JAKARTA (Arrahmah.com) – Sertifikasi halal untuk obat-obatan dipandang sangat mendesak, karena dalam waktu dekat, tepatnya per 1 Januari 2014, Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Bidang Kesehatan akan segera diberlakukan. Dengan pemberlakuan UU tersebut maka masyarakat yang akan berobat atas jaminan negara atau perusahaan sebagai konsekuensi dari pemberlakuan UU BPJS akan semakin banyak karena telah dijamin oleh undang-undang.
Sebagai konsumen Muslim, masyarakat tentu harus diberi informasi yang memadai tentang halal-haramnya obat-obatan yang akan mereka konsumsi. Oleh karena itu, pemerintah harus pula memberikan jaminan bahwa obat yang diberikan kepada masyarakat benar-benar terbebas dari unsur haram.
Bagaimana tanggapan LPPOM MUI mengenai hal tersebut? Berikut kutipan wawancara singkat dengan Direktur LPPOM MUI, Ir. Lukmanul Hakim, M.Si seperti dilansir halal.mui.org Senin (16/12/2013).
Saat ini orang ramai memperbincangkan tentang kehalalan obat. Sejauhmana urgensi kehalalan obat bagi konsumen?
Kehalalan obat bagi konsumen di Indonesia sangatlah penting, mengingat mengkonsumsi obat bagi umat Islam yang merupakan konsumen terbesar adalah wajib. Hal ini merupakan hak konsumen muslim yang dilindungi oleh undang-undang, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, hak-hak konsumen antara lain adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai produk yang akan mereka konsumsi. Dalam hal ini, informasi tentang kehalalan termasuk di dalamnya.
Selain itu, standar kehalalan obat tidak akan membuat khasiat suatu obat menjadi menurun, karena yang diminta adalah jika ada bahan obat yang tidak halal, dicarikan alternatif penggantinya dari sumber halal. Dan sesuai ajaran Islam bahwa Allah menciptakan penyakit beserta obatnya, maka pengganti bahan haram pasti akan ada jika diusahakan.
Mengapa sertifikasi halal untuk obat dipandang sangat mendesak?
Seperti halnya makanan dan minuman, obat-obatan dan kosmetika adalah produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat konsumen Indonesia yang mayoritas muslim. Bagi muslim, memperoleh produk halal, termasuk obat, adalah hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya mampu memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan syariat agamanya, termasuk dalam mengkonsumsi obat-obatan yang terjamin kehalalannya.
Alasan lainnya, dalam waktu dekat, tepatnya per 1 Januari 2014, Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Bidang Kesehatan akan segera diberlakukan. Ini artinya, masyarakat yang akan berobat atas jaminan negara atau perusahaan, sebagai konsekuensi dari pemberlakuan UU BPJS akan semakin banyak karena telah UU yang menjamin hal tersebut.
Hak masyarakat untuk memperoleh kesehatan juga sangat penting. Kami sangat menyadari bahwa kesehatan merupakan hajat hidup orang banyak, sesuai dengan amanat UU No.36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan. Di sisi lain, konsumen muslim juga berhak atas produk yang terbebas dari unsur haram. Oleh karena itu, pemerintah harus pula memberikan jaminan bahwa obat yang diberikan kepada masyarakat benar-benar terbebas dari unsur haram. Dengan pertimbangan itulah kami mendesak agar pemberlakuan UU BPJS Bidang Kesehatan harus dibarengi dengan ketersediaan obat yang terjamin kehalalannya.
Benarkah obat-obatan yang beredar saat ini banyak yang mengandung babi?
LPPOM MUI tidak bisa menyatakan sebuah produk mengandung babi atau tidak sebelum melakukan pemeriksaan, baik secara ilmiah yang dilakukan oleh para ahli melalui laboratorium maupun pemeriksaan yang bersifat syar’ie yang dilakukan oleh para ulama di Komisi Fatwa MUI. Berkaitan dengan hal tersebut, LPPOM MUI juga tidak bisa menyatakan sebuah produk obat-obatan halal atau haram sebelum melakukan pemeriksaan, sementara sifat sertifikasi masih sukarela. Artinya, sebelum perusahaan bersangkutan mendaftarkan produknya, kami tidak bisa mengetahui formulanya apakah menggunakan babi atau pernah bersentuhan dengan babi. Karena hanya menganalisa bahan jadi saja belum bisa menentukan status kehalalan bahan obat tersebut.
Bagaimana proses pembuatan obat hingga sampai masuknya bahan haram ke dalamnya?
Cara pembuatan obat tergantung pada bentuk sediaannya, apakah bentuknya tablet, kaplet, sirup, salep, dsb. Prinsipnya adalah mencampur antara bahan aktif obat yang memberi khasiat penyembuhan dengan bahan lain yang dibutuhkan dalam pembentukan suatu sediaan obat yang disebut dengan eksipien. Bahan aktif obat maupun eksipien dapat dibuat melalui berbagai proses tergantung jenisnya. Prosesnya bisa berupa ekstraksi dari bahan nabati atau hewani, sintesa kimiawi, fermentasi mikrobial sampai rekayasa genetika. Dari segi kehalalan, sumber dan cara produksi bahan aktif obat maupun eksipien penting diketahui untuk memastikan semua bahan terhindar dari bahan haram maupun najis.
Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) saat ini belum perlu standisasi halal untuk obat. Bagaimana tanggapan LPPOM MUI?
LPPOM MUI belum menerima alasan IDI yang menyatakan belum perlunya standar atau sertifikasi halal untuk obat, sehingga belum bisa memberikan tanggapan. Namun, jika alasannya adalah karena pertimbangan teknis pemeriksaan kehalalan yang dinilai rumit, terbukti bahwa sejumlah produsen obat dan vaksin telah berhasil mendapatkan sertifikasi halal dari MUI. Artinya, jika ada kehendak untuk mengajukan sertifikasi halal maka hal tersebut tentu bisa dilakukan.
Apakah benar sertifikasi halal untuk obat sangat rumit?
Jika ada anggapan bahwa pemeriksaan obat sangat sulit dibandingkan pangan, kami kira perkembangan pangan saat ini pun sudah sangat jauh berekembang. Suatu bahan pangan bisa mengandung bahan baku ratusan bahan baku termasuk bahan-bahan perisa (flavour) yang juga terdiri dari bahan-bahan kimia yang rumit baik dihasilkan secara sintetik kimiawi, biokimia atau mikrobial. Tapi nyatanya, saat ini sudah ada ribuan perusahaan di bidang pangan yang telah lolos dari pemeriksaan dan mendapatkan sertifikat halal dari MUI.
Kalau alasannya kedaruratan?
Jika alasannya adalah karena kedaruratan, dalam Islam telah diatur bahwa sesuatu yang sifatnya darurat maka yang haram boleh dikonsumsi karena pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar, misalnya untuk mencegah kematian atau cacat permanen, atau menyebabkan sakit yg semakin parahn, tetapi tidak boleh berlebihan atau berkepanjangan. Artinya, sifat kedaruratan itu berlaku sementara. Jika tidak ada kebutuhan yang mendesak seperti itu, maka sifat kedaruratan tadi tidak berlaku. Sifat darurat juga otomatis gugur jika terdapat alternatif obat lain yang telah halal.
Ada contoh kasus mengenai hal itu?
Ada. Salah satunya contohnya, MUI melalui fatwa Nomor 05 Tahun 2009 menyatakan bahwa vaksin meningitis untuk calon jemaah haji yang ketika itu belum halal, boleh digunakan demi menjaga kesehatan dan keselamatan calon jemaah haji. Namun, sejak adanya vaksin meningitis yang telah bersertifikat halal maka fatwa MUI tentang kedaruratan penggunaan vaksin yang belum halal tadi tidak berlaku lagi. Hal itu tertuang dalam Fatwa MUI No. 06 Nomor 06 Tahun 2010 Tertanggal 16 Juli 2010. (azm/arrahmah.com)