BANGUI (Arrahmah.com) – Puluhan pemuda berdiri menunggu awan badai berlalu, saat angin menyapu debu merah di jalan. Ibukota Republik Afrika Tengah saat itu sepi. Saat gerimis turun, mereka melihat seorang pria yang mengenakan jubah putih berjalan bersama dengan anaknya.
Gaya berbusana tersebut sudah cukup untuk mengonfirmasikan bahwa ia adalah musuh para pemuda itu.
Lapar membalas dendam, orang-orang turun ke jalan menyerang ayah dan anak tersebut. Sang anak yang ketakutan memisahkan diri dan melarikan diri meninggalkan ayahnya yang diserang oleh massa yang memegang pisau.
Kelompok bersenjata yang mayoritas berisi warga Muslim, dikenal dengan nama Seleka, menggulingkan pemerintahan di bangsa mayoritas Kristen sembilan bulan lalu. Komunitas Kristen yang tidak terima, mulai menyerang seluruh Muslim meskipun mereka tidak terkait dengan Seleka. Kekerasan memuncak, mendorong negara penjajah Perancis (bekas penjajah Afrika Tengah) mengirimkan pasukan ke Bangui, lansir New York Post (9/12/2013).
Di kota di mana 400 orang dilaporkan tewas pada pekan lalu dalam dua hari berturut-turut, meninggalkan massa Kristen yang akan mencoba untuk membunuh Muslim yang mereka lihat.
Massa bersikeras mengatakan bahwa korban adalah seorang jenderal dalam gerakan Seleka.
“Seleka! Seleka! Seleka!” teriak orang-orang saat mengelilingi pria Muslim tersebut dengan penuh kemarahan.
Pria tersebut mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pedagang.
“Saya pedagang, saya pedagang! ujarnya yang tiba-tiba ditarik oleh tentara Perancis menjauh dari kerumunan massa. Bajunya telah terkoyak, anaknya kembali sambil menangis dan kemeja putihnya berlumuran darah.
Muslim lain tidak seberuntung dirinya, di pemukiman Benzi, massa menyerang rumah yang mereka tuduh merupakan milik pemimpin Seleka. Dua orang menjadi sasaran, satu berhasil lolos.
“Orang-orang mengambil batu dan melemparinya batu sampai mati,” ujar Junior Dagdag (28) yang menunjuk ke genangan darah dan batu di tengah jalan. “Beberapa membawa tubuhnya ke rumah sakit dan yang lain membakar mobilnya.”
Sedikitnya 1.600 pasukan Perancis disebar di Bangui. Helikopter Perancis berdengung di atas kepala sedangkan puluhan kendaraan militer termasuk kendaraan lapis baja berliku-liku melintasi pemukiman yang menjadi saksi mata ketegangan antara Muslim dan Kristen. Pasukan Perancis sempat mendapat serangan di bandara, namun tidak ada laporan jelas mengenai hal ini.
Michael Djotodia telah berada di tampuk kekuasaan dan dirinya mengklaim telah membubarkan kelompok pejuang yang membawanya ke tampuk kekuasaan tersebut (Seleka). Namun massa Kristen terus mengumbar kemarahannya, mereka mengejar siapa saja yang dicurigai sebagai bagian dari Seleka.
Seleka sebelumnya telah berjanji akan melucuti dan menyerahkan senjata mereka. Tetapi sedikit yang percaya akan pernyataan mereka.
“Pembicaran pelucutan senjata hanyalah omong kosong! Mereka akan terus menggunakan senjatanya di tempat lain,” ujar Yakanga (53), seorang Kristen.
Republik Afrika Tengah telah mengalami dekade kediktatoran, kudeta dan pemberontakan yang telah membuat negara kaya berlian tersebut berada dalam kekerasan sejak tahun 1960. Krisis kemanusiaan terus terjadi. Pejabat bantuan kemanusiaan memperingatkan jumlah tak terhitung dari mereka yang terpaksa mengungsi jauh ke dalam semak-semak, sekarat karena malaria dan penyakit lainnya. (haninmazaya/arrahmah.com)