JAKARTA (Arrahmah.com) – Tidak diragukan lagi bahwa sholat berjamaah lebih besar pahalanya ketimbang sholat sendirian. Nabi Muhammad sangat menekankan kepada laki-laki Muslim untuk sholat berjamaah di masjid. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sholat berjamaah bagi laki-laki muslim adalah wajib. Di sisi lain pemimpin memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjaga agar bawahannya tetap dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Agar berkah selalu tercurah atas wilayah yang dipimpinnya.
Sebagai pemimpin suatu kabupaten yang dikenal dengan sebutan “Negeri 1.000 Suluk”, Bupati Rokan Hulu, Riau, membuat peraturan yang mewajibkan pegawai yang bertugas diinstansi pemerintahan Rokan Hulu untuk shalat berjamaah setiap hari dan wajib salat subuh berjamaah pada hari jumat agar bisa ikut sujud tilawah, di Masjid Islamic Center, Pasir Pangaraian, Kompleks Perkantoran Pemkab Rokan Hulu. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Bupati (Perbup) No 18 Tahun 2011.
Sebagai konsekuensi atas tegaknya aturan yang telah dibuat, sebanyak 19 orang tenaga honor Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu Riau dipecat karena tidak ikut shalat berjamaah. Pemecatan tersebut berdasarkan hasil sidak mendadak Bupati Rokan Hulu Achmad yang menemukan para honorer tidak ikut salat subuh berjamaah 8 November 2013 lalu.
Keputusan untuk memecat 19 orang tenaga honor Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu Riau karena tidak ikut shalat berjamaah menyebabkan sejumlah pihak yang keberatan meminta untuk meninjau peraturan agama yang diterapkan di kabupaten tersebut.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak mendukung peraturan Bupati Rokan Hulu, Riau, yang memberikan sanksi pegawai muslim yang tidak shalat berjamaah. Kemendagri berpendapat, regulasi kepemerintahan jangan sampai dicampuradukan dengan urusan agama.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, aturan tersebut aneh, bahkan dianggap melanggar perundangan-undangan. Langkah Bupati Achmad menuangkan urusan ibadah dalam peraturan bupati (Perbup) dinilai kurang tepat.
“Itu jelas peraturan yang aneh. Karena urusan Tuhan, dijadikan urusan kekuasaan kepala daerah,” kata Djohan belum lama ini.
Sebelumnya, 19 pegawai daerah dipecat lantaran tidak mengikuti aturan yang dibuat sejak April 2011 tersebut. Padahal dalam desentralisasi kewenangan pemerintah daerah tidak mengatur masalah agama sesuai Undang-Undang No.32 tentang 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Mendagri Gamawan Fauzi mengingatkan, jika terkait masalah shalat berjamaah, harusnya bupati mengeluarkan aturan yang sifatnya imbauan, bukan sanksi bagi mereka yang tidak melaksanakannya.
“Kalau itu hanya imbauan tidak menjadi masalah. Namun bila sampai ada sanksi, maka regulasi tersebut perlu ditinjau kembali,” ujar Gamawan.
Beberapa pasal yang dinilai kontrovesi antara lain Pasal 2 ayat (1) menyebutkan, bagi pegawai muslim diwajibkan untuk salat zuhur dan ashar berjamaah di Masjid Agung komplek Islamic Centre.
“Kewenangan agama itu absolut di pemerintah pusat. Makanya saya minta Perbupnya dan akan saya cocokkan dengan peraturan berdasarkan Undang-Undang,” kata Djohermansyah kepada wartawan di Pekanbaru, sebagaimana dirilis oleh pekanbaru.co.
Ia juga menjelaskan, desentralisasi tidak memberikan wewenang ke pemerintah daerah untuk mengatur soal agama. Pengaturan tentang agama menjadi wewenang pemerintah pusat, termasuk juga diantaranya masalah moneter, politik luar negeri, hukum dan peradilan.
Karena itu, ia mengatakan akan meneliti apakah Perbup yang diterbitkan Bupati Rohul Achmad bertentangan dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kabag Humas Pemkab Rohul, Aulia Army Effendi, ketika dihubungi Antara dari Pekanbaru, Rabu (11/12), mengakui hal tersebut karena pegawai telah melanggar Perbup dan Surat Keputusan (SK) Bupati Rohul yang sudah mengatur hal tersebut.
“Perbup dan SK kegiatan di Islamic Center itu mengatur kewajiban seluruh pegawai yang muslim untuk shalat Dzuhur dan Ashar berjamaah, kemudian Subuh berjamaah setiap hari Jumat, dan pengajian setiap malam Kamis,” kata Aulia.
Ia menjelaskan, peraturan itu diterbitkan oleh Bupati Rohul Achmad bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan pegawai, dan menjaga citra agamis dari Rohul yang dikenal sebagai “Negeri 1.000 Suluk”.
Setiap pegawai wajib mengikuti kegiatan itu, bahkan pemerintah setempat memasang alat deteksi sidik jari di Masjid Islamic Center untuk alat daftar hadir.
Dalam sistem sekuler, niat baik seorang pemimpin daerah dalam rangka mendisiplinkan pegawai untuk sholat berjamaah di Masjid dianggap bertabrakan dengan aturan negara, bahkan peraturan tersebut dianggap aneh karena urusan Tuhan dijadikan urusan kekuasaan kepala daerah. (ameera/arrahmah.com)