ulama. Demokrasi adalah ideologi syirik besar, sama dengan syiriknya orang musyrik Quraisy yang menyembah berhala di samping menyembah Allah. Tapi ada di kalangan ulama, mubaligh dan ustadz-ustadz yang berkeyakinan bahwa demokrasi syirik akbar, mereka mentakwil demokrasi boleh diamalkan untuk mengurangi madhlorot yang menimpa umat Islam.
Atas perkara itu, Amir Jamaah Anshorut Tauhid, ustadz Abu Bakar Ba’asyir mengatakan, “Adapun para ulama, mubaligh dan ustadz-ustadz yang menakwilkan demokrasi seperti ini tetap sebagai Muslim namun mereka terjerumus ke dalam kesalahan yang haram untuk diikuti . Mereka tidak murtad, karena mereka berkeyakinan bahwa hukum asal demokrasi adalah syirik akbar.”
Berikut ini adalah penjelasan selengkapnya ustadz Ba’asyir tentang hal itu dalam bentuk dialog antara Majelis Syari’ah JAT dengan ustadz yang sedang menjalini hari-harinya di penjara LP Pasir Putih Nusakambangan ini, yang diterima redaksi Ahad (9/3/2014).
Bayan singkat ustadz Abu Bakar Ba’asyir tentang demokrasi
Majelis Syari’ah : Ustadz, bagaimana yang sebenarnya keyakinan ustadz tentang demokrasi ? Ini perlu kami tanyakan karena di luar simpang-siur mengenai keyakinan ustadz tentang demokrasi.
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir : Demokrasi adalah ideologi syirik besar, sama dengan syiriknya orang musyrik Quraisy yang menyembah berhala di samping menyembah Allah. Orang musyrik Quraisy yang menyembah berhala menyekutukan Alloh yang berhak disembah tidak boleh lainnya disekutukan dengan berhala, maka Tuhannya dia ada dua yaitu Alloh dan berhala. Demikian pula orang yang rela mengamalkan demokrasi juga menyekutukan Alloh dalam kedaulatan menetapkan hukum. Dalam Islam, kedaulatan menetapkan hukum mutlak di tangan Alloh, sedang ajaran demokrasi menetapkan kedaulatan menetapkan hukum ada di tangan manusia atau rakyat atau wakilnya (DPR) maka Alloh disekutukan dengan manusia. Maka Tuhannya orang yang rela mengamalkan demokrasi adalah dua, yaitu Alloh dan manusia (rakyat atau wakilnya di DPR), maka syiriknya demokrasi sama dengan syiriknya menyembah berhala.
Majelis Syari’ah : Bagaimana yang sebenarnya di Indonesia, demokrasi termasuk masalah zhohiroh atau khofiyah?
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir : Kalau di kalangan ormas atau parpol demokrasi adalah masalah zhohiroh, karena buku-buku dan keterangan-keterangan sudah banyak dan jelas. Tetapi kalau di desa-desa terpencil, demokrasi termasuk masalah khofiyah, karena tidak adanya buku-buku dan tidak adanya keterangan-keterangan oleh para ilmuwan tentang demokrasi.
Majelis Syari’ah : Tapi ada di kalangan ulama, mubaligh dan ustadz-ustadz yang berkeyakinan bahwa demokrasi syirik akbar, yakni beliau mentakwil demokrasi boleh diamalkan untuk mengurangi madhlorot yang menimpa umat Islam. Bagaimana pendapat ustadz ?
Ustadz Abu Bakar Ba’asyir : Itu takwil sesat dan bathil, menyalahi sunnah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam. Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengizinkan para pengikutnya untuk kompromi dengan orang-orang musyrik Quraisy dengan kemusyrikan mereka demi mengurangi madhlorot yang menimpa mereka. Bahkan tetap menentang syirik berhala dan tidak mau kompromi sedikitpun meskipun madhlorot yang menimpa mereka makin berat.
Abu Jahal la’natullah alaihi pernah menawar kompromi dengan cara bergantian 1 tahun menyembah Alloh menurut ajaran Islam dan 1 tahun menyembah Alloh dan berhala menurut ajaran musyrikin Quraisy. Alloh langsung menurunkan wahyu yang melarangnya dan menegaskan tidak boleh ada kompromi dengan kemusyrikan mereka. (Al Qur’an surah Al Kafiruun). Akibatnya tekanan makin berat sampai usaha membunuh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam. Lalu Alloh memerintahkan beliau shollallohu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah. Ancaman yang membolehkan terpaksa mengamalkan demokrasi dan terpaksa pura-pura membenarkannya bila diancam pembunuhan atau siksaan berat yang dia tidak mampu menanggung atau melawannya.
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Alloh menimpanya dan baginya azab yang besar” (QS. An Nahl (16): 106).
Adapun para ulama, mubaligh dan ustadz-ustadz yang menakwilkan demokrasi seperti ini tetap sebagai muslim namun mereka terjerumus ke dalam kesalahan yang haram untuk diikuti . Mereka tidak murtad, karena mereka berkeyakinan bahwa hukum asal demokrasi adalah syirik akbar.
(azm/arrahmah.com)