Pada hari-hari ini, pemerintah Indonesia sedang disibukkan dengan rencana kedatangan Presiden AS George W. Bush pada 20 November 2006 mendatang. Berbagai elemen umat Islam dan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia sudah melakukan protes dan menyampaikan imbauan kepada pemerintah, agar menolak kedatangan Bush. Apalagi, terlihat jelas, bagaimana sikap dan tindakan pemerintah yang dinilai sangat berlebihan dalam menyambut rencana kedatangan Presiden AS tersebut. Di Istana Bogor, misalnya, sampai perlu dibuatkan landasan pendaratan helikopter khusus untuk sang Presiden AS.
Untuk apa Bush datang dan mengapa Indonesia begitu sibuk menyambut kedatangan Presiden Bush? Sejumlah pejabat Indonesia menyatakan, bahwa Bush datang –selain untuk memenuhi undangan Presiden RI– juga untuk memberikan bantuan kepada Indonesia, utamanya dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Apakah hanya untuk itu Bush datang?
Tentulah tidak. Sagat mungkin ada agenda lain yang kita tidak tahu, apakah menyangkut masa depan proyek minyak dan gas Natuna atau pesan-pesan tertentu yang akan langsung diberikan kepada Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono. Wallahu a’lam.
Memang, penyambutan dan pengamanan yang sangat berlebihan terhadap rencana kedatangan Presiden Bush, seharusnya tidak dilakukan oleh bangsa Indonesia. Apalagi, dalam kondisi rakyat yang sedang menghadapi dan mengalami begitu banyak bencana. Di Sudoarjo, Jawa Timur, hingga kini, para korban lumpur panas masih belum jelas nasibnya. Masih banyak yang tinggal di barak-barak pengungsian yang tidak layak. Menyambut datangnya musim hujan, nasib mereka juga semakin mengkhawatirkan.
Di Bantul Yogyakarta, masih banyak rakyat yang belum dapat membangun rumahnya kembali. Pemerintah belum dapat menyelesaikan semua itu. Tapi, untuk persiapan penyambutan Bush, dana milyaran rupiah dengan mudah bisa dikucurkan.
Bagi umat Islam, Bush memang agak lain dengan Presiden AS sebelumnya. Semasa pemerintahannya, Presiden yang satu ini secara jelas merupakan pemimpin yang mengobarkan perang melawan umat Islam di berbagai tempat. Sebagai bagian dari kelompok neo-konservatif dari unsur fundamentalis Kristen, Bush telah memberikan corak yang khas dalam pemerintahannya.
Esther Kaplan, dalam bukunya, With God on Their Side: How Christian Fundamentalists Trampled Science, Policy, and Democracy in George W. Bush’s White House, (New York: The New Press, 2004), menggambarkan bagaimana cengkeraman kelompok Kristen Fundamentalis dalam pemerintahan Bush. Di masa Bush inilah, untuk pertama kalinya diadakan pengajian Bibel seminggu sekali di Gedung Putih dan dihadiri oleh separoh lebih staf Gedung Putih. Di Department of Justice, setiap hari dibacakan ayat-ayat Bibel.
Tidak dapat dipungkiri, kebijakan perang melawan terorisme yang diluncurkan Bush adalah kebijakan yang diarahkan memerangi kelompok-kelompok Islam yang dipandang membahayakan kepentingan AS dan Israel.
Karena itu, meskipun dunia Islam tetap menolak, AS dan Israel tetap menempatkan Hamas sebagai kelompok teroris yang boleh dibunuhi kapan saja, tanpa pertanggungjawaban hukum internasional. Kebijakan Bush dan kelompok neo-konservatif di AS, telah menimbulkan reaksi keras di berbagai penjuru dunia, termasuk di dalam negeri AS sendiri. Penyerbuan terhadap Iraq tahun 2003 telah menuai arus protes dan menjadi bumerang dalam pemilihan anggota Kongres dan Senat di AS bulan ini. Partai Republik kalah suara dengan Partai Demokrat. Lalu, salah satu tokoh kelompok garis-keras AS, Donald Rumsfeld mengundurkan diri dari jabatannya.
Apakah kita patut ikut bergembira dengan kekalahan partai Bush itu? Melihat pengalaman yang lalu-lalu, kita tidak sepatutnya terlalu berharap banyak. Saya menduga, kebijakan AS terhadap Islam tidak akan banyak berbeda secara substansi antara Presiden Bush atau Presiden AS lainnya di masa mendatang.
Sebab, di AS, yang berkuasa secara riil bukan hanya pemerintah yang terlihat. Ada ‘invisible government’ yang perlu diperhitungkan. Kebijakan itu begitu kuat menekan, mengatur, dan mengarahkan kebijakan politik luar negeri AS, siapa pun yang akan menjadi Presiden AS. Ingatlah nasib Presiden John F. Kennedy yang mencoba keluar dari jeratan ‘invisible government’ ini. Film
JFK, garapan Oliver Stone, mengarahkan kesimpulan bahwa pembunuh Kennedy adalah CIA. Tetapi, buku ‘Final Judgement’, karya Michel Colin Piper, menyimpulkan, bahwa pembunuh Kennedy adalah Mossad.
William Blum, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, menulis sebuah buku berjudul “Rouge State: A Guide to the World’s Only Superpower” (2002). Buku ini membongkar perilaku politik dan berbagai intervensi AS. Blum menyimpulkan, intervensi-intervensi AS antara lain bertujuan untuk mengokohkan AS sebagai satu-satunya superpower. Tidak boleh ada pesaing AS. Bahwa, di dunia ini tidak boleh ada dua jagoan, kecuali Paman Sam.
Meskipun seringkali dibantah, kita masih melihat, kebijakan politik luar negeri AS tidak mampu keluar dari skenario politik kaum neo-konservatif yang menempatkan Islam sebagai potensi ancaman terbesar bagi AS. Karena itu, ketika berhadapan dengan Islam, para pejabat AS bersikap sangat paranoid, menunjukkan ketakutan nyang membabi-buta.
Hari Jumat (10 November 2006) ini, Harian Republika menurunkan sebuah tulisan menarik dari Dr. Indrawadi Tamin MSc, mantan Deputi Protokol, Pers, dan Media, Sekretariat Presiden. Tulisan itu berjudul “Bush, Denpasar, dan Bogor”. Berdasarkan pengalamannya saat berunding dengan para pejabat AS menjelang kedatangan Presiden Bush di Bali, Oktober 2003, Indrawadi menuturkan bahwa disamping keprofesionalan mereka, pengawal Presiden AS dan protokol Gedung Putih memang bersikap paranoid dan membuatnya pusing. Paranoid, karena – menurut mereka — Presiden AS dipandang sebagai target teroris, dan juga ada unsur-unsur arogan, dan sikap tidak menghormati tuan rumah.
Dalam bukunya, The High Priests of War, Michel Colin Piper menyebutkan, belum pernah dalam sejarah AS terjadi dominasi politik AS yang begitu besar dan mencolok oleh ‘tokoh-tokoh pro-Israel’ seperti dimasa Presiden George W. Bush. Sebagian besar anggota neo-kon adalah Yahudi. Salah satu prestasi besar kelompok ini adalah memaksakan serangan AS atas Iraq, meskipun elite-elite militer AS dan Menlu Colin Powell sendiri, semula menentangnya.
Piper membahas peran kelompok garis keras Zionis Yahudi di AS dengan menguraikan satu persatu latar belakang dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam konspirasi neo-konservatif ini, seperti Richard Perle, William Kristol, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Rupert Murdoch, juga ilmuwan dan kolomnis terkenal seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer, dan tokoh-tokoh Kristen fundamentalis seperti Jerry Falwell, Pat Robertson, dan Tim LaHaye. Cengkeraman atau pembajakan kelompok neo-kon terhadap politik AS sebenarnya meresahkan banyak umat manusia. Mereka sedang menjalankan satu skenario besar “Perang Global”, dengan menempatkan Islam sebagai musuh utama peradaban dunia.
Karena itu, mungkin karena melihat Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar dan dianggap sebagai ‘sarang teroris’, maka AS meminta pengamanan yang super ketat terhadap Bush saat datang ke Indonesia. Apa yang pernah dialami oleh Indrawadi Tamin sebagai pejabat istana sangatlah menarik, karena menunjukkan sikap paranoid AS yang sangat tidak beralasan. Sikap paranoid itu tentulah juga karena diakibatkan oleh bayang-bayang dosa yang diperbuatnya sendiri.
William Blum sendiri menyatakan, bahwa lebih dari 50 tahun, secara klinis, politik luar negeri AS bisa dikatakan “gila” (However, it can be argued, that for more than half century American foreign policy has, in actuality, been clinically mad.). Karena itu, untuk mengkahiri kemelut internasional dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat AS, Blum mengajukan konsep sederhana. Jika ia menjadi Presiden AS, kata Blum, ia akan sanggup menghentikan aksi terorisme terhadap AS hanya dalam beberapa hari. Dan itu bersifat permanen.
Caranya, pertama, ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS telah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51. Lalu, Blum – andai jadi Presiden AS– akan memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen, dari angka 330 milyar USD per tahun. Jumlah itu sama dengan pembelanjaan dana pertahanan sebesar 18.000 USD per jam, sejak kelahiran Yesus. Itulah yang akan dikerjakan Blum pada tiga hari pertamanya di Gedung Putih. Tapi, katanya, pada hari keempat, ia akan dibunuh. “On the fourth day, I’d be assassinated.”
Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi, jauh-jauh sudah menyatakan tidak bersedia datang, jika diundang lagi untuk bertemu Bush. Saat pertemuan di Bali, tahun 2003 lalu, Hasyim Muzadi dan sejumlah tokoh agama sudah mengajukan berbagai usulan terhadap Bush, termasuk agar AS lebih menjadi ‘Bapak dunia’ dan bukan sebagai ‘polisi dunia’. Tetapi, berbagai usulan itu, tidak dipandang sebelah mata.
Dunia Islam dan juga dunia internasional juga sudah banyak menasehati Bush dan pemerintah AS. Dalam soal Palestina, dunia Islam sudah terlalu banyak menasehati AS agar jangan menjadikan Israel sebagai anak emas mereka. Tetapi, semua nasehat itu menguap, tanpa bekas. Ibarat pepatah: “Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.”
Semua fakta itu menunjukkan bahwa selama ini pihak AS tidak menganggap penting adanya dialog dengan dunia Islam. Dialog hanyalah basa-basi, karena aspirasi dunia Islam tidak didengar. Kita sudah paham sikap Barat itu, khususnya AS. Karena itu, menghadapi kedatangan Presiden Bush kali ini, umat Islam sudah seyogyanya dan wajib menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Kita imbau dan nasehatkan, agar Presiden SBY dan jajaran pemerintah RI tidak berlebihan dalam menyambut Bush. Jika mereka meminta yang berlebihan, lebih baik ditolak, demi martabat bangsa. Apalagi, jika mengingat, Pembukaan UUD 1945 sendiri dengan tegas menolak segala bentuk penjajahan di muka bumi.
Sedangkan AS adalah pendukung kolonialisme Israel atas Palestina. Tahun 1955, Konferensi Asia-Afrika di Bandung sudah menyatakan Zionisme sebagai bentuk kolonialisme yang paling jahat dan harus ditentang.
Banyak pertimbangan taktis dan strategis dalam menerima kehadiran Bush kali ini. Tetapi, perlu kita imbau, agar para pemimpin negara kita yang Muslim juga memasukkan pertimbangan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Allah sudah jelas-jelas mengingatkan kepada kita semua dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (pemimpin, pelindung, teman kepercayaan); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian lainnya. Barangsiapa diantara kamu yang mengambil mereka menjadi wali, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51).
Sayang sekali, sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, kondisi kita sepertinya belum menyadari bahwa kita adalah bangsa yang mulia, karena iman dan taqwa. Bahkan, kita sudah diperingatkan oleh Allah, agar jangan menukar nikmat Allah dengan kehinaan dan kebinasaan:
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan.” (Ibrahim:28).
Sebagai orang beriman, mestinya para petinggi negara kita berani bersikap mandiri dan menunjukkan sikap ‘izzah (mulia) dalam berhadapan dengan siapa pun di dunia ini. Allah memerintahkan kepada kita: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan pula kamu berduka, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 139).
Kita memang menyesalkan penyambutan Bush yang berlebihan, tetapi kita juga perlu menyadari bahwa masalah kedatangan Bush hanyalah sebagian kecil dari masalah yang kita hadapi dari hegemoni peradaban Barat dalam berbagai bidang kehidupan. Kita perlu meletakkan masalah ini dengan proporsional, sebab agenda perjuangan umat Islam Indonesia masih sangat banyak dan besar. Perlu nafas dan energi yang panjang dalam perjuangan ini. Wallahu a’lam.
Oleh: Adian Husaini
(Depok, 10 November 2006/www.hidayatullah.com).
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com