JAKARTA (Arrahmah.com) – Beberapa waktu lalu (28 Maret 2011) Komisi Yudisial Republik Indonesia telah menerima laporan dari tim kuasa hukum Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang diajukan pada tanggal 15 Maret 2011. Laporan itu terkait sikap keberatan terhadap majelis hakim yang tidak independen dalam atas penetapan pemberian izin kepada Jaksa Penuntut Umum untuk memeriksan 16 saksi secara teleconference.
Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Majelis Hakim Penetapan No. 148/Pen.Pid/2011/PN.Jkt.Sel Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jl, Ampera Raya No. 133, Ragunan, Jakarta Selatan, Komisi Yudisial memanggil Majelis Hakim perkara a quo untuk memberikan klarifikasi tentang pemeriksaan 16 saksi secara teleconference dalam waktu 14 hari.
Sementara itu, Selasa (12/4/2011) kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh tim pengacara Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Salah satu tim pengacara Ustadz Ba’asyir, Achmad Michdan mengatakan, TPM telah mengajukan uji materi pasal 21 ayat (1) yang mengatur alasan penahanan. Tim juga menggugat pasal 95 ayat (1) tentang ganti kerugian dalam praperadilan.
Menurut Michdan, pasal 21 ayat (1) KUHAP seringkali dijadikan dasar tindakan subyektif oleh aparat kepolisian ketika melakukan penahanan. “Penahanan bukan karena konflik politik atau ketidaksukaan terhadap pihak tertentu, tapi demi perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya.
Dalam pasal 21 ayat (1) disebutkan, perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Penahanan dilakukan karena keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Sementara isi pasal 95 ayat (1) disebutkan soal penggantian kerugian jika seorang tersangka atau terdakwa ditangkap, ditahan, dituntut, diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang.
Achmad Michdan mencontohkan, yang terjadi kepada kliennya, Ustadz Ba’asyir,ketika ditangkap tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Baasyir bahkan tidak diberi kesempatan oleh aparat kepolisian untuk memberikan hak menjawab tuduhan. Hal-hal itulah yang menurutnya sangat subyektif diterapkan dalam prosedur penahanan. Begitu pula soal perpanjangan masa penahanan, yang bisa dilakukan sesuka aparat. “Harusnya minta penjelasan majelis hakim untuk memperpanjang masa penahanan ustad,” ujarnya.
Selama ini, alasan aparat mengajukan perpanjangan penahanan bagi Baasyir karena berdasarkan informasi dari intelijen yang menyatakan kliennya masih perlu ditahan. “Tapi wakil ketua majelis pengadilan tidak pernah mempertimbangkan alasan itu, hanya diserahkan kepada pihak kepolisian,” kata dia.
Jika alasan perpanjangan penahanan yang diajukan adalah kekhawatiran tersangka bakal kabur atau menghilangkan barang bukti, menurut Michdan justru semakin tidak masuk akal. “Apakah orang seperti ustadz akan lari? Setiap hari ustad dakwah di rumahnya. Ini lebih karena kepentingan politik dalam negeri dan luar negeri,” katanya. (voa-islam/arrahmah.com)