Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
(Arrahmah.com) –Islam radikal di Indonesia terkait terorisme? Saat ini “terorisme” menjadi diskursus menarik bagi banyak orang. Arus opini yang berkembang “terorisme” seolah inheren dengan Islam dan kelompok Islam yang dicap radikal. Bahkan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) membuat kesimpulan bahwa ideologi radikal adalah akar dari terorisme.Di Indonesia kelompok Islam yang cap radikal cukup beragam, namun apakah benar bahwa mereka adalah pilar utama fenomena terorisme? Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita perlu empat komponen yaitu hati yang lapang jauh dari sikap emosional dan tendensius, pengetahuan yang cukup terkait realitas kelompok “radikal”, sikap obyektif dan kejujuran.Disamping perlu berani keluar dari jebakan mainstream diskursus Terorisme dan bergeser dari metodologi analisis (framework) kultural yang berkutat kepada persoalan keterkaitan ideologi dan motif dari pelaku terorisme.Kenapa demikian? Berikut perspektif yang bisa saya paparkan.
Diluar perdebatan definisi terorisme yang “no global concencus” sampai saat ini, sejatinya terorisme adalah fenomena komplek yang lahir dari beragam faktor yang juga komplek. Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya. Ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis (AS), imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar). Selain itu adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan ataupun terorisme.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan fenomena teror di Indonesia pada tiga tahun terakhir membutuhkan framework analisis (analytical framework) yang tepat, karena akan berimplikasi kepada pemahaman tentang terorisme dan solusinya (A.C Manullang,2006). Realitasnya terorisme memiliki tiga komponen yakni:Pelaku teror (teroris), Tindakan teror dan Sasaran teror (obyek).
Yang pertama melalui Framework kultural; membedah perilaku, sikap dan perbuatan sebagai penjelmaan nilai, sistem kepercayaan atau ideologi.Metodologi ini fokus membaca korelasi antara nilai atau ideologi dengan teroris, intinya adalah interpretasi nilai terhadap aksi (Darnton,1985;Taylor,1985).
Dari framework inilah Islam dan umatnya menjadi fokus perhatian, bahkan sering kali kemudian lahir simplikasi tentang ideologi radikal atau kelompok radikal sebagai akar terorisme.Karena radikalisme seolah menjadi inheren dari Islam dan umatnya. Jika terjebak pada framework ini sebenarnya akan makin sulit menjelaskan secara tuntas, lengkap dan obyektif tentang sebab terjadinya teror. Karena diabaikannya komponen ketiga yaitu sasaran teror.
Framework ini manfaat untuk menjelaskan modus teror tapi belum mampu menjawab soal mengapa sekelompok orang memilih teror? Mengapa pihak tertentu menjadi sasaran teror? Dan kenapa tindakan teror tersebut muncul diwaktu-waktu tertentu padahal variabel kultural (menyangkut doktrin nilai, ideologi atau agama seperti jihad dan semisalnya) sudah eksis berabad-abad yang lalu?
Disinilah pentingnya menggunakan framework rasional, metodologi ini mengkaji korelasi antara teroris dan sasaran dalam aspek kesamaan-kepentingan, konflik kepentingan dan pola interaksi diantara keduanya.Dalam Framework ini teroris dan sasaran terornya diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis. Rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya dan semua aksi mencerminkan tujuan mereka.Strategis dalam artian pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya.
Framework kultural berasumsi nilai menghasikan tindakan, tindakan sangat tergantung persepsi dan pemahaman (ideologi) yang dimiliki teroris. Dengan framework ini semata akan berdampak parsial memahami terorisme dan menyeret publik kepada profil teroris dan tindakan terornya semata sementara sasaran teror di abaikan.Dampak turunannya adalah solusi yang temporer dan parsial. Sementara framework rasional berasumsi kalkulasi strategis antar aktor menghasilkan teror.Frame ini mengharuskan evaluasi terhadap langkah, kebijakan, strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak;teroris dan sasaran teror. Dan resiko logisnya penggunaan metodologi ini akan di anggap analisis yang obyektif dan rasional atau dianggap sebagai simpatisan teroris karena manganalisa secara kritis sasaran teror, di saat “sasaran” sedang menjadi “korban”.
Penggunaan framework rasional penting karena mampu menjawab dua hal penting; kondisi yang memunculkan dan kondisi yang meredam terjadinya teror.Belajar paska penyerangan WTC di AS yang disusul dengan kampanye Global War on Terrorism, mereka fokus menuduh the evil ediology sebagai penyebab terorisme namun abai pada faktor penyebab lain. Akhirnya solusi yang digelar justru malahirkan spiral kekerasan yang tidak berujung. “Teroris” dengan aksi terornya konfrontatif dengan teror oleh kekuatan negara (state terrorism).
Dalam wajah yang hampir sama, di Indonesia menempuh dua strategi kontra terorisme. Tapi keduanya terjebak dalam framework kultural (paradigm entrapment), mengidentifikasi kekerasan dan teror inheren dalam Islam dan kelompok-kelompok yang di cap radikal. Akibatnya baik strategi hard power maupun soft power yang diemban Densus 88 dan BNPT seperti menjadi pemantik kekerasan demi kekerasan. Karena menempatkan kelompok-kelompok radikal secara general sebagai ancaman aktual dan potensial. Pendekatan soft power-nya melahirkan kontraksi pemikiran dan membuat kutub radikal-liberal makin kontradiksi diametrikal. Padahal menurut Joseph K Nye, dalam bukunya ‘Softpower’ (2008), strategi ini mengandalkan persuasi daripada kekerasan, fisik maupun kata-kata.
Sejauh pengamatan saya, baik BNPT dengan satgas penindakannya maupun Densus 88, tersirat lebih condong hanya menggunakan ‘Hard-power. Dan pendekatan hard power yang mengesampingkan kaidah-kaidah hukum makin membuat antipati dan distrush terhadap nilai keadilan. Maka belajar dari kasus-kasus teror yang muncul di tiga tahun terakhir, sejatinya lebih dominan sebagai bentuk respon dan interaksi antara pelaku teror terhadap pemerintah dalam hal ini institusi kepolisian RI. Dan dendam menjadi stimulan meski “doktrin” agama tetap menjadi bumbu pelengkap dari pilihan aksi teror yang dilakukan oleh individu atau sekelompok orang.
Dari perspektif ini saya melihat beragamnya kelompok Islam yang dicap radikal tidak otomatis mereka adalah kontributor bahkan menjadi inspirator utama lahirnya tindakan terorisme. Kelompok radikal sendiri dinamika perjuangannya dalam dua arus besar, radikal pemikiran dan ada yang radikal fisik atau aksi. Tidak pasti sebangun dan korelatif bahwasanya individu dan atau kelompok yang radikal pada aspek pemikiran kemudian menjadi radikal dalam aksi atau tindakan.
Meski keduanya ditemukan spirit yang sama bahwa eksistensinya seperti pandangan Amstrong sebagai respons terhadap sergapan sekularisme dan modernitas yang agresif, yang dianggap bukan saja meminggirkan agama sebagai sekadar urusan pribadi tetapi juga untuk memelihara agama dari pemusnahan oleh sekularisme dan modernitas itu (Karen Amstrong, 2001). Maka tumbuhnya individu-individu dan kelompok-kelompok yang di cap radikal dengan ideologi yang dikembangkan maupun sikap bias dalam merespons perkembangan yang dianggap menyimpang dari agama hanyalah satu faktor disamping faktor-faktor struktural, kultural, dan situasional yang memicu lahirnya tindakan kekerasan terorisme. Jika memaksa memposisikan kelompok Islam radikal sebagai akar terorisme itu sama artinya terlalu over simplikasi dan generalisasi tanpa verifikasi secara rigid.Dan tidak salah jika kemudian kelompok radikal merasakan suasana psikologis terdzalimi secara sistemik baik dalam skala domestik maupun global.
Sebagai contoh di Indonesia cukup eksis; seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin (IM), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad (Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah), JAT (Jamaah Anshorut Tauhid),FPIS, dan kelompok underground lainnya yang dianggap sebagai kelompok radikal dan antitesa dari kelompok sekuler liberal seperti; Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bermarkas di Utan Kayu dan kelompok lain yang memiliki agenda sama, seperti Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Wahid Institute (WI), Perhimpunan dan pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Rahima, Fahmina (Cirebon), Forum Lintas Agama (FLA) Surabaya, LAPPAR Makasar dan lain-lain.Namun yang perlu dicatat bahwa kelompok radikal diatas tidak otomatis akan melakukan aksi terorisme sebagai metode perjuangannya. Dengan kata lain, pemahaman terhadap ‘social origin’sangat penting. Jika tidak, modus stereotyping BNPT dan Densus 88 kepada kelompok-kelompok Islam radikal hanya akan melahirkan apa yang disebut cendekiawan Universitas Oxford, Akbar Ahmed, sebagai ‘Hyper-Ashabiyah’ yang bersumber dari teori Ibn Khaldun tentang ‘Ashabiyah’ (Islam Under Siege, 2004).
Maka fenomena terorisme tetap dengan kompleksitasnya, tidak ada faktor tunggal yang menjadi pemicunya.Sekalipun di Indonesia tumbuh kelompok radikal yang mengambil metode “fisik” (seperti JM/JI) sebagai “manhaj” perjuangannya, tetap saja variabel pelengkapnya harus ada untuk bisa memunculkan sebuah aksi yang kemudian di cap sebagai “terorisme”.
Dalam buku Root Causes of Terrorism: Myths, Reality, and Ways Forward, Tore Bjørgo menawarkan sebuah tipologi yang dapat digunakan untuk memahami faktor-faktor penyebab terorisme. Bjørgo membedakan antara dua kategori penyebab dalam tipologinya, yaitu preconditions of terrorism dan precipitants of terrorism. Preconditions (prekondisi) adalah faktor-faktor yang menyediakan kondisi-kondisi yang dalam jangka panjang kemudian melahirkan terorisme.
Sementara itu, precipitants of terrorism adalah peristiwa atau fenomena spesifik tertentu yang secara langsung mendahului atau memicu terjadinya sebuah tindak terorisme. Dalam konteks ini, kondisi domestik dan situasi internasional masa Orde Baru sebagai faktor-faktor struktural, fasilitator (akselerator) dan juga motivasional penyebab aksi “terorisme” oleh anggota kelompok DI/NII dan turunannya seperti Al Jama’ah Al Islamiyah (JM/JI) serta sempalan maupun simpatisannya.
Jadi fenomena terorisme bukan sekedar problem kultural; interpretasi teks langit maupun tek historis (dinamika politik domestik yang represif dan memarginalkan kelompok puritan) yang berbuah sikap dan tindakan. Tapi juga problem rasional; faktor politik global dan domestik serta langkah-langkah penanganan teror yang tidak humanis. Penanganan teror yang terjadi membuat luka “dendam”. Karena “demonstrasi” ketidakadilan dan sikap arogansi aparat (Densus 88) menjadikan dendam mengendap dalam skala komunal. Selain faktor kesejarahan dan ideologi, faktor kebijakan negara yang sangat repressif terhadap kelompok Islam juga dianggap berperan penting yang mendorong kelompok Islam berpotensi melancarkan aksi terror. Mohammed Hafez (2004) menegaskan dengan kesimpulan –mengambil contoh kasus terorisme kelompok Islam di Aljazair– bahwa represi yang brutal oleh rejim menjadi faktor terpenting yang melahirkan aksi-aksi teror dari kelompok Islam yang ditindas dengan kejam. Dalam sebuah moment dimana seluruh ruang untuk berpartisipasi tertutup rapat dan terjadi penindasan terus menerus, maka satu hal yang mungkin terjadi adalah perlawanan dalam bentuknya yang paling ekstrim: terorisme.
Jadi langkah bijak untuk mereduksi bahkan mangaborsi terorisme di Indonesia adalah; pemerintah dengan sadar dan serius plus kapasitas dan instrumen yang dimilikinya bekerja menjawab faktor-faktor penyebabnya secara komprehensif.Meminjam sindiran cerdas Kurzman, di tengah hiruk-pikuk besarnya perhatian terhadap terorisme, dunia aslinya telah jauh lebih aman. Dalam tulisan bersama Neil Englehart: “Welcome to World Peace,” (Social Forces, Volume 84, Number 4, June 2006), menyindir: Boleh jadi respon terbaik terhadap terorisme adalah membiarkannya!
Menurut Kurzman, serangan teroris jarang terjadi, dan korbannya tak banyak – dibandingkan dengan korban perang saudara, pembunuhan, atau kecelakaan lalu lintas. Pada tingkat dunia, terorisme hanya menimbulkan sedikit korban. Mengutip data World Health Organization (WHO); bahwa 150,000 orang mati setiap hari. Sementara Pusat Lawan-Terorisme Nasional Amerika Serikat mengatakan jumlah orang yang mati karena terorisme kelompok Islamis adalah kurang dari 50 nyawa perhari, dan tak sampai 10 di luar Irak, Pakistan, dan Afghanistan.
Bandingkan angka-angka di atas dengan 1,500 orang yang mati setiap hari karena kekerasan sipil, 500 karena perang, 2,000 karena bunuh diri, dan 3,000 karena kecelakaan lalu lintas. Malahan, ada 1,300 orang per hari yang mati karena gizi buruk. Korban malaria juga banyak. Kalau tujuannya adalah menyelamatkan nyawa manusia, lebih baik uang digunakan untuk beli kelambu daripada perang melawan teror (Charles Kurzman, The Missing Martyrs; Why They Are So Few Muslim Terrorists,New York: Oxford University Press, 2011).
Selanjutnya, gangguan yang ditimbulkan terorisme sebagian besar timbul karena pemberitaan yang berlebihan. Kelompok teroris dan media “bekerjasama” dalam hal ini. Ketika banyak masalah lebih penting, mendesak, dan menyangkut nyawa lebih banyak manusia perlu ditangani, sementara sumberdaya sangat terbatas, kenapa terobsesi dengan terorisme? (Englehart-Kurzman 2006, 1957; Kurzman 2011).Bagaimana dengan Indonesia? Berapa ribu orang meninggal dijalan tiap tahunnya? Belum lagi karena faktor malnutrisi dan sebagainya.
Maka rasanya sangat timpang jika fokus di law enforcement dan tindakan deradikalisasi dengan paradigma yang tendensius tapi mengabaikan faktor domestik dan global yang interpendensi. Justru langkah-langkah penindakan yang berakibat sekitar 900 orang yang ditangkap dan 110 orang lebih meninggal (exstra judicial killing) tanpa mengindahkan koridor-koridor hukum yang berlaku itu sama artinya melestarikan teror dan terorisme di Indonsia. (Lihat lampiran-Hasil pantauan lapangan: Fakta-fakta penindakan Densus88 terhadap terduga teroris.)
Dengan pendekatan metodologi analisis (framework rasional) juga mengharuskan adanya evaluasi terhadap dua strategi pokok langkah kontra-terorisme yang diemban oleh Densus88 dan BNPT. Jika tidak, maka saya mengeja fenomena terorisme di Indonesia tidak akan pernah ada ujungnya. Terorisme di Indonesia disamping ada dimensi ideologi, namun juga memuat kepentingan “proyek” ekonomi, politik bahkan terkait “maslahat” temporal kaum opuntunir. Dan Indonesia akan menjadi lahan subur reproduksi “teroris” baik oleh jaringan (target kontra terorisme) dalam rangka menuntut balas (qishas) maupun permainan intelijen gelap untuk menjaga “proyek” kontra terorisme eksis keberlangsungannya.
Disampaikan dalam FGD Tim Teroris Komnas HAM Pusat, 24-25 Oktober 2013 di Hotel Oria Jakpus.
(arrahmah.com)