DAMASKUS (Arrahmah.com) – Yayasan Media Al-Manarah Al-Baidha’, sayap media Mujahidin Jabhah Nushrah, pada bulan Dzulhijah 1434 H/Oktober 2013 M merilis video wawancara eksklusif. Video tersebut berdurasi 30 menit dan diberi judul “Manhaj Kami dan Akidah Kami”.
Video tersebut merupakan wawancara reporter Yayasan Media Al-Manarah Al-Baidha’ dengan Syaikh Doktor Sami Al-Uraidi alias Syaikh Abu Mahmud ASy-Syami, salah seorang ulama dan penanggung jawab urusan syariat Mujahidin Jabhah Nushrah, sayap Tanzhim Al-Qaeda Internasional untuk wilayah Suriah. Mengingat pentingnya wawancara tersebut, arrahmah.com menerjemahkannya untuk para pembaca budiman. Semoga bermanfaat.
Yayasan Media Al-Manarah Al-Baidha’
Dzulhijah 1434 H/Oktober 2013 M
mempersembahkan
wawancara eksklusif
dengan
Syaikh Doktor Sami Al-Uraidi
“Abu Mahmud Asy-Syami”
“Manhaj Kami dan Akidah Kami”
Reporter Al-Manarah Al-Baidha’ : Semoga Allah memberkahi Anda. Wahai syaikh kami, siapa saja ulama yang menjadi rujukan ilmiah kalian?
Syaikh: Wahai saudaraku yang mulia, telah kami jelaskan di depan bahwa kami Jabhah Nushrah adalah bagian dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka rujukan ilmiah kamia adalah para ulama rujukan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman generasi pertama Islam yang mulia yaitu generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in (pengikut mereka dengan baik) sampai hari pembalasan.
Di antara rujukan ilmiah kami yang terpenting lainnya adalah madzhab yang empat [Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal] dan pendapat para imam seperti Abdullah bin Mubarak, Al-Awza’i, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Al-Izz bin Abdus Salam.
Di antara rujukan kontemporer kami adalah syaikh Hamud bin Uqla Asy-Syu’aibi dan Syaikh Abdullah Azzam, semoga Allah menerima mereka di sisi-Nya.
Di antara rujukan ilmiah kami lainnya adalah Syaikh doktor Umar Abdurrahman, semoga Allah membebaskan beliau.
Reporter: Wahai syaikh kami, apakah kalian menghormati para ulama dan mau mendengarkan [nasehat dan pelajaran] mereka?
Syaikh: Sesungguhnya menghormati para ulama menurut kami adalah bagian dari ajaran agama, merupakan kewajiban dalam agama kami. Para ulama adalah kaum yang telah Allah Ta’ala tinggikan derajatnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
﴿يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا العِلْمَ دَرَجَاتٍ﴾
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Mujadilah [58]: 11)
Juga sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits shahih:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا»
“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan orang tua di kalangan kami, menyanyangi orang muda di antara kami dan mengerti hak ulama di antara kami.” (HR. Ahmad no. 22755 dan Al-Hakim no. 421)
Para ulama adalah para pewaris nabi, para ulama adalah lentera-lentera petunjuk, para ulama adalah bintang-bintang yang menjadi tanda penunjuk arah, kami kembali kepada mereka dan bertanya kepada mereka dalam perkara-perkara yang kami temui, sebagai bentuk dari mengikuti perintah Allah Ta’ala:
﴿فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.”(QS. An-Nahl [16]: 43)
Namun di sini saya ingin mengisyaratkan dua perkara:
Perkara pertama, sesungguhnya Allah Ta’ala telah membebankan kepada para ulama amanat dan tanggung jawab yang besar, dimana gunung-gunung sekalipun merasa berat untuk mengembannya. Allah Ta’ala membebankan kepada para ulama amanat untuk menjelaskan ilmu. Allah ta’ala berfirman:
﴿وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ﴾
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya.”(QS. Ali Imran [3]: 187)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
(مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ، أَلْجَمَهُ اللهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍيَوْمَ الْقِيَامَةِ)
“Barangsiapa ditanya tentang sebuah ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya Allah akan membungkam mulutnya dengan tali kekang dari api neraka pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3658, Ibnu Majah no. 266, Ahmad no. 8533, 8638 dan Al-Hakim no. 345)
Dan dalam riwayat lain yang juga shahih tanpa penyebutan lafal “ditanya”, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
«مَنْ كَتَمَ عِلْمًا أَلْجَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ»
“Barangsiapa menyembunyikan sebuah ilmu, niscaya Allah akan membungkam mulutnya dengan tali kekang dari api neraka pada hari kiamat.” (HR. Ahmad no. 10487 dari Abu Hurairah dan Al-Hakim no. 346 dari Abdullah bin Amru bin Ash, dengan lafal Al-Hakim)
Amanat dan tanggung jawab yang besar berada di pundak para ulama, sebab mereka adalah para ulama yang harus menunaikan tugas-tugas para nabi di tengah umat kita, mereka adalah para ulama yang harus menunaikan tugas-tugas para nabi di tengah umat kita, mereka adalah para ulama yang harus menunaikan tugas-tugas para nabi di tengah umat kita.
Perkara kedua, adalah perkara yang penting namun sedikit sekali orang yang mengingatkannya. Perkara tersebut adalah sesungguhnya istiqamah [kelurusan] umat Islam adalah dengan sikap istiqamah [kelurusan] para ulamanya. Umat Islam tidak akan istiqamah kecuali dengan sikap istiqamah para ulama.
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa seorang wanita dari Bani Ahmas datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, lalu bertanya:
مَا بَقَاؤُنَا عَلَى هَذَا الأَمْرِ الصَّالِحِ الَّذِي جَاءَ اللَّهُ بِهِ بَعْدَ الجَاهِلِيَّةِ؟
“Apa yang membuat kita tetap berada di atas perkara yang baik ini [Islam] yang Allah Ta’ala mendatangkannya setelah zaman jahiliyah?”
Abu Bakar menjawab —dan dengarkanlah jawaban beliau—:
«بَقَاؤُكُمْ عَلَيْهِ مَا اسْتَقَامَتْ بِكُمْ أَئِمَّتُكُمْ»
“Kalian tetap berada di atas perkara yang baik [Islam] ini selama para pemimpin kalian istiqamah.”
Wanita itu bertanya lagi:
وَمَا الأَئِمَّةُ؟
“Apakah para pemimpin itu?”
Abu Bakar balik bertanya:
«أَمَا كَانَ لِقَوْمِكِ رُءُوسٌ وَأَشْرَافٌ، يَأْمُرُونَهُمْ فَيُطِيعُونَهُمْ؟»
“Bukankah pada kaummu ada para pemuka dan tokoh yang memberi mereka perintah lalu mereka menaati perintah mereka?
Wanita itu menjawab: “Ya.”
Abu Bakar berkata:
«فَهُمْ أُولَئِكِ عَلَى النَّاسِ»
“Mereka itulah yang disebut pemimpin masyarakat.” (HR. Bukhari no. 3834)
Wahai para ulama umat Islam, wahai para ulama umat Islam, sesungguhnya umat Islam akan istiqamah jika kalian istiqamah.
Bertakwalah kalian kepada Allah dalam [mengemban amanah dan tanggung jawab kepada] umat kalian, bertakwalah kalian dalam memperjuangkan dien kalian. Istiqamahlah kalian, niscaya umat Islam akan istiqamah. Istiqamahlah kalian niscaya umat Islam akan menjadi baik, dengan izin Allah Ta’ala.
Demi Allah, kemudian demi Allah, kemudian demi Allah, gerakan kebangkitan jihad yang penuh berkah ini atas karunia dan nikmat Allah Ta’ala tidak lain hanyalah karunia Allah Ta’ala kepada umat Islam ini, berkat keistiqamahan segelintir ulama. Maka para pemuda Islam bangkit di belakang para ulama tersebut, berjalan meniti jejak mereka, mengangkat senjata, mencurahkan nyawa dan waktu mereka agar umat Islam ini mampu istiqamah.
Reporter: Semoga Allah memberkahi Anda, wahai syaikh kami. Apa status hukum orang-orang yang masih berada dalam barisan rezim Nushairiyah Suriah, baik tentara, polisi maupun lainnya?
Syaikh: Saudaraku yang mulia, sesungguhnya tentara dan militer adalah alat rezim, mereka adalah tiang rezim, dengannya rezim menindas, menzalimi dan membantai. Mereka adalah alat yang dipergunakan rezim untuk melindungi dirinya. Mereka pada hakekatnya menyerupai tentara-tentara Fir’aun dan Haman yang Allah Ta’ala berfirman tentang diri mereka:
﴿إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ﴾
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.”(QS. Al-Qashash [28]:
Ketika Allah Ta’ala hendak menghancurkan Fir’aun dan kaumnya, Allah Ta’ala menghancurkan tentara-tentaranya bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman:
﴿فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي اليَمّ وَهُوَ مُلِيم﴾
“Maka Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela.”(QS. Adz-Dzariyat [51]: 40)
Allah Ta’ala menghancurkan seluruh tentara Fir’aun bersama Fir’aun, Allah Ta’ala menenggelamkan seluruh tentara Fir’aun bersama Fir’aun. Allah Ta’ala juga berfirman tentang para tentara thaghut zaman dahulu dan zaman sekarang:
﴿الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا﴾
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”(QS. An-Nisa’ [4]: 76)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ibu kita, Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
«يَغْزُو جَيْشٌ الكَعْبَةَ، فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ، يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ»
“Sebuah pasukan menyerang Ka’bah, tatkala mereka sampai di sebuah tanah lapang [di luar kota Madinah], mereka dari orang yang berada paling depan hingga orang yang berada paling belakang dibenamkan ke dalam perut bumi.”
Maka ibu kita Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Apakah mereka semua akan ditenggelamkan ke perut bumi, padahal di tengah mereka ada orang-orang yang bukan golongan mereka dan orang yang keluar berperang karena dipaksa?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
«يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ، ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ»
“Mereka dari orang yang berada paling depan hingga orang yang berada paling belakang dibenamkan ke dalam perut bumi, lalu mereka semua dibangkitkan di akhirat menurut niat masing-masing.”(HR. Bukhari no. 2118)
Allah Ta’ala Maha Mampu untuk menyelamatkan orang yang keluar berperang karena dipaksa dan orang yang bukan termasuk golongan mereka, meski demikian Allah menghancurkan mereka dan menenggelamkan mereka semua ke dalam perut bumi.
Reporter: Ya, wahai syaikh kami. Bagaimana sifat bai’at yang kalian ambil dan kenapa kalian melakukan bai’at?
Syaikh: Saudaraku yang mulia, bai’at merupakan bagian dari permasalah ‘ahd (sumpah, janji kesepakatan) dan mitsaq (janji kesepakatan). Bai’at itu ada dua macam, yaitu bai’at umum dan bai’at khusus.
Bai’at Umum adalah bai’at kepada imam yang tertinggi (khalifah) dan amirul mukminin.
Bai’at khusus adalah bai’at di antara sekelompok kaum beriman, di mana mereka saling berbai’at dan mengikat janji kesepakatan untuk memperjuangkan agama ini. Misalnya mereka saling mengikat janji kesepakatan untuk memperjuangkan agama Allah Ta’ala di sebuah tempat tertentu, atau mereka saling mengikat janji kesepakatan untuk berdakwah di sebuah tempat tertentu.
Wahai saudaraku yang mulia, bai’at khusus ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, diambil:
Untuk menegaskan komitmen kepada sebuah perintah yang telah Allah ta’ala perintahkan, maka kita mengambil bai’at khusus ini untuk menegaskan kewajiban perintah tersebut.
Atau bai’at khusus ini diambil, wahai saudaraku yang mulia, untuk berkomitmen, yaitu berkomitmen dengan sebuah perkara yang hukumnya tidak mencapai tingkatan wajib, maka kita mengambil bai’at khusus ini untuk berkomitmen melaksanakan perkara [yang hukumnya sunnah] tersebut.
Sifat bai’at yang diambil oleh Jabhah Nushrah, wahai saudaraku yang mulia, adalah kami membai’at orang yang diangkat Allah sebagai pemimpin jihad untuk mendengar dan mentaatinya dalam perbuatan kebajikan, kami tidak merampas urusan [kepemimpinan jihad] dari orang yang memegangnya, dan senantiasa berjihad di jalan Allah sampai kami menegakkan Daulah Islam dengan izin Allah Ta’ala dan sampai kami menerapkan syariat Al-Qur’an dengan izin Allah Ta’ala.
Pensifatan yang paling tepat untuk bai’at ini adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abu Mush’ab As-Suri di dalam bukunya, Da’watul Muqaawamah, di mana beliau menulis: “Bai’at adalah perjanjian setia dengan Allah Ta’ala untuk berjihad, mendengar dan menaati orang yang diangkat oleh Allah Ta’ala sebagai pemimpin jihad.”
Juga sebagaimana dikatakan oleh doktor Abdullah Azzam rahimahullah: “Ia adalah salah satu sunnah Al-Musthafa shallallahu ‘alaihi wa salam dalam peperangan untuk mengingatkan jiwa akan janji setia yang telah diikat dengan Allah Ta’ala untuk berjihad.”
Di sini saya ingat sebuah perkataan penting Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam perkara ini, ketika beliau menyebutkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam:
«إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ»
“Jika tiga orang keluar dalam sebuah perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang sebagai pemimpin rombongan.” (HR. Abu Daud no. 2608)
Beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mewajibkan untuk mengangkat seseorang sebagai pemimpin dalam sebuah perkumpulan yang berjumlah sedikit [3 orang] dan dalam waktu yang singkat seperti safar, untuk mengingatkan hal itu [wajibnya mengangkat seorang sebagai pemimpin] dalam seluruh jenis perkumpulan lainnya.” Beliau menyebutkan di antara perkumpulan tersebut adalah jihad. (Majmu’ Fatawa, 28/390)
Perkara [bai’at] ini, wahai saudaraku yang mulia, adalah perkara yang disyariatkan, dikenal luas dan diamalkan dalam syari’at Islam dan di kalangan generasi salaf umat Islam, dengan izin Allah Ta’ala.
Reporter: Wahai syaikh kami, apakah kemenangan itu memiliki sebab-sebab ataukah kemenangan itu akan diraih pihak yang lebih kuat?
Syaikh: Wahai saudaraku yang mulia, sesungguhnya kemenangan itu sebenarnya berada di tangan Allah Ta’ala.
﴿وَمَا النَّصْرُ إِلا مِنْ عِندِ اللّهِ﴾
“Dan tidaklah kemenangan itu melainkan semata-mata dari sisi Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 126)
Namun Allah Ta’ala menciptakan sebab-sebab dan sarana-sarana untuk meraih kemenangan. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengambil sebab-sebab dan sarana-sarana tersebut.
Di antara sebab-sebab terpenting kemenangan, wahai saudaraku yang mulia, adalah:
Ikhlas karena Allah Ta’ala semata.
Jujur dan tulus kepada Allah Ta’ala.
Meminta pertolongan dan bersandar kepada Allah Ta’ala semata.
Berserah diri kepada Allah Ta’ala semata.
Sesungguhnya kita, wahai saudaraku yang mulia, tidak akan mendapatkan kemenangan kecuali dengan [pertolongan] Allah, kita tidak berperang kecuali dengan [pertolongan] Allah. Dengan [pertolongan] Allah kita berperang, dengan [pertolongan] Allah kita berusaha, dan dengan [pertolongan] Allah kita bergerak. Tidak ada yang memberikan pertolongan [kemenangan[ kepada kita selain Allah, tidak ada yang memberikan pertolongan [kemenangan[ kepada kita selain Allah, tidak ada yang memberikan pertolongan [kemenangan[ kepada kita selain Allah.
Oleh karena itu, wahai saudaraku yang mulia, aku nasehatkan kepada diriku sendiri dan aku nasehatkan kepada setiap mujahid yang berperang di jalan Allah, hendaknya mengikhlaskan jihadnya bersama Allah, hendaknya tulus dan jujur dalam jihadnya kepada Allah, hendaknya jujur dalam meminta pertolongan dan bantuan kepada Allah dan hendaknya berserah diri kepada Allah Ta’ala.
Jika kita telah ikhlas karena Allah, kita telah jujur kepada Allah dan kita bersandar kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Ta’ala akan menolong kita sebagaimana Allah menolong para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam meskipun jumlah mereka sedikit dan peralatan perang mereka sedikit. Dengan izin Allah kemenangan Badar akan terulang kembali, dengan izin Allah kemenangan perang Ahzab akan terulang kembali. Allah akan menolong [memenangkan] kita sebagaimana Allah telah menolong [memenangkan] salafush shalih. Dengan izin Allah, kemenangan perang Hithin dan kemenangan perang Yarmuk akan terulang kembali. Namun kita harus ikhlas karena Allah dalam jihad, kita harus jujur dan tulus kepada Allah dalam jihad kita.
Di antara sebab-sebab lain datangnya kemenangan, wahai saudaraku yang mulia adalah ketakwaan dan ketaatan.
Kita tidak memerangi musuh kita dengan [mengandalkan] banyaknya jumlah personil dan kuatnya peralatan perang kita, namun kita memerangi mereka dengan ketaatan kita kepada Allah. Jika kita dan musuh kita sama-sama bermaksiat, niscaya musuh akan meraih kemenangan atas kita. Jika kita dan musuh sama-sama bermaksiat, niscaya musuh akan meraih kemenangan atas kita, sebagaimana dikatakan oleh sahabat Al-Faruq Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu.
Allah Ta’ala berfirman:
﴿وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴾
“Barangsipa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan untuknya jalan keluar [atas kesulitan yang ia hadapi].” (QS. At-Thalaq [65]: 2)
Allah Ta’ala juga berfirman:
﴿إِنّ اللَّهَ مَعَ الـمُـَّتقِينَ﴾
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”(QS. At-Taubah [9]: 123)
Di antara sebab-sebab lain datangnya kemenangan, wahai saudaraku yang mulia adalah bagusnya pengaturan [manajemen], bagusnya perencanaan dan bagusnya persiapan sesuai kadar kemampuan. Allah Ta’ala berfirman:
﴿وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ﴾
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan (persiapkan) kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian.” (QS. Al-Anfal [8]: 60)
Allah Ta’ala juga berfirman:
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kadar kemampuan kalian!” (QS. At-Taghabun [64]: 16)
Di antara sebab-sebab lain datangnya kemenangan, wahai saudaraku yang mulia adalah bersatu, menanggalkan perpecahan dan perselisihan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
﴿وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ﴾
“Janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gagal dan hilang kekuatan kalian.” (QS. Al-Anfal [8]: 46)
Jika kita, wahai saudaraku yang mulia, telah meraih sebab-sebab kemenangan ini —dengan izin Allah Ta’ala— maka sesungguhnya Allah Ta’ala akan memenangkan kita meskipun jumlah personil dan peralatan perang kita sedikit. Dengan demikian kita telah menolong [agama] Allah Ta’ala sehingga Allah Ta’ala akan menolong kita, sebagaimana firman-Nya:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ﴾
“Hai orang-orang mukmin, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian…” (QS. Muhammad [47]: 7)
Juga sebagaimana firman Allah Ta’ala:
﴿وَإِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الغَالِبُونَ﴾
“Dan sesungguhnya tentara Kami [para nabi dan kaum beriman] itulah yang pasti menang.” (QS. Ash-Shafat [37]: 173)
Dengan melaksanakan sebab-sebab kemenangan di atas, maka kita menjadi tentara Allah Ta’ala.
Reporter: Semoga Allah memberi manfaat melalui Anda, wahai syaikh kami. Kami ingin Anda menyampaikan nasehat kepada kaum muslimin secara umum dan kepada mujahidin secara khusus.
Syaikh: Saya mewasiatkan kepada diriku sendiri dan kepada kaum muslimin secara umum dengan wasiat Allah Ta’ala kepadda orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
﴿وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ﴾
“Dan sungguh Kami telah mewasiatkan [memerintahkan] kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan (juga) kepada kalian; bertakwalah kepada Allah.” (QS. An-Nisa’ [4]: 131)
Saya mewasiatkan kepada diriku sendiri dan kepada kaum muslimin secara umum serta secara khusus kepada para penuntut ilmu [pelajar, santri], para ulama, para ahli berpengalaman, para kader ilmiah dan para pekerja ahli [dokter, insinyur, dan lain-lain] saya katakan kepada mereka:
Wahai saudara-saudaraku dan orang-orang yang kucintai, sesungguhnya penduduk Syam meminta pertolongan kalian dan meminta bantuan kalian. Sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman:
﴿وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ﴾
“(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan.” (QS. Al-Anfal [8]: 72)
Wahai saudara-saudaraku, bangkitlah kalian untuk menolong penduduk Syam dengan apa saja yang kalian miliki. Bangkitlah kalian untuk menolong penduduk Syam dengan nyawa, harta dan ucapan kalian. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda:
«جَاهِدُوا الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ»
“Berjihadlah melawan orangporang musyrik dengan harta, nyawa dan ucapan kalian.” (HR. Abu Daud no. 2504, An-Nasai no. 3096 dan Ahmad no. 12246, dan Al-Hakim no. 2427)
Wahai saudara-saudaraku dan orang-orang yang kucintai, siapakah yang akan menolong agama Allah di negeri Syam?
Siapakah yang akan menolong kitab Allah di negeri Syam?
Siapakah yang akan menolong rumah-rumah Allah di negeri Syam?
Siapakah yang akan menolong wanita-wanita Ahlus Sunnah di negeri Syam?
Siapakah yang akan menolong wanita-wanita Ahlus Sunnah yang suci di penjara-penjara Nushairiyah?
Siapakah yang akan menolong wanita-wanita Ahlus Sunnah yang suci dari kebiadaban rezim durjana ini?
Wahai saudara-saudaraku dan orang-orang yang kucintai, jika kalian tidak menolong penduduk Syam, apakah pihak Barat akan menolong mereka?
Tidak akan, demi Allah.
Maka bangkitlah kalian untuk menolong mereka, sebab mereka adalah saudara-saudara kalian dan orang-orang yang seagama dengan kalian.
Bangkitlah kalian dan berangkat berperanglah kalian untuk menolong mereka, karena Allah Ta’ala telah mewajibkan kalian untuk menolong mereka.
Saya mewasiatkan kepada mujahidin secara khusus dan penduduk negeri Syam secara umum untuk teguh di atas jalan ini, teguh di atas jalan jihad, karena sesungguhnya jihad adalah jalan menuju kemuliaan, kekuasaan dan penegakan Daulah Islam dengan izin Allah Ta’ala.
Saya menasehatkan kepada mereka dan kepada diriku sendiri untuk tidak meninggalkan jalan jihad ini sampai kita berhasil menerapkan syariat Islam di atas bumi yang suci ini, dengan izin Allah Ta’ala.
Saya menasehatkan kepada mereka dan kepada diriku sendiri untuk berjama’ah dan bersatu di bawah kalimat tauhid, di bawah panji tauhid, karena sesungguhnya jama’ah [persatuan] itu rahmat dan perpecahan itu azab. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam:
«الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ، وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ»
“Jama’ah itu adalah rahmat dan perpecahan itu adalah azab.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah no. 93)
Saya mewasiatkan dan menasehatkan kepada mereka untuk berjama’ah karena sesungguhnya tangan Allah Ta’ala bersama jama’ah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam:
يَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ،
“Tangan Allah bersama jama’ah.” (HR. Tirmidzi no. 2166 dari Ibnu Abbas, An-Nasai no. 4020, Ibnu Hibban no. 4577 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 17/144 no. 362 dari Arfajah bin Syuraih)
Dalam perpecahan terdapat kerugian dan azab di dunia maupun akhirat. Janganlah kalian berselisih sehingga kalian gagal dan kekuatan kalian hilang.
Inilah nasehatku, inilah wasiatku kepada saudara-saudaraku mujahidin secara khusus dan kaum muslimin secara umum.
Ya Allah, sesungguhnya kami menitipkan kepada-Mu jihad penduduk Syam.
Ya Allah, sesungguhnya kami menitipkan kepada-Mu jihad penduduk Syam.
Ya Allah, sesungguhnya kami menitipkan kepada-Mu jihad penduduk Syam.
Ya Allah, hidupkanlah kami untuk [memperjuangkan] agama-Mu dan matikanlah kami di jalan-Mu.
Semoga shalawat, salam dan berkah senantiasa dilimpahkan kepada pemimpin kita, Nabi Muhammad, dan kepada seluruh nabi dan rasul lainnya.
Reporter: Di akhir pertemuan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada fadhilah doctor Syaikh Sami Al-Uraidi (Abu Mahmud) yang telah membela kehormatan mujahidin dan bersikap tulus kepada kaum muslimin. Semoga Allah memberkahi Anda.
Wassalamu’alaykum wa rahmatullah wa barakatuh.
Yayasan Media Al-Manarah Al-Baidha’
Dzulhijah 1434 H/Oktober 2013 M
(muhibalmajdi/arrahmah.com)