Jalan-jalan beit Hanun penuh kesedihan. Langit pun terasa sendu. Mimpi seperti mati. Air mata, tangisan, duka lara, ada di Beit Hanoun. Israel baru saja melakukan pembantaian sadis hingga menewaskan sedikitnya 20 orang sekaligus, mayoritasnya adalah anak-anak dan kaum wanita.
Berjalanlah menyusuri beberapa rumah. Kampung yang kehilangan 17 orang saudara-saudara Muslim akibat serangan Israel. Percikan darah, pakaian, buku-buku pelajaran, buku tulis, perabotan rumah tangga sederhana, masih berserakan di sana-sini. Sepertinya, masih melambungkan ingatan pada suara-suara anak-anak kecil yang kemarin masih ada di ruangan ini.
Saat berjalan di antara sisa-sisa rumah itu, tiba-tiba terdengar suara keras melengking berulang-ulang mengatakan,”Kemana mereka… kemana mereka… Mahmudd.. cintaku.. Sa’ad.. di mana kamu… Ah.. ah..” Amjad Atsamena, ibu dari Mahmud (10) dan Sa’d (9), berusaha mencari jasad anaknya di sini. Ia baru saja pulang dari rumah sakit yang merawat sebagian saudara-saudaranya yang luka parah akibat serangan Israel. Dengan terbata-bata ia mengatakan,”Kami sedang tidur… Aku, isteriku, anak-anakku…Tapi kami dilempari bom… Anakku, Mahmud dan Sa’ad juga tiga orang saudaraku.. meninggal…” Tiba-tiba, seperti kehilangan kesadaran, ia mengatakan,”Lihatlah.. ini tas sekolah Mahmud, ke mana kamu Mahmud, ke sini Mahmud… ambil uang sekolahmu… ”
Bukan Amjad seorang yang tertimpa kondisi seperti ini. Keluarga lain ada yang empat orang keluarganya meninggal. Di sisi sebuah lubang karena ledakan bom, seorang pemuda tengah menangis. “Apa dosa anak-anak kecil? Apa dosa orang-orang perempuan? Mereka semuanya sedang tidur nyenyak di dalam rumah.. ahh.. ” Umar lalu mengisahkan, dirinya segera keluar dari rumah saat mendengar sejumlah ledakan besar. Tapi ia justru mendapatkan serangan tembakan dan bom lagi di jalanan. “Mereka kemarin sudah datang ke sini, memeriksa seisi rumah. Mereka tidak tahu sama sekali bahwa semua penduduk di sini mayoritasnya adalah anak-anak dan kaum perempuan…”
Di rumah sakit Kamal Udwan, Utara Ghaza, kesibukan meningkat. Ratusan korban serangan gila Israel hanya memiliki tempat pengobatan terdekat di rumah sakit ini. Seorang ibu yang sanak keluarganya menjadi korban bercerita,”Kami sedang tidur di dalam rumah ketika sejumlah bom jatuh ke tempat kami bertubi-tubi tanpa sebab. Anak-anak meninggal, tak satupun tersisa.” Ia kemudian menunjuk seorang anak kecil yang berbaring di sisinya. “Ia sekarang masih belum sadar. Tidak tahu bila ibunya sudah meninggal. Ayahnya patah kaki. Sementara tiga orang saudaranya, sudah ada di ruang pendingin mayat. Rasakanlah nanti rudal-rudal kami Zionis Israel…. Hasbunallah wa ni’mal wakiil.. ” (na-str/iol)