(Arrahmah.com) – Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabatnya serta umatnya yang komitmen menjalankan syariatnya. Amma ba’du.
Bab I
Mentauhidkan Allah dalam bidang kekuasaan, hukum dan ketaatan
Ketentuan 2
Kedaulatan di tangan Allah Ta’ala semata, Dia-lah Penguasa sebenarnya yang berhak menetapkan hukum dan undang-undang. Allah-lah Pemberi yang sebenarnya, adapun penguasa [khalifah dan para pembantunya] hanya membagi-bagikan karunia Allah. Allah Ta’ala yang menciptakan dan memberi rizki seluruh makhluk, maka Allah semata pula yang berhak memerintah, melarang dan mengatur semua makhluk dengan hukum dan undang-undang yang ditetapkan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah semata.” (QS. Yusuf [12]: 40)
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan Allah tidak menjadikan seorang pun sebagai sekutu dalam menetapkan hukum-Nya.”(QS. Al-Kahfi [18]: 26)
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi (wafat tahun 671 H) berkata: “Imam Ibnu Amir, Hasan Al-Bashri, Abu Raja’, Qatadah dan Al-Jahdari membaca ayat tersebut dengan huruf ta’ dan mensukunkan huruf kaf dengan Nabi sebagai lawan bicara:
وَلَا تُشْرِكْ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan janganlah engkau [wahai Muhammad] menjadikan seorang pun sebagai sekutu bagi Allah dalam menetapkan hukum-Nya.” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 13/254, tahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 1427 H)
Qira’ah Ibnu Amir merupakan salah satu dari qira’ah sab’ah yang diterima secara bulat oleh kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
“Ketahuilah, Allah semata yang memiliki hak [kemampuan] menciptakan dan Allah semata pula yang memiliki hak memerintah [secara mutlak].” (QS. Al-A’raf [7]: 54)
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Janganlah kalian memakan sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah atasnya dan sesungguhnya sembelihan tersebut adalah kefasikan [haram]. Dan sesungguhnya setan-setan membisikkan kepada pengikut-pengikutnya untuk mendebat kalian [tentang keharaman bangkai]. Maka jika kalian menaati mereka [dalam hal menghalalkan bangkai] niscaya sungguh kalian benar-benar telah menjadi orang-orang musyrik.” (QS. Al-An’am [6]: 121)
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka [orang-orang Yahudi dan Nasrani] menjadikan para ulama dan ahli ibadah [pendeta] mereka sebagai Rabb-rabb [tuhan-tuhan pembuat aturan] selain Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 31)
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Katakanlah [wahai Muhammad]: Hai orang-orang Ahli Kitab [Yahudi dan Nasrani], marilah kalian kepada kalimat persatuan diantara kami dan kalian, yaitu jangalah kita beribadah kecuali kepada Allah semata dan janganlah kita menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya serta janganlah sebagian kita mengangkat sebagian lainnya sebagai Rabb-rabb [tuhan-tuhan pembuat aturan] selain Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 65)
ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Itulah hukum Allah, Allah memutuskan perkara diantara kalian dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Mumtahanah [60]: 10)
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Dan janganlah sebagian kalian mengangan-angankan kelebihan karunia yang Allah berikan kepada sebagian kalian atas sebagian lainnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 32)
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Allah tidak dimintai pertanggung jawaban atas apa saja yang Allah lakukan, namun mereka akan dimintai pertanggung jawaban [atas apa saja yang mereka lakukan].” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 33)
Hadits no. 4:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada Muadz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ طَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ طَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ طَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali hal yang engkau dakwahkan adalah mengajak mereka untuk bersaksi bahwa tiada Ilah [Tuhan yang berhak disembah] selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka menaati ajakanmu tersebut, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat wajib lima kali dalam sehari semalam. Jika mereka menaatimu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat dalam harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka da diberikan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka telah menaatimu, maka janganlah engkau mengambil harta-harta berharga mereka dan takutlah engkau kepada doa orang yang dizalimi, sebab antara dia dengan Allah tidak ada satu pun penghalang.”
Dalam riwayat Muslim yang lain dengan lafal:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sebuah kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama kali hal yang engkau dakwahkan adalah mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah semata…” (HR. Bukhari no. 1495, 7372 dan Muslim no. 19)
Hadits no. 5:
Dari Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ، فَقَالَ:”يَا عَدِيُّ اطْرَحْ هَذَا الْوَثَنَ مِنْ عُنُقِكَ”، فَطَرَحْتُهُ، فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَقْرَأُ سُورَةَ بَرَاءَةٌ، فَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ: “اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِحَتَّى فَرَغَ مِنْهَا، فَقُلْتُ: إِنَّا لَسْنَا نَعْبُدُهُمْ، فَقَالَ:”أَلَيْسَ يُحَرِّمُونَ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَتُحَرِّمُونَهُ وَيُحِلُّونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ، فَتَسْتَحِلُّونَهُ؟”قُلْتُ: بَلَى، قَالَ:”فَتِلْكَ عِبَادَتُهُمْ”,
“Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam sementara di leherku masih ada sebuah kalung salib yang terbuat dari emas. Maka beliau bersabda: “Lepaskanlah berhala ini dari lehermu!” Saya pun melepaskannya [membuangnya]. Saya sampai ke hadapan beliau sementara beliau sedang membaca surat Bara-ah [At-Taubah], sampai saat beliau membaca ayat:
“Mereka [orang-orang Yahudi dan Nasrani] menjadikan para ulama dan ahli ibadah [pendeta] mereka sebagai Rabb-rabb [tuhan-tuhan pembuat aturan] selain Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 31)
Beliau membaca ayat tersebut sampai selesai. Maka saya berkata: “Kami tidak menyembah mereka.”
Maka beliau bersabda: “Bukankah mereka mengharamkan hal-hal yang Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya dan bukankah mereka menghalalkan hal-hal yang Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?”
Saya menjawab: “Ya, memang begitu.”
Beliau bersabda: “Itulah makna beribadah kepada mereka.”
Dalam lafal Tirmidzi:
أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani memang tidak menyembah mereka [para ulama dan ahli ibadah mereka] namun jika para ulama dan ahli ibadah mereka menghalalkan suatu perkara [yang Allah haramkan] maka mereka ikut-ikutan menghalalkannya dan jika para ulama dan ahli ibadah mereka mengharamkan suatu perkara [yang Allah halalkan] maka mereka ikut-ikutan mengharamkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3095 dan At-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 17/92, dengan lafal Ath-Thabarani. Dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani)
Setelah meriwayatkan hadits Adi bin Hatim tersebut, imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (wafat tahun 310 H) menulis:
Dari Abul Bakhtari dari Hudzaifah bin Yaman bahwasanya ia ditanya tentang ayat tersebut, apakah mereka menyembah para ulama dan ahli ibadah mereka? Maka Hudzaifah menjawab: “Tidak. Namun jika para ulama dan ahli ibadah mereka menghalalkan suatu perkara [yang diharamkan Allah], mereka pun ikut menghalalkannya. Dan jika para ulama dan ahli ibadah mereka mengharamkan suatu perkara [yang dihalalkan Allah], mereka pun ikut mengharamkannya.”
Dari Abul Bakhtari bahwasanya Hudzaifah berkata: “Mereka tidak melakukan shalat dan tidak melakukan shaum kepada para ulama dan ahli ibadah mereka. Namun jika para ulama dan ahli ibadah mereka menghalalkan suatu perkara [yang diharamkan Allah], mereka pun ikut menghalalkannya. Dan jika para ulama dan ahli ibadah mereka mengharamkan suatu perkara yang dihalalkan Allah, mereka pun ikut mengharamkannya. Itulah makna dari rububiyah [menuhankan] mereka.”
Abul Bakhtari berkata: “Para ulama dan ahli ibadah mereka mendatangi perkara yang Allah halalkan, lalu mereka mengharamkannya. Para ulama dan ahli ibadah mereka mendatangi perkara yang Allah haramkan, lalu mereka menghalalkannya. Maka umat mereka menaati mereka dalam [pengharaman hal yang halal dan penghalalan hal yang haram] tersebut. Maka Allah menyatakan ketaatan mereka kepada para ulama dan ahli ibadah tersebut sebagai peribadatan kepada para ulama dan ahli ibadah. Seandainya para ulama dan ahli ibadah tersebut berkata: “Sembahlah kami!”, niscaya umat mereka tidak akan mau melaksanakannya.” (Ath-Thabari, Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayyil Qur’an, 11/418-419, tahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Kairo: Dar Hajar, cet. 1422 H)
Hadits no. 6:
Dari Hani bin Yazid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ketika ia ikut dalam utusan kaumnya menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan beliau mendengar kaumnya menjuluki Hani dengan julukan Abul Hakam, beliau lantas memanggilnya dan bersabda:
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَكَمُ وَإِلَيْهِ الْحُكْمُ
“Sesungguhnya Allah semata Al-Hakam (Yang Memberi keputusan hukum) dan milik-Nya semata hak menetapkan hukum.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 811, Abu Daud no. 4955, An-Nasai no. 5387, dan Ibnu Hibban no. 504. Imam Ibnu Hibban dan syaikh Al-Albani menshahihkannya)
Hadits no. 7:
Dari Abdullah bin Sikhir radhiyallahu ‘anhu berkata:
انْطَلَقْتُ فِي وَفْدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا أَنْتَ سَيِّدُنَا فَقَالَ السَّيِّدُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قُلْنَا وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا فَقَالَ قُولُوا بِقَوْلِكُمْ أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ
“Saya berangkat dalam rombongan utusan Bani Amir menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka kami mengatakan kepada beliau: “Anda adalah sayyiduna [pemimpin tertinggi kami].” Maka beliau bersabda: “Sayyid adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala.” Kami mengatakan kepada beliau: “Anda adalah orang yang paling mulia diantara kami dan orang yang paling agung kedudukannya diantara kami.” Beliau bersabda: “Ucapkanlah apa yang biasa kalian ucapkan namun jangan sampai setan menjerumuskan kalian [untuk melampaui batas dalam menyanjungku].” (HR. Abu Daud no. 4806 dan Ahmad no. 16350, dengan sanad-sanad shahih. Syaikh Ahmad Syakir, Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Al-Albani menshahihkannya)
Hadits no. 8:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
مَا أُعْطِيكُمْ وَلَا أَمْنَعُكُمْ إِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ أَضَعُ حَيْثُ أُمِرْتُ
“Aku tidaklah memberi kalian suatu pemberian [zakat, sedekah dan lain-lain] dan aku juga tidak menghalangi kalian dari suatu pemberian. Sebenarnya aku hanyalah seorang yang bertugas membagi pemberian, aku meletakkan pemberian sesuai tempat yang diperintahkan [oleh Allah] kepadaku.” (HR. Bukhari no. 3117)
Hadits no. 9:
Dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَيُعْطِي اللَّهُ
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan pada dirinya oleh Allah, niscaya Allah akan menjadikannya sebagai orang yang paham urusan agama. Sesungguhnya aku hanyalah orang yang membagi pemberian, dan Allah-lah yang sebenarnya melimpahkan pemberian.”
Dalam lafal yang lain:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
وَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا أَنَا خَازِنٌ فَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ فَيُبَارَكُ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَعْطَيْتُهُ عَنْ مَسْأَلَةٍ وَشَرَهٍ كَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ
Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan pada dirinya oleh Allah, niscaya Allah akan menjadikannya sebagai orang yang paham urusan agama.”
Saya juga mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Aku hanyalah seorang bendahara [juru simpan harta kaum muslimin]. Maka barangsiapa yang aku beri pemberian karena kerelaan hati niscaya ia akan diberkahi dalam pemberian tersebut. Adapun barangsiapa yang aku beri pemberian karena ia meminta-minta dan rakus, niscaya ia seperti orang yang makan namun tidak pernah kenyang.” (HR. Bukhari no. 3116 dan Muslim no. 1037, lafal kedua adalah lafal Muslim)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib al majdi/arrahmah.com)