TRIPOLI (Arrahmah.com) – Pemberontak Libya pemberontak dan pasukan NATO telah membentuk ruang operasi bersama, kata juru bicara dari Dewan Transisi Nasional, Abdul Hafiz Ghoga. Hal ini dilaporkan Sabtu malam (16/4/2011) oleh Agence-France Presse.
“Ada ruang operasi bersama,” kata Ghoga pada sebuah konferensi pers di Benghazi. Dia menjawab pertanyaan koordinasi antara pasukan NATO dan dewan yang memerangi pasukan Muammar Qaddafi. Ghoga enggan memberikan rincian lebih lanjut.
Sementara itu, pemberontak Libya terlibat dalam pertempuran sengit di kota minyak strategis Brega, dan berharap agar dapat segera menguasai pelabuhan minyak, juru bicara militer mereka mengatakan kepada televisi Al Arabiya Jumat malam.
“Situasi kami sangat baik, Alhamdulillah. Hari ini kami mulai maju menuju Brega, ada pertempuran besar dan sengit di Brega, dan kami memiliki harapan tinggi bahwa Brega akan menjadi milik kami dalam beberapa jam mendatang,” kata juru bicara pemberontak, Jenderal Abdel Fattah Younes, kepada Al Arabiya.
“Kondisi kami tidak terlalu buruk, dari sisi kesiapan dan tentara pejuang kami. Para pemuda dan pasukan pemberontak sekarang melakukan pekerjaan yang baik dan besok pagi akan ada kabar baik,” tambah Younes.
Sementara itu, Washington Post melaporkan bahwa kurang dari satu bulan konflik Libya, NATO memperlihatkan kinerja yang baik juga menyoroti keterbatasan Inggris, Perancis, dan negara-negara Eropa lainnya dalam mempertahankan aksi militer yang relatif kecil dengan waktu lama, menurut pejabat tinggi NATO dan AS.
Younes mengatakan pejuangnya telah menerima pasokan yang diperlukan, terutama dalam hal persenjataan, dari negara-negara yang mendukung pemberontakan terhadap Muammar Gaddafi.
Sementara itu, rezim Gaddafi membantah pihaknya menggunakan bom cluster dalam pertempuran melawan para pemberontak di daerah pemukiman, menyusul laporan yang dipublikasikan di New York Times, dan aktivis hak asasi manusia.
“Tentu saja tidak! Kami tidak bisa melakukan ini. Secara moral dan hukum, kami tidak bisa melakukan ini,” seorang juru bicara pemerintah, Ibrahim Moussa, mengatakan kepada para wartawan ketika ditanya tentang masalah ini. “Kami tidak pernah melakukannya. Kami menantang mereka untuk membuktikannya.”
Wartawan dan kelompok hak asasi manusia mengatakan Jumat bahwa pasukan Gaddafi menggunakan bom yang dilarang untuk menyerang kota terkepung, Misrata. Petugas medis di sana melaporkan bahwa sedikitnya delapan orang-orang tewas sementara menunggu dalam antrian untuk memperoleh makanan.
“Tadi malam itu seperti hujan,” kata Hazam Abu Zaid, seorang penduduk lokal yang telah mengangkat senjata untuk mempertahankan lingkungannya, menggambarkan bom cluster.
Namun, Ibrahim Mousa menampik dengan dengan mengatakan, “Jika kami menggunakan bom ini, bukti akan tetap selama berminggu-minggu dan kami tahu bahwa komunitas internasional akan datang ke negara kami secepatnya.”
“Jadi tentu saja kami tidak bisa melakukan ini. Kami tidak bisa memberatkan diri kami untuk menjadi kriminal,” lanjutnya.
Kelompok HAM yang berbasis di New York, Human Rights Watch, mengatakan mereka yakin senjata terlarang itu sedang digunakan. Penyidik yang berafiliasi dengan HRW memeriksa bukti-bukti seperti sisa-sisa kepingan bom. Mereka juga berbicara dengan sopir ambulans Misrata yang telah melihat bom tersebut digunakan dalam serangan.
“Human Rights Watch mengamati setidaknya tiga bom curah yang meledak di lingkungan El-Shawahda di Misrata pada malam 14 April 2011,” kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.
“Sangat mengerikan bahwa Libya menggunakan senjata ini, khususnya di daerah perumahan,” kata Steve Goose, direktur divisi senjata Human Rights Watch. (althaf/arrahmah.com)