JAKARTA (Arrahmah.com) – Makin hari, Sutopo, juragan seni ukir dari Desa Senenan, Jepara, Jawa Tengah, makin sulit mencari kader perajin. Padahal, boleh dikata, keunggulan mebel Jepara dibanding mebel dari negara lain di pasar internasional hanyalah ukirannya.
Ukiran Jepara yang terkenal itu adalah buah kerja tangan-tangan terampil warga setempat, yang mencungkil dan memahat kayu. Desainnya juga dari kreativitas perajin Jepara.
Namun, ketika pekan lalu Kompas menyambangi Desa Senenan, sebuah pertanyaan menyeruak hadir, sampai kapan seni ukir Desa Senenan bertahan?
Sebenarnya di Jepara, ada yang berpendapat seni ukir yang mulai dikenal sejak era Majapahit ini, tak mungkin dilibas karena hanya orang Jepara yang bisa mengukir. Tapi benarkah?
Sebuah pameran di Cina, beberapa bulan silam menampilkan mesin ukir yang boleh jadi akan menggetarkan perajin ukir Jepara. Mesin tersebut, mulai bisa mengukir meski tak menggores kayu terlampau dalam, lantas mengamplas media kayu. Kerja menjadi lebih efisien dan hemat biaya pegawai.
Seharusnya perajin Jepara mulai deg-degan. Kemajuan teknologi nyaris mustahil dikendalikan. Bagaimana nasib ribuan perajin dari Jepara, Bali, dan Asmat, bila sebuah pabrik di Cina dapat memproduksi patung atau relief dalam waktu sehari-semalam?
Jangan pula mencibir tekstil ”batik” Cina yang diproduksi massal oleh mesin batik cetak! Bila hari ini mesin itu baru mencetak ”batik” murahan, bagaimana bila nantinya mampu merekayasa kain baru jadi kain lawasan?
Simak pula kedashyatan mebel ”rotan plastik” Cina yang menggempur mebel rotan Cirebon. Dengan bahan plastik, Cina memproduksi mebel yang kuat, mudah dibersihkan, tetapi tetap mirip rotan.
Akhirnya, malah industri rotan di Cirebon yang ikut-ikutan membuat mebel rotan dari plastik. Mengingkari keunggulan daya saing dengan berlimpahnya rotan alam Kalimantan dan Sulawesi.
Soal teknologi, jujur saja kita kalah. Jangankan cuma mesin tekstil, tiap bulan, Cina merakit dua unit pesawat Airbus A320. Jadi, waspadai produk ”canggih” dari revolusi permesinan di Cina, yang tinggal menghitung hari!
Sayangnya, belum banyak yang dikerjakan untuk memenangi pertempuran di era liberalisasi ini. Infrastruktur kita, misalnya, masih buruk.
Lantas, ketika mungkin tinggal desain dan kreativitaslah yang nanti dijual, ternyata kita gagap menjaganya.
Di Cina, hanya butuh 20 hari untuk mendapat sertifikat hak kekayaan intelektual, sedangkan di Indonesia butuh 18 bulan. Bayangkan itu! Tak mengherankan, suatu ketika ukiran khas Jepara, yakni yuyu (kepiting), dipermasalahkan Cina karena dianggap menjiplak. (komp/arrahmah.com)