Oleh :
DR (Cand) H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. & Al-Ustadz Drs. A. Subki Saiman, MA.
(Peneliti Ahli LKS Al-Maqhasid Syariah)
(Arrahmah.com) – Pengikut Syi’ah pada hari Kamis, tanggal 13 Februari 2014 bertempat di Islamic Cultural Center (ICC) melakukan peringatan dan perayaan HUT Republik Iran, dengan menghadirkan Dr. Mahmud Farazandeh (Duta Besar Iran untuk Indonesia) dan Jalaludin Rahmat. Memperingati dan merayakan HUT Republik Iran sama artinya dengan memperingati berdirinya Revolusi Syi’ah, yang notabene bukan Revolusi Islam melainkan Revolusi Syi’ah bentukan Khomeini.
Mereka telah berani memperingati HUT negara asing di Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini sangat bertentangan dengan nasionalisme, dimana rasa nasionalisme mereka? Seorang nasionalis sejatinya akan mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya serta menjunjung tinggi kehormatan bangsa. Apa yang menjadi tujuan komunitas Syi’ah itu melakukan peringatan HUT Republik Iran di Indonesia? Jelas peringatan HUT Republik Iran itu ada kaitannya dengan peringatan Revolusi Syi’ah dan sebagai bagian ekspansi ideologi paham Imamah (Wilayah al-Faqih) bentukan Khomeini.
Ada kejanggalan dari pengikut Syi’ah yang memperingati dan merayakan HUT Republik Iran, pertama: perayaan kemerdekaan atau hari bersejarah suatu negara di Indonesia, termasuk ulang tahun Raja atau Ratu dilakukan oleh perwakilan negara tersebut. Perayaan dilakukan dengan mengundang secara resmi para pejabat dan sahabat dari perwakilan tersebut. Kalau pun ada perayaan yang dilakukan sekelompok individu, inisiator dari kelompok tersebut adalah warga negara dari negara yang merayakan, bukan warga negara Indonesia. Menjadi pertanyaan apakah mereka (kaum Syi’ah) yang mengaku Warga Negara Indonesia patut merayakan HUT Republik Iran di Indonesia?
Apakah mereka memiliki penunjukan dari Iran atas kegiatan tersebut? Kedua: pada saat yang bersamaan di berbagai negara di Timur Tengah, milisi Syi’ah telah banyak melakukan pembantaian terhadap umat Islam (ahlussunah) salah satunya di Suriah. Kehancuran dan pembunuhan massal di Suriah yang dilakukan kaum Syiah terhadap umat Islam bukan sekedar didasari oleh konflik politik dan kepentingan. Akan tetapi didasari oleh kebencian ideologis dan theologis sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab mereka.
Iran juga tidak mendukung adanya sukarelawan untuk berjihad melawan Israel, suatu kebohongan nyata ketika Iran mengatakan sebagai musuh besar Israel, tidak pernah ada satu peluru pun ditembakkan oleh Iran ke Israel!
Harian The Jakarta Post melansir berita “Iran bans volunteers from fighting Israel” (January 08 2009):
“Iran’s state television is quoting Ayatollah Ali Khamenei as saying that Iran can’t allow volunteers to cross its border and take military action against Israel. But he says Iran won’t spare any efforts to assist Hamas in other ways.”
(Televisi pemerintah Iran mengutip Ayatollah Ali Khamenei mengatakan bahwa Iran tidak bisa membiarkan sukarelawan untuk menyeberangi perbatasan dan mengambil tindakan militer terhadap Israel. Namun dia mengatakan Iran tidak akan mengampuni semua upaya untuk membantu Hamas dengan cara lain.)
Menjadi terang dan jelas bagi kita, bahwa mereka melakukan itu untuk kepentingan Iran dalam rangka memantapkan ekspor ideologi Wilayah al-faqih yang menjadi dasar bagi Revolusi Syi’ah Iran bentukan Khomeini dengan segala propagandanya, bukan semata-mata peringatan dan perayaan HUT semata.
Sesungguhnya Khomeini telah terbuka rahasianya, dan orang dekat atau yang jauh yang ikhlas mengerti bahwa Khomeini adalah musuh Islam dan umat Islam, dan ia bekerja untuk musuh-musuh agama, dan kerja sama dengan Zionisme, bahkan mewakilinya untuk mencapai maksud-maksudnya. Revolusi Khomeini adalah Zionis dalam rencana-rencananya dan Majusi dalam arahnya, keinginan ekspansinya dan agresinya, karena Khomeiniyah adalah perpanjangan gerakan-gerakan kebatinan seperti Qaramitah, Ubaidiyah, dan lain-lainnya. Perang Iran-Irak telah berjasa kepada Zionisme dalam rangka menghancurkan Islam melalui “tangan-tangan” Syi’ah Iran.
Khomeini mengatakan bahwa tidak ada pemerintah-pemerintah Islam kecuali pada zaman Rasulullah SAW dan Imam Ali as; dengan begitu Khomeini menganggap sepi pemerintahan Khulafa Rasyidin dan lain-lainnya, karena menurut akidah mereka semua itu merupakan pemerintahan yang tidak sah, karena tak ada orang yang berhak memegang kekuasaan kecuali orang Syi’ah. Terdapat suatu teks makalah karya Mahdi al-Husaini, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Kamil al-Hasyimi dalam bukunya “Aqaidus-Syi’ah fil-Mizan,” disebutkan: “bahwa Revolusi yang dikehendaki Allah adalah Revolusi Syi’ah pada permulaannya, Islam pada lafalnya, dan Internasional pada tujuannya.” Islam yang dimaksudkan oleh Iran adalah Madzhab Jafari-Itsna Asyariyah (dua belas imam), dan itulah yang tertulis dalam Konstitusi Republik Syi’ah Iran yang menjadi pedoman Revolusi Khomeini.
Dalam Konstitusi Iran, pasal 12 disebutkan: “Agama resmi Iran adalah Islam dan madzhab Ja’far Duabelas, dan pasal ini tidak dapat dirubah sepanjang masa.” Oleh karena itu, sesungguhnya mereka menyebut Islam untuk taqiyah, agar orang suka kepada madzhab Ja’far Duabelas. Begitu pun Republik Iran, adalah suatu Republik Taqiyah!
Tidak dapat dirubahnya ketentuan pasal 12 ini jelas menunjukkan kediktatoran Iran dalam memaksakan ideologinya dan mengekspornya ke seluruh pengikut Syi’ah dimana saja mereka berada. Selanjutnya, pasal 2 berbunyi: Republik Islam adalah suatu rezim yang berdiri di atas Imamah dan pimpinan yang terus menerus.
Melihat rumusan pasal di atas menandakan secara jelas bahwa keyakinan Imamah dalam Rukun Iman dan Wilayah dalam Rukun Islam versi Syi’ah telah menjadi suatu ideologi negara Syi’ah Iran selain doktrin agama yang fundamental. Dengan ideologi keagamaan tersebut, maka keberlakuannya tidak terbatas pada territorial, sehingga tepat dikatakan ekspansi ideologi Syi’ah sama dengan keberlakuan globalisasi ekonomi sebagaimana kita rasakan saat ini.
Salah seorang mujtahid Syi’ah yang terkenal, Abd al-Husain Syaraf al-Din al-Musawi sendiri, mengakui bahwa tiada suatu penyebab “perpecahan” di antara umat Islam yang lebih hebat daripada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal Imamah.
Dr. Musa al Musawi mengatakan, “Untuk kepentingan siapa Khomeini mengekspor revolusi pemikirannya yang rusak dan prinsip-prinsip yang sesat kepada bangsa-bangsa Islam yang aman untuk menimbulkan ketakutan dan kekacauan, peperangan dan perselisihan? Semua itu adalah untuk kepentingan Zionis dan musuh-musuh Islam yang berusaha keras untuk menghabiskan kekuatan umat Islam dan mengalirkan darahnya dengan tangan mereka sendiri tanpa campur tangan dari luar.” Khomeini berkata: “Nabi Muhammad telah gagal memimpin bangsa-bangsa Arab, dan Mahdi al- Muntazar akan berhasil memberi petunjuk bagi seluruh manusia.” Perkataan Khomeini ini bukanlah pendapat Khomeini sendiri, tetapi akidah seluruh Syi’ah.
Hubungan Iran dengan Israel (Zionis) dapat dilihat dari adanya kerjasama militer pada saat berkecamuknya perang Irak-Iran. Hasil penelitian Robert Dreyfuss yang telah dipublikasikan dalam buku “Devil’s Game; How The United States Helped Unleash Fundamentalist Islam,” menyatakan bahwa Israel memberikan bantuan senjata, menyediakan bantuan intelejen selama perangnya dengan Irak. Israel dan Iran memulai kerjasama militer yang lebih erat pada akhir tahun 1980, termasuk – yang paling spektakuler – serangan udara Israel pada tanggal 7 Juni 1981 ke Irak, hanya beberapa hari setelah pecahnya perang Iran-Irak.
Ikatan-ikatan Israel dengan Iran di bawah Khomeini memiliki banyak segi. Mereka memiliki hubungan dengan angkatan bersenjata Iran dan organisasi pengganti dinas rahasia SAVAK-nya Shah. Selain itu, ribuan kaum Yahudi Iran telah lama aktif dalam kelas saudagar bazaar, yang banyak diantaranya berpindah ke Israel tetapi tetap mempertahankan ikatan dengan Iran, termasuk hubungan dengan keluarga-keluarga para Ayatullah konservatif yang lebih kaya. Israel juga memanfaatkan kontak-kontak itu. Patrick Lang, yang mengepalai Divisi Timur Tengah Badan Intelejen Pertahanan AS mengatakan: “Israel berhubungan dengan rezim di Iran sebagai semi-sekutu.”
Pernyataan kontra terhadap Revolusi Khomeini juga datang dari Syekh Ali Gadhanfari Karari, Ketua Majlis Ulama Syi’ah di Pakistan. Ia menyokong perlunya membuka mata umat Islam terhadap bahaya-bahaya yang datang dari Revolusi Khomeini, ia berkata: “Perlu sekali kita membuka sikap-sikap dan perbuatan-perbuatannya, menjelaskan penyelewengan-penyelewengannya, sehingga kita dapat menyelamatkan Islam dan umat Islam dari terjerumus dalam pengakuan-pengakuannya yang palsu. Dan cukup saya jelaskan bahwa konstitusi Iran pada dasarnya berdiri atas teori Wilayatul Faqih yang diciptakan oleh Khomeini…..”
Menurut Muhammad Kamil al-Hasyimi, “Revolusi Iran adalah Revolusi Persia, Majusi, etnis kabilah serta telah menghidupkan Majusiah kembali.” Dr. Musa al Musawi juga menekankan bahwa Khomeiniyah adalah gerakan Zionis yang bekerja untuk Israel, dan Israel telah membantu lima milyard dollar dalam bentuk senjata. Ia berkata bahwa Revolusi Iran telah menjalankan perang yang direncanakan oleh Zionisme Internasional untuk mematikan suara Islam yang merdeka di Iran, dan memisahkan Pemerintah Iran dari rakyatnya yang muslim dari Dunia Islam.
Kemudian dia berkata: “Khomeini telah ditetapkan oleh Zionisme untuk melakukan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menghancurkan Islam. Ia telah berhasil di dalam negeri, dan sekarang berniat untuk mengekspor gerakannya yang benci kepada Islam ke daerah-daerah lain dari Dunia Islam.” Dr. Basyar ‘Awwad, Sekretaris Jenderal Muktamar Rakyat Islam juga mengatakan: “Tak ada kesangsian lagi bahwa umat Islam sekarang menghadapi aksi-aksi agama Khomeini yang munafik dan yang telah difatwakan oleh ulama-ulama Islam sebagai gerakan yang keluar dari batas Islam.”
Perlu juga diketahui bahwa berhasilnya Revolusi Iran sangat terkait dengan propaganda Tragedi Karbala yang dianggap oleh kalangan Syi’ah sebagai Revolusi Imam Husain as. Khomeini dengan sangat jelas mengatakan hal ini dalam berbagai ceramahnya. Bahkan Ali Syari’ati menekankan pentingnya berkorban dan kalau perlu setiap orang menjadi martir bagi perjuangan yang mereka yakini. Dari hal itu muncul pernyataan, “Setiap tempat adalah Karbala, setiap hari adalah Asyura.” Dengan demikian, peringatan HUT Republik Iran dan peringatan Asyura (Karbala) adalah bagian dari pembentukan semangat Revolusi Syi’ah yang memang diinginkan untuk diekspor ke seluruh negara-negara ahlussunah sebagaimana diinginkan oleh Khomeini serta para pengikut setianya, termasuk yang ada di Indonesia.
Dr. Musa al-Musawi berkata: “Jika Imam Ali masih hidup, tentu ia akan menghukum Khomeini dengan hukuman yang ditentukan kepada orang yang murtad.” Sepakatkah pengikut Syi’ah dengan pernyataan Dr. Musa al-Musawi tersebut? Tentunya mereka tidak akan pernah mau setuju, sebab mereka juga bagian dari yang dihukumi oleh pernyataan Dr. Musa al-Musawi.
Rekan pembaca yang dimuliakan Allah (terkecuali kaum Syi’ah) dipersilahkan untuk meninjau dan memikirkan ekspansi Revolusi Syiah ke negara-negara Sunni, dapat dilihat pada bagan yang penulis sertakan dalam artikel ini.
BAGAN :
EKSPOR REVOLUSI (WILAYAH AL-FAQIH) SYI’AH IRAN KE NEGARA-NEGARA SUNNI
(arrahmah.com)