AL-QUDS (Arrahmah.com) – Ariel Sharon, mantan perdana menteri dan jenderal “Israel”, yang telah koma selama delapan tahun setelah mengalami stroke pada puncak kekuasaannya, dilaporkan mati pada Sabtu (11/1/2014) ini dalam usia 85 tahun, kata keluarganya dan pihak pemerintah “Israel”, seperti dilansir Reuters.
Putra Sharon, Gilad, mengumumkan berita kematian itu di rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Sebelumnya dokter di sana telah memperkirakan kematian Sharon yang semakin dekat setelah kondisi kesehatannya menurun tajam pekan lalu.
Menteri dalam pemerintahan sayap kanan “Israel”, dan pihak oposisi politik “Israel”, mengklaim telah kehilangan seorang pemimpin tangguh dan cerdik yang meninggalkan jejak besar di wilayah mereka melalui invasi militer, pembangunan pemukiman Yahudi di tanah yang diduduki, yang pada hakikatnya dirampas dari rakyat Palestina.
“Bangsa ‘Israel’ hari ini telah kehilangan seorang pria terhormat, seorang pemimpin besar dan seorang prajurit yang berani,” klaim Menteri Urusan Strategi “Israel” Yuval Steinitz dalam sebuah pernyataan.
Bagi “Israel” mungkin Sharon dinilai berjasa, tapi bagi Umat Islam di seluruh penjuru dunia, Sharon benar-benar dikutuk karena dia bertanggung jawab atas pembantaian ribuan Kaum Muslimin di Shabra dan Shatila Lebanon pada tahun 1982 silam.
Sharon adalah salah satu veteran politik dan militer di kancah penjajah “Israel”. Dia lahir pada 26 Februari 1928 di desa Kfar Malal, Palestina. Orang tuanya adalah Yahudi Ashkenazi yang beremigrasi dari Eropa Timur. Ayahnya lahir di Polandia, sementara ibunya lahir di Rusia.
Sharon mengalami stroke ringan pertama kali pada Desember 2005 lalu dan menggunakan pengencer darah sebelum akhirnya mengalami pendarahan otak yang parah pada tanggal 4 Januari 2006.
Setelah menghabiskan beberapa bulan di rumah sakit Al-Quds di mana dia awalnya diobati, Sharon kemudian dipindahkan ke fasilitas perawatan jangka panjang di Rumah Sakit Tel Hashomer.
Dia sempat dibawa pulang ke rumahnya, namun kemudian dikembalikan lagi ke rumah sakit, di mana dia menghabiskan delapan tahun dalam keadaan sekarat hingga akhirnya menemui ajalnya di sana.
Sharon juga pernah menjadi pemimpin Likud, partai terbesar dalam koalisi pemerintah di parlemen “Israel”, Knesset. Dia kemudian dilaporkan mengundurkan diri dari partai tersebut pada 21 November 2005, dan mendirikan partai baru, Kadima.
Selama tiga puluh tahun, Sharon bertugas sebagai anggota Angkatan Bersenjata “Israel”, dengan pangkat tertingginya sebagai Mayor Jenderal. Dia menjadi terkenal di “Israel” setelah keterlibatannya dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur pada tahun 1973.
Sharon juga bertanggung jawab atas tragedi pembantaian Qibya pada 13 Oktober 1953 silam, di mana sebanyak 96 orang Palestina dibunuh oleh Unit 101 “Israel” yang dipimpinnya.
Selain itu dia juga mengambil andil besar dalam pembantaian Sabra dan Shatila di Lebanon pada tahun 1982. Dalam pembantaian biadab itu, terdapat antara 3.000 hingga 3.500 Kaum Muslimin yang terbunuh. Sejak saat itu, Sharon pun dijuluki sebagai “Si Tukang Jagal dari Beirut”.
Tak berhenti sampai di situ, pada tahun 2000-2002, Sharon juga telah membunuh lebih dari 9000 warga Palestina saat perlawanan Intifadha Pertama. Selain itu, dia juga pernah membuat kekacauan di dalam masjid kebanggaan Umat Islam, Masjid Al-Aqsa.
Dengan sederet kejahatan dan kebiadaban yang telah dia lakukan terhadap Kaum Muslimin semasa hidupnya, tidak mengherankan bila di Gaza, rakyat Palestina justru dikabarkan bergembira atas berita kematian Sharon ini.
Seorang juru bicara pejuang Hamas Palestina, Sami Abu Zurhi menyampaikan, “Rakyat kami hari ini merasakan kebahagiaan luar biasa atas kematian dan kepergian penjahat ini, yang tangannya berlumuran darah rakyat kami dan darah para pemimpin kami di sini dan di pengasingan.” (banan/arrahmah.com)