Serangan senjata kimia yang dilakukan oleh tentara rezim Syiah Nushairiyah pimpinan Bashar Assad pada 21 Agustus 2013 lalu ke desa-desa di tepi kota Damaskus telah meninggalkan serpihan-serpihan kisah yang menyayat hati di antara kaum Muslimin Suriah.
Hanya dalam beberapa jam saja mereka telah kehilangan anggota keluarga mereka. Ribuan Muslim di Ghoutah meninggal dunia setelah gas beracun diluncurkan oleh tentara biadab itu.
Salah seorang warga, yang selamat dari serangan senjata kimia saat itu, menuturkan kepada saluran Al Jazeera bagaimana ia kehilangan kakaknya dan seluruh anggota keluarga kakaknya, satu istri dan 3 anak, akibat serangan senjata kimia di Ghoutah.
Dengan kesedihan yang masih nampak di raut wajahnya ia berkata: “Sekitar jam 5 pagi saya mendapat kabar bahwa rumah kakak saya di Ghoutah diserang dengan senjata kimia oleh rezim Assad.”
“Saya bergegas datang untuk memastikan dan baru tiba di rumah abang saya sekitar jam 8.15 pagi,” lanjutnya.
Betapa terkejutnya kemudian pria Muslim berjanggut tebal itu ketika menemukan kakak laki-lakinya telah kaku tak bernyawa.
“Segera saya buka pintu rumah kakak saya, dan saya dapati tubuh kakak saya berada di atas tangga di depan pintu rumah, ia telah meninggal. Tubuhnya berada di atas tangga, dan belum menginjak lantai. Kepalanya tertelungkup di bagian bawah anak tangga dan kakinya masih di atas,” paparnya.
Tak hanya itu, keterkejutannya kian bertambah ketika ia menemukan tubuh anak-anak kakaknya telah kaku seperti kayu.
“Saya masuk ke dalam rumah dan saya lihat anak kakak saya yang paling besar telah meninggal di depan kamar, tubuhnya kaku seperti kayu,” katanya.
“Lalu saya melihat anak kakak saya yang lain juga telah dalam keadaan meninggal, demi Allah.. demi Allah tubuh mereka semua dalam keadaan biru.”
Kesedihan mendalam benar-benar meliputi dirinya. Kakak dan keponakan-keponakannya meninggal dunia dalam keadaan tragis. Ada rasa penyesalan dalam dirinya karena ia terlambat datang ke rumah kakaknya itu.
“Demi Allah, saya segera peluk salah satu keponakan saya itu dan saya katakan kepadanya ‘Maafkan paman nak.. paman terlambat datang..'”
“Saya merasa bersalah, mereka semua diserang senjata kimia sejak jam 2 dinihari dan saya baru dapat menemui mereka jam 8 dan mereka semua telah meninggal,” kenangnya sedih.
Sedangkan kakak iparnya, meninggal dalam posisi bersujud dan berada di atas kedua anaknya, seakan ia sedang memeluk kedua anaknya itu untuk melindungi mereka.
Serangan senjata kimia telah membuat para korban tidak bisa bernafas hingga kehilangan nyawa.
“Demi Allah yang Maha Agung, mereka semua meninggal akibat tidak dapat bernapas, seluruh tubuh mereka biru,” katanya.
Menurut pemaparannya, ketiga keponakannya yang menjadi korban itu berumur 2 tahun, 4 tahun dan 8 atau 9 tahun.
Adik Dr. Rasyaad Syamsu ini menceritakan bahwa kakak iparnya dalam keadaan hamil tua, saat itu diperkirakan satu atau duar hari lagi akan melahirkan. Telah disiapkan baju-baju dan perlengkapan bayi untuk kelahiran anak keempat, tapi takdir Allah menghendaki lain.
Berharap keponakannya yang masih dalam kandungan masih hidup, dan berharap bisa membesarkannya jika lahir, ia segera membawa jasad kakak iparnya ke dokter. Namun terlambat, atas kehendak Allah bayi itu iku meninggal bersama ibunya.
Dr. Rasyaad Syamsu, merupakan ulama Syariah yang sangat terkenal di kawasan Ghoutah, ia bersekolah di Ma’had Fath Islami, Damaskus. Lalu ia meneruskan sekolahnya di Al-Azhar Mesir dan mendapatkan gelar doktornya dari universitas tersebut.
Dr. Rasyaad Syamsu adalah ulama Ahlus sunnah yang juga merupakan imam dan khatib di masjid, ia telah menghasilkan banyak buku-buku, salah satu buku yang ia tulis ialah “Ta’rif ‘Am bi syakhsiyati Rasul,” menurut pemaparan adiknya tersebut.
Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mal nashir
(sirraj/arrahmah.com)