Oleh: dr. Dewi Wulandari*
(Arrahmah.com) – Pekan-pekan penghujung tahun 2013 sepertinya akan menyisakan beberapa evaluasi besar di dunia kesehatan. Salah satu yang memicu reaksi keras di masyarakat adalah perihal pengadaan PKN (Pekan Kondom Nasional), yang akan berlangsung 1-7 Desember 2013.
Kegiatan PKN ini diinisiasi oleh KPAN (Komisi Penanggulangan Aids Nasional) dan DKT (perusahaan penyedia produk kondom).[1]Kegiatan ini semakin memilukan ketika dalam penyelenggaraannya digunakan mobil yang memuat gambar artis ibukota dengan busana yang tidak sepatutnya, belum lagi mobil ini menjalankan aksinya dengan masuk ke salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta tanpa izin.[2] Rasanya cara yang digunakan terlalu aneh untuk kegiatan dengan tujuan baik, mencegah angka HIV/AIDS yang semakin meningkat di Indonesia.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyerang sistem imun dan berdampak melemahkan sistem keamanan tubuh terhadap serangan infeksi dan kanker. Tahap paling lanjut dari ini adalah AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).[3] Penyakit ini penting untuk dicegah penyebarluasannya karena dampak besar yang diakibatkan, jumlah orang yang meninggal akibat HIV/AIDS secara global mencapai 1,7 juta jiwa pada tahun 2011.[4]
Belum ada pengobatan spesifik untuk HIV/AIDS, pengobatan dengan obat anti retroviral (ARV) dapat mengontrol virus HIV sehingga kualitas hidup ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dapat lebih baik.[5] HIV/AIDS memiliki empat jalur penularan (transmisi) yaitu hubungan seksual dengan orang yang berisiko sebagai faktor penyumbang terbesar penularan yaitu 75%[6]; transfusi darah; penularan dari ibu ke anak saat hamil, melahirkan, dan menyusi; serta melalui jarum suntik yang terkontaminasi.[7] Data mengenai kondisi ODHA di Indonesia juga memilukan, mencapai 27197 kasus pada tahun 2012.[8]
Kasus HIV/AIDS mengalami pergeseran pola, dimana pada tahun 2006 kelompok terbesar penyandang berada pada pengguna jarum suntik, namun di tahun 2011 kelompok terbesar ada pada kelompok heteroseksual.[9] Kelompok heteroseksual ini apabila dirinci lagi ternyata sebagian besar menginfeksi kelompok Ibu Rumah Tangga (IRT). Disinyalir, IRT mendapatkan ini dari suami mereka yang memiliki perilaku suka “jajan”.[10] Data ini mungkin yang kemudian melahirkan gagasan segolongan pihak untuk memotong cepat penularan HIV/AIDS yang ada dengan menyebarkan kondom.
Melirik perilaku ini, mengingatkan pada bagaimana HIV/AIDS ini pertama kali ditemukan. HIV/AIDS ini ditemukan pada Juli 1981 pada sekelompok orang gay di kota New York dan California.[11] Jadi, penyakit ini lahir dari anomali hukum alam. Penyakit ini lahir dari mereka yang berperilaku seksual menyalahi fitrahnya. Manusia sudah dibekali seperangkat kemampuan untuk dapat berperan baik dalam menjalankan berbagai tugasnya.
Tubuh manusia dirancang berperan baik saat digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, dan secara otomatis ketika manusia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan fitrah, tubuh manusia akan “mengingatkan”. Misalnya, ketika mengalami stres berkepanjangan, pada saat itu tubuh menghasilkan zat-zat yang dapat merusak. Tuhan sudah memperingatkan manusia untuk tidak berputus dari rahmat-Nya. Konsekuensi dari pengingkaran ini dirasakan oleh manusia itu sendiri.
Begitu pula, ketika Tuhan sudah mengatakan bahwa hubungan suami-istri yang dilakukan dalam kerangka pernikahan mendatangkan pahala, dan hubungan zina akan mendatangkan mudharat. Lalu, apa yang terjadi pada masyarakat kita? Mencerca poligami dan mengelu-elukan zina.
Mungkin pemakaian kondom dapat membantu mengurangi penularan HIV/AIDS, tapi yang perlu menjadi catatan adalah untuk siapa ia ditujukan. Ketika ia ditujukan di hadapan umum, maka yang tercitrakan adalah dukungan besar-besaran ke arah seks bebas. Program pemakaian kondom ini harusnya dibatasi pada suami/istri yang terinfeksi positif HIV/AIDS dan ingin melindungi pasangannya dari infeksi ini.
Ketika kondom ini dipromosikan besar-besaran apalagi ke masyarakat umum, tak lain seperti menciptakan lingkaran setan yang tak pernah putus. Penyakit ini bermula dari anomali, lantas bagaimana ia dapat berkurang jika anomali ini tetap dipertahankan. Lalu bagaimana untuk mengatasi risiko penularan HIV yang terjadi pada kelompok orang-orang yang suka melakukan seks bebas di luar pasangannya? Kita membutuhkan kerjasama berbagai pihak untuk mengatasi ini. Sudahkah kita menengok (baca: peduli) pada saudara-saudara di sekitar kita apa yang sebenarnya menjadi kesulitan mereka? Belum lagi penawaran kondom pada mereka yang memiliki hobi “jajan” juga tidak mendatangkan jaminan bahwa mereka akan menggunakannya, ditambah lagi kondom untuk pria mudah rusak apabila tidak disimpan dengan baik.[12]
Dalam andaian saya, akan lebih baik uang yang digunakan dalam PKN ini diberdayakan untuk bidang penelitian. Misalnya, penelitian pengembangan penggunaan ARV (Anti Retro Viral) yang semakin menemukan titik cerah untuk membantu ODHA meningkatkan kualitas hidupnya. Pemberian ARV sedini mungkin dapat memperpanjang hidup dan menurunkan transmisi dari orang yang terinfeksi ke orang yang sehat.[13] Atau dana yang sama dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan ARV sehingga berita mengenai terbatasnya ARV ini tidak kita dapatkan lagi.[14]
Belum lagi, kita membutuhkan teknik diagnosa yang semakin canggih untuk dapat mendeteksi keberadaan virus ini secepat mungkin. Harapan ini terlihat titik terangnya, salah satunya melalui rapid oral test yang dapat memperpendek waktu diagnosa HIV/AIDS dari yang biasanya 2 minggu menjadi 20 menit.[15] Akan ada banyak peluang penelitian di bidang ini, tapi sekali lagi, penelitian di bidang ini mungkin akan mengurangi keuntungan pihak-pihak terkait. Wallahu’alam bishowab.
[1] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) menyatakan tidak terlibat dalam kegiatan PKN ini melalui akun media sosial. Lihat http://ytchannelembed.info/video.php?id=rkzEymXjQbI&t=,https://twitter.com/puskomdepkes, http://www.hidayatullah.com/read/2013/12/01/7565/kammi-pekan-kondom-nasional-sama-saja-fasilitasi-seks-bebas.html (3 Desember 2013, 01:14)
[2] Detik Health, “UGM: Bagi-bagi Kondom di Kampus, Ada Fungsi Pendidikannya Nggak?”. Diakses http://health.detik.com/read/2013/12/02/140743/2429808/763/ugm-bagi-bagi-kondom-di-kampus-ada-fungsi-pendidikannya-nggak (3 Desember, 01:20).
[3] WHO, “HIV/AIDS”, diakses dihttp://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs360/en/index.html (3 Desember 2013, 5:08)
[4] WHO, “15 Facts on HIV Treatment Scale-Up and New ARV Guidelines 2013”,diakses di http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/15facts/en/index.html (3Desember 2013, 5:13).
[5] Ibid
[6] Murray Longmore, Ian Wilkinson, Tom Turmezei, Chee Kay Cheung, “Oxford Handbook of Clinical Medicine, Seventh Edition”, (New York: Oxford University Press, 2007), hlm. 396.
[7] UNFPA, WHO, PATH, “Condom Programming for HIV Prevention: an Operations Manual for Programme Managers”, diakses di http://www.unfpa.org/public/global/pid/1292
[8] Ditjen PP & PL Kemenkes RI.
[9] Kompas, ” Lelaki Pembeli Seks jadi Sumber Penularan HIV/AIDS”. Diakses dihttp://health.kompas.com/read/2011/12/16/15574363/Lelaki.Pembeli.Seks.Jadi.Sumber.Penularan.HIV/AIDS(3 Desember 2013, 01: 37).
[10] Kompas, “Pengidap AIDS di Papua Mayoritas IRT”, diakses dihttp://regional.kompas.com/read/2011/01/24/09374353/Pengidap.AIDS.di.Papua.Mayoritas.IRT (3 Desember 2013, 01:55), Kompas, “Kunci Penularan HIV pada Pria Risiko Tinggi”, diakses dihttp://health.kompas.com/read/2013/02/06/08083978/Kunci.Penularan.HIV.pada.Pria.Risiko.Tinggi. (3 Desember 2013, 01:57).
[11] Mark Chichocki, “The History of HIV, an HIV Timeline”, diakseshttp://aids.about.com/cs/aidsfactsheets/a/hivhis.htm (3 Desember 2013, 02:05).
[12] UNFPA, “Factsheet Condoms”, diakses dihttp://www.unfpa.org/hiv/docs/factsheet_condoms.pdf (3 Desember 2013, 6:00)
[13] WHO, “15 Facts on HIV Treatment Scale-Up and New ARV Guidelines 2013”,diakses di http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/15facts/en/index.html (3Desember 2013, 5:13).
[14] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, “Bersama Capai Zero Infection, Zero AIDS Related Death, dan Zero Stigma Discrimination”, diakses dihttp://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2258 (3 Desember 2013, 5:57), Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, “Pengendalian Penderita HIV/AIDS dengan Pengobatan ARV”,diakses di http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2315 (3 Desember 2013, 5:58).
[15] Anastasia Yoveline, Retno Wahyuningsih, Yuli Kumalawati, Saleha Sungkar, “Peran Rapid Oral HIV Test dalam Diagnosis Infeksi HIV”, Majalah Kedokteran Indonesia Volum:58 Nomor:12 , Desember 2008.
*Penulis merupakan alumni Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta, Prodi Kedokteran Umum, Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo dan kini sedang meneruskan studi Pascasarjana Pemikiran Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta.(azm/arrahmah.com)