JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya Arakan (Piara) Heri Aryanto mengatakan Muslim-cleansing alias pembantaian kaum Muslim sampai ke akar-akarnya di Myanmar berlangsung secara sistematis sejak tahun 1982.
Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah kafir Budha Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya.
”Padahal warga Muslim sudah tinggal di Myanmar sejak berabad-abad silam,” ungkap Heri dalam diskusi tentang nasib pengungsi Myanmar di Gedung Dewan Dakwah Jakarta Pusat, Rabu (8 /1/ 2014), seperti dilaporkan kontributor Nurbowo.
”Jadi pangkal persoalan pengungsi Muslim Myanmar ini adalah kebijakan pemerintah negara itu sendiri,” lanjutnya.
Kalau awal isu itu mencuat dengan pembantaian Muslim Rohingya, saat ini derita itu merata, menimpa Muslim Myanmar. Jadi pembunuhan, penyiksaaan, pemerkosaan terhadap Muslimah dan pengusiran menimpa seluruh Muslim Myanmar.
”Bukan hanya Rohingya, tapi Muslim Myanmar semua etnis kini jadi korban,” papar Heri.
Dia juga menampilkan data-data dan fakta yang ada. Seperti dilansir kantor berita AFP (22/4/2013), Human Rights Watch menilai Pemerintah Myanmar (dulu Burma) melancarkan “kampanye pemusnahan etnis” terhadap warga muslim Rohingya. Organisasi HAM yang berbasis di New York, Amerika Serikat, itu mengemukakan bukti berupa temuan banyaknya kuburan massal warga Rohingya dan warga Muslim yang kehilangan tempat tinggal.
Berdasarkan catatan Myanmar Digest, pada 2005, muncul perintah agar bayi Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan), haram diberi akta kelahiran.
Penguasa militer (junta) Myanmar, yang dikenal sebagai Dewan Restorasi Pemerintahan dan Hukum Negara (State Law and Order Restoration Council atau SLORC), mempertahankan kekuasaanya dengan menciptakan instabilitas negara. Caranya, selalu memicu konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah-belah penduduk sehingga junta tetap menguasai ranah politik dan ekonomi.
Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome. Lalu pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC, tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Ini mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim. Penindasan berlanjut hingga saat ini.
Diskusi tentang nasib pengungsi Myanmar dihadiri Presiden Seahum (South East Asia Humanitarian) Agung Notowiguno, Ketua Forum Umat Islam (FUI) Sumatera Utara Sudirman Timsar Zubil, Sekretaris Forum Mantan Aktivis Lembaga Dakwah Kampus Jabodetabek Nurbowo, sejumlah pengurus Pusat Advokasi Hukum dan HAM (Paham), PKPU (Pos Kemanusiaan Peduli Umat), dan Lembaga Amil Zakat, Infak, Sedekah (LAZIS) Dewan Dakwah. (azm/arrahmah.com)