MONTREAL (Arrahmah.com) – Seorang Muslimah setengah baya meninggal setelah kerudungnya tersangkut di eskalator kereta api bawah tanah (subway) di Montreal, Kanada. Korban diketahui tewas dengan kondisi leher terjerat kain kerudung yang masih tersangkut di eskalator saat kereta tiba di stasiun Metro Fabre.
“Wanita itu naik eskalator, kerudungnya tersangkut ke dalam eskalator di bagian bawah, lehernya tejerat dan dia meninggal di stasiun Metro,” kata seorang juru bicara Kepolisian Kanada, Pierre Brabant, kepada Global News, Jumat (/31/1/2014).
“Dia sedang berusaha untuk menarik kerudungnya dari eskalator, tapi rambutnya yang terikat juga tesangkut dan dia ikut terseret hingga di ujung eskalator,” lanjut juru bicara itu. Menurutnya, seorang saksi melihat wanita itu tersangkut di eskalator sekitar 09.15 waktu setempat. Saksi itu kemudian menghubungi layanan darurat.
Sementara itu, para penumpang kereta api berusaha mengevakuasi tubuh wanita tersebut. Bassam Joubarani, warga Montreal, mengatakan kepada CBC News, Jumat (31/1/2014), bahwa dia membuka akses ke pintu keluar, ketika melihat dua orang membawa tubuh tubuh wanita itu.
Oleh tim medis, wanita itu diketahui mengalami serangan jantung dan dinyatakan tewas di lokasi kejadian.
Kematian tragis Muslimah tersebut berubah menjadi perdebatan sengit internet, dan pemberitaan media yang tidak adil.
Beberapa outlet berita melaporkan bahwa Rharouity telah tercekik bukan karena syal, tetapi karena hijab yang dia pakai. Sangat jelas berita tersebut menulis kata “Hijab”, yang merupakan istilah khusus untuk pakaian wajib Muslimah.
“Pimpinan TVA dan Journal de Montreal yang beritanya lebih menekankan pada poin bahwa wanita itu mengenakan “hijab”, telah gagal menjalankan fungsinya di tingkat dasar disiplin jurnalistik dan itu merupakan tingkat verifikasi,” kata Alan Conter, seorang professor di bidang hukum dan etika Jurnalisme di Concordia.
“Jelas tidak ada verifikasi yang dilakukan.”
“Mungkin dia mengenakan ‘hijab’, tapi mengapa Anda bersikeras dalam memberitahu kami?” Kata Julien Day, seorang penulis untuk Voir.
Mengaitkan kematian Muslimah yang hijabnya tersangkut di eskalator tidak seharusnya dibesar-besarkan sehingga memancing islamophobia di tengan masyarakat.
“Bagi saya itu bukan berita penting.” Kata Julian.
Julian mengaku terkejut terhadap komentar balasan yang dia terima pada sebuah artikelnya dimana ia mengkritik liputan media yang menyebarkan berita yang tidak adil tersebut.
“Ada reaksi yang cukup keras terkait dengan insiden ini, sepertinya mereka mau mengatakan bahwa dia pantas mendapatkan musibah tersebut, dan sepertinya mereka ingin mengatakan bahwa orang-orang seharusnya belajar bahwa Anda memakai jilbab di rumah dan tidak di tempat lain,” katanya.
Insiden ini telah berkembang menjadi masalah yang lebih besar terkait dengan etika dan jurnalisme yang bertanggung jawab.
“Saya berpikir itu bukan termasuk pemberitaan yang bertanggung jawab untuk setiap media yang menyajikan dengan cara yang mereka lakukan seperti dengan judul besar ‘tercekik oleh hijabnya,’ katanya.
Salah satu blogger, Mathieu Charlebois, membuat halaman yang menyoroti komentar kebencian online tersebut. Dia mengatakan kepada Global News bahwa dalam waktu kurang dari 45 menit ia menemukan lebih dari 50 komentar.
“Salah satu teroris berkurang di Montreal,” demikian kata salah satu komentar.
“Ini menunjukkan bahwa bila Anda tidak tahu cara berpakaian, Anda bisa mati. Piagam ini akan menyelamatkannya, “kata yang lain.
Beberapa komentar online tersebut mengacu kepada piagam sekuler Quebec, yang mengusulkan untuk melarang simbol-simbol keagamaan bagi karyawan publik pada saat mereka bekerja.
Piagam baru tersebut diresmikan oleh Bernard Drainville, Menteri untuk Lembaga Demokrasi, 10 September lalu.
Bernard Drainville berpendapat bahwa mencegah pegawai negeri dari menjalankan kebebasan beragama mereka di tempat kerja adalah bagian dari sekularisme yang lebih luas atau “netralitas negara.”
Piagam tersebut akan melarang pegawai negeri mengenakan simbol-simbol agama yang mencolok, seperti kerudung, turban, salib yang besar dan sebagainya.
Menurut Sama Al-Obaidy, komentar tersebut membuktikan bahwa provinsi ini telah jatuh dalam iklim hiper-Islamophobia setelah memperkenalkan piagam baru itu.
“Reaksi pertama saya bukan terhadap “apa yang dia pakai”, tapi itu tentang “oh Tuhan kita semua menaiki metro pagi ini dan itu bisa saja salah satu dari kami mengalami kejadian tersebut,” katanya.
Meninjau komentar kebencian, Al-Obaidy berharap bahwa kecelakaan tragis tersebut mungkin membantu untuk mengevaluasi kembali cara lain dari mereka dalam menilai orang lain.
(Ameera/Arrahmah.com)