(Arrahmah.com) – Dalam banyak kesempatan muncul sebuah pendapat, lalu pendapat tersebut menyebar luas dan popular di tengah masyarakat; dalam pembicaraan-pembicaraan dan tulisan-tulisan mereka, sehingga dalam perkara tersebut hampir-hampir tidak dikenal selain pendapat tersebut.
Jika Anda meneliti realita sebenarnya dari pendapat tersebut, maka Anda mendapati fakta bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang pertama kali diungkapkan dalam perkara tersebut, dan sebelumnya belum ada pendapat seperti itu dalam perkara tersebut. Tak heran bila pendapat tersebut menyebar luas dan populer, meskipun sebenarnya pendapat tersebut tak lebih dari sebuah pendapat biasa yang tidak memiliki tanda-tanda dan indikasi-indikasi yang menunjukkan kebenarannya.
Kita meyakini bahwa perkataan sebagian orang “agama Islam tidak mengenal sistem politik” atau “Islam tidak mengatur urusan penyelenggaraan negara” adalah termasuk dalam kategori pendapat yang terkenal dan menyebar luas di tengah masyarakat, namun sebenarnya tidak memiliki landasan dan bukti-bukti valis yang menunjukkan kebenaran pendapat tersebut.
Banyak orang mengatakan bahwa kaum muslimin tidak memiliki perhatian terhadap pembicaraan tentang perkara politik. Mereka menyatakan sebagian besar pembicaraan kaum muslimin hanya berkenaan dengan perkara akhirat, perkara dunia tidak mendapatkan porsi dalam tulisan-tulisan kaum muslimin, pembicaraan kaum muslimin tertuju para perkara-perkara ghaib, alam di bawah tanah (alam kubur) bukan alam di atas tanah berupa ilmu dan pengetahuan dunia. Mereka juga menyatakan bahwa tulisan dan kajian kaum muslimin dalam perkara politik hanya sedikit sekali.
Pendapat dan perkataan banyak orang di atas telah menyebar luas dan populer dalam kehidupan kaum muslimin saat ini. Meski terkenal dan dianut oleh banyak orang, pendapat tersebut sejatinya adalah pendapat yang kosong dari bukti-bukti kebenaran. Sebagian besar orang yang mengatakan pendapat di atas tidak mengenal kajian kaum muslimin tentang politik, selain kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah karya imam Al-Mawardi.
Orang-orang yang mengatakan pendapat di atas terdiri dari dua kelompok:
Pertama, orang-orang yang menyerang agama Islam dengan pendapat tersebut, di mana mereka menuduh Islam sebagai agama yang tidak memiliki hubungan dengan urusan dunia. Mereka meyakini Islam tidak memiliki hak untuk berinteraksi dengan urusan dunia. Menurut keyakinan mereka, orang-orang Islam yang mencoba untuk mengaitkan agama Islam dengan pengaturan urusan duniawi pada hakekatnya sedang menzalimi Islam sendiri. Mereka menganggap hal itu sebagai “pemerkosaan” terhadap agama Islam. Mereka adalah orang-orang sekuler, yang meyakini Islam sebagai agama ruhani semata, dan tidak memiliki hak maupun sistem untuk mengatur kehidupan duniawi.
Kedua, orang-orang yang meyakini bahwa Islam mengatur urusan dunia dan urusan akhirat. Mereka meyakini Islam mengatur urusan akhirat, sebab akhirat adalah negeri tempat tinggal manusia setelah manusia bersusah payah hidup di dunia. Mereka juga meyakini Islam mengatur urusan dunia, sebab dunia adalah ladang menanam untuk menuai hasilnya di akhirat. Namun orang-orang ini mencela para ulama Islam dan menuduh mereka tidak memiliki perhatian yang besar terhadap urusan dunia kaum muslimin.
Padahal persoalan sebenarnya adalah orang-orang tersebut belum mengkaji karya-karya para ulama Islam yang begitu kaya dalam bidang ini. Bahkan banyak di antara mereka yang sekedar mendengar nama karya-karya para ulama Islam pun belum pernah.
***
Sesungguhnya syariat Islam adalah syariat yang terakhir bagi umat manusia. Allah Ta’ala menurunkan syariat Islam kepada kepada penutup para nabi dan rasul, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam, sebagai pedoman hidup yang sempurna dan lengkap. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah memberikan perhatian yang seimbang terhadap semua perkara; perkara dunia maupun perkara akhirat.
Al-Qur’an dan as-sunnah tidak membeda-bedakan antara perkara dunia dan perkara akhirat. Pembedaan antara dunia dan akhirat di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah adalah pembedaan yang bersifat saling melengkapi, bukan pembedaan yang saling kontradiktif. Dunia adalah lading tempat menanam amal untuk akhirat. Akhirat adalah buah yang dipetik dari amal perbuatan yang ditanam di dunia. Kerusakan urusan dunia membawa bahaya bagi kehidupan di akhirat.
Hanya saja metode Al-Qur’an dan as-sunnah dalam membahas perkara dunia dan perkara akhirat beragam, tidak mengikuti satu metode semata. Al-Qur’an dan As-sunnah membahasnya dengan beragam metode; terkadang dengan pernyataan tegas, terkadang dengan isyarat halus, terkadang dengan peringatan dan cara-cara lain penunjukkan dalil terhadap hukum syar’i yang berbentuk perintah, larangan, penetapan, arahan, kisah umat-umat terdahulu dan lain-lain.
***
Defisini Siyasah (Politik) Secara Bahasa
Istilah politik dalam bahasa Arab adalah siyasah. Istilah siyasah merupakan bentuk isim mashdar (kata benda dasar), ia berasal dari kata kerja dasar saasa – yasuusu – siyaasah. Makna dasarnya adalah mengurus sesuatu dengan hal yang membawa kebaikan baginya.
Dalam bahasa Arab, istilah siyasah memiliki banyak penunjukan, arahan dan kandungan makna. Siyasah adalah memperbaiki dan mempertahankan kebaikan, dengan beragam sarana seperti arahan, pengajaran adab, penataan akhlak, perintah dan larangan, melalui sebuah kemampuan yang bersandar kepada kekuasaan dan kepemimpinan.
Inilah makna siyasah dalam bahasa Arab, sebagaimana termuat dalam Kamus-kamus Bahasa Arab.
1. Imam Murtadha az-Zabidi (wafat tahun 1205 H) berkata:
{سُسْتُ الرَّعِيَّةَ} سِيَاسَةً، أَمَرْتُهَا ونَهَيْتُهَا.
{وساسَ الأَمْرَ} سِيَاسَةً: قامَ بِهِ. وَيُقَال: فُلانٌ مُجَرَّبٌ، قد {ساسَ} وسِيسَ عَلَيْه، أَي أَدَّبَ، وأُدِّبَ وَفِي الصّحاحِ: أَي أُمِّر وأُمِّرَ عَليه. {والسِّيَاسَةُ: القِيامُ على الشْيءِ بِمَا يُصْلِحُه.
Sustu ar-ra’iyah siyaasatan (saya mengatur rakyat dengan sebuah pengaturan): Saya memerintah dan melarang rakyat.
Saasa al-amra siyaasatan (mengatur sebuah perkara): Mengurus perkara tersebut.
Dikatakan fulan adalah orang yang berpengalaman, ia telah saasa (mengatur) dan siisa ‘alaih (diatur): Ia telah mengajari adab dan diajari adab (ia telah mendidik dan dididik). Dalam kamus AS-Shihah dikatakan maknanya adalah ia telah diangkat sebagai pemimpin dan ia pernah juga dipimpin.
Siyaasah: mengurus sesuatu perkara dengan hal yang akan membuatnya bagus.” (Tajul ‘Arusy min Jawahiril Qamus, 16/157)
2. Imam Ibnu Manzhur Al-Anshari Al-Ifriqi (wafat tahun 711 H) berkata:
والسَّوْسُ: الرِّياسَةُ، يُقَالُ سَاسُوهُمْ سَوْساً، وإِذا رَأَّسُوه قِيلَ: سَوَّسُوه وأَساسوه. وسَاس الأَمرَ سِياسةً: قَامَ بِهِ،..
وَفُلَانٌ مُجَرَّبٌ قَدْ ساسَ وسِيسَ عَلَيْهِ أَي أَمَرَ وأُمِرَ عَلَيْهِ. وَفِي الْحَدِيثِ:
كَانَ بَنُو إِسرائيل يَسُوسُهم أَنبياؤهم
أَي تَتَوَلَّى أُمورَهم كَمَا يَفْعَلُ الأُمَراء والوُلاة بالرَّعِيَّة. والسِّياسةُ: القيامُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا يُصْلِحه. والسياسةُ: فِعْلُ السَّائِسِ.
“Saus artinya riaasah (kepemimpinan). Dikatakan (dalam bahasa Arab) saasuuhum sausan artinya ia memimpin mereka. Jika mereka mengangkatnya sebagai pemimpin, maka dikatakan (dalam bahasa Arab) sawwasuuhu dan asaasuuhu. Saasa al-amra siyaasatan artinya ia mengatur sebuah urusan.
Fulan orang yang berpengalaman, ia telah saasa dan siisa ‘alaih, artinya ia telah memerintah (memimpin) dan telah diperintah (dipimpin).
Dalam hadits disebutkan: “Adalah Bani Israil yasuusuhum al-anbiya’ (para nabi memimpin mereka)”, maksudnya adalah para nabi mengatur urusan mereka sebagaimana pengaturan yang dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat kepada rakyat.
Siyaasah adalah mengurus sesuatu dengan melakukan hal yang membawa kebaikan baginya.
Siyaasah adalah perbuatan sais (pemimpin). (Lisanul ‘Arab, 6/108)
3. Imam Najmuddin Umar bin Muhammad An-Nasafi (wafat tahun 537 H) berkata:
وَالسِّيَاسَةُ حِيَاطَةُ الرَّعِيَّةِ بِمَا يُصْلِحُهَا لُطْفًا وَعُنْفًا
Siyaasah adalah meliputi rakyat dengan hal yang membawa kebaikan bagi rakyat, baik tindakan secara lemah lembut maupun tindakan secara keras. (Thalabatut Thalabah fil Isthilahat al-Fiqhiyah hlm. 167)
Pernyataan para pakar bahasa Arab di atas mengisyaratkan bahwa ishlaah (perbaikan) dan istishlaah (mempertahankan kebaikan) bukanlah sebuah tujuan semata dalam sebuah siyaasah (politik). Ishlaah dan istishlaah adalah siyaasah (politik) itu sendiri. Jika Ishlaah dan istishlaah, niscaya siyaasah pun tidak ada.
Definisi Siyasah Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Lafal siyaasah atau pecahan katanya tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. A-Qur’an menggunakan lafal ishlaah, amr (perintah, memerintahkan), nahy (larangan, melarang), amrun bil ma’ruf, nahyu ‘an al-munkar, al-hukmu (memerintah, memutuskan perkara) dan lafal-lafal lain yang mewakili pengertian siyaasah.
Lafal siyaasah hanya disebutkan di dalam hadits (as-sunnah). Di antaranya dalam hadits shahih:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi mereka meninggal, niscaya ia digantikan oleh nabi lainnya. Adapun setelah aku meninggal tidak aka nada seorang nabi pun, namun akan ada para khalifah dan jumlah mereka banyak.” (HR. Bukhari no. 3455 dan Muslim no. 1842 dari Abu Hurairah)
Tentang makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ, imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi (wafat tahun 676 H) berkata:
أَيْ يَتَوَلَّوْنَ أُمُورَهُمْ كَمَا تَفْعَلُ الْأُمَرَاءُ وَالْوُلَاةُ بِالرَّعِيَّةِ وَالسِّيَاسَةُ الْقِيَامُ عَلَى الشيْءِ بِمَا يُصْلِحُهُ
“Yaitu para nabi tersebut mengatur urusan mereka sebagaimana para pemimpin dan pejabat melakukannya terhadap rakyat. Siyaasah adalah mengurus sesuatu perkara dengan melakukan hal yang membawa kebaikan bagi sesuatu perkara tersebut.” (Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, 12/231)
Kesimpulan Definisi Siyasah
1. Syaikh Muhammad bin Syakir As-Syarif menulis: “Dari sini menjadi jelas bahwa istilah siyaasah di dalam syariat Islam dipergunakan dengan pengertiannya secara bahasa, yaitu pengurusan urusan rakyat oleh para pemimpin mereka dengan hal yang membawa kebaikan bagi mereka, baik dengan sarana perintah, larangan, arahan, penataan akhlak dan segala hal yang diperlukan termasuk menetapkan tata tertib dan aturan-aturan managerial (administratif), yang mampu merealisasikan kemasalahatan bagi rakyat, baik dengan mendatangkan kebaikan atau perkara yang layak maupun menolak keburukan atau perkara yang tidak layak. (Artikel beliau berjudul As-Siyasah asy-Syar’iyyah: Ta’rif wa Ta’shil, dimuat oleh Majalah Al-Bayan, London, edisi 197 bulan Muharram 1425 H)
2. Definisi tersebut menunjukkan aspek praktek dari apa yang dinamakan siyasah (politik). Ia adalah tindakan-tindakan, usaha-usaha dan pengaturan-pengaturan untuk membawa kebaikan bagi sebuah perkara (rakyat yang dipimpin). Siyasah ar-ra’iyah (memimpin rkayat) menuntut kemampuan memimpin secara bijaksana guna merealisasikan maslahat bagi seluruh rakyat, dengan cara pengaturan yang baik dan kehati-hatian dalam melakukan tindakan atau tidak melakukan sebuah tindakan.
Hal ini menuntut pengetahuan sepenuhnya terhadap pengalaman, pembelajaran, latihan, kebijaksanaan, kedewasaan, dan kemampuan memberdayakan potensi yang ada sebaik mungkin untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang hendak diraih.
Pengertian inilah yang juga bisa disimpulkan dari pendapat para ulama Islam. Misalnya:
1. Saat menjelaskan hikmah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menunjuk enam orang sahabat sebagai panitia pemilihan calon khalifah sepeninggalnya; imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari (wafat tahun 310 H) berkata:
لَمْ يَكُنْ فِي أَهْلِ الْإِسْلَامِ أَحَدٌ لَهُ مِنَ الْمَنْزِلَةِ فِي الدِّينِ وَالْهِجْرَةِ وَالسَّابِقَةِ وَالْعَقْلِ وَالْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ بِالسِّيَاسَةِ مَا لِلسِّتَّةِ الَّذِينَ جَعَلَ عُمَرُ الْأَمْرَ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Karena di kalangan umat Islam pada waktu tersebut tiada ada seorang pun yang memiliki kedudukan dalam hal agama, hijrah, kepeloporan (masuk Islam), akal sehat (kecerdasan), ilmu dan pengetahuan tentang siyasah, seperti (terkumpulnya sifat-sifat tersebut) pada diri enam orang yang ditunjuk oleh Umar sebagai dewan syura.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 13/198)
2. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat tahun 825 H) berkata:
وَالَّذِي يَظْهَرُ مِنْ سِيرَةِ عُمَرَ فِي أُمَرَائِهِ الَّذِينَ كَانَ يُؤَمِّرُهُمْ فِي الْبِلَادِ أَنَّهُ كَانَ لَا يُرَاعِي الْأَفْضَلَ فِي الدِّينِ فَقَطْ بَلْ يُضَمُّ إِلَيْهِ مَزِيدُ الْمَعْرِفَةِ بِالسِّيَاسَةِ مَعَ اجْتِنَابِ مَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ مِنْهَا
“Nampak jelas dari perjalanan hidup (kebijakan) Umar dalam mengangkat para pejabat (gubernur) wilayah-wilayah bahwa ia tidak hanya mempertimbangkan orang yang paling mulia dalam masalah agama semata, namun lebih dari itu ditambah dengan pengetahuan yang lebih tentang siyasah (keahlian memimpin rakyat) dan menjauhi siyasah (kebijakan) yang menyelisihi syari’at.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 13/198)
Wallahu a’lam bish-shawab
Bersambung, insya Allah Ta’ala….
(muhibalmajdi/arrahmah.com)