JAKARTA (Arrahmah.com) – ”Saya semakin tua, stamina kian lemah. Saya kurus bukan karena kurang makan, tapi terlalu banyak kena angin malam,” tutur Ustadz Mawardi, da’i yang melayani umat di 14 desa di Kecamatan Wonosari, Kab Boalemo, Gorontalo dengan berkendara motor.
”Tolong beri saya teman satu da’i lagi. Insya Allah saya sediakan rumah saya untuk ditempati, tanah untuk digarap, dan gadis tercantik untuk diperjodoh,” katanya kepada Direktur Eksekutif Lembaga Amil Zakat, Infak, Sedekah (LAZIS) Dewan Dakwah, H Ade Salamun, Juli tahun lalu.
Belum lama ini, innalillahi…., Ustadz Mawardi wafat. Dewan Dakwah kehilangan salah satu putra terbaiknya, yang sudah berdakwah belasan tahun di pedalaman Gorontalo. Begitu pun warga Wonosari, kehilangan salah satu warga terbaiknya.
”Ustadz Mawardi sudah meninggal, sebagaimana kita semua pun akan mati. Tapi dakwah tidak boleh mati langkah. Karena itu mulai tahun ini kita kirimkan da’i pengganti almarhum,” ujar Ade Salamun di sela acara Penglepasan Da’i di Aula Dewan Dakwah Jakarta, Rabu, (25/9/2013).
Pelepasan Da’i dihadiri Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia KH Syuhada Bahri beserta jajaran pengurus harian Dewan Dakwah dan Jamaah Pengajian Reboan. Juga para pengurus LAZIS Dewan Dakwah beserta donatur dan mitra kerjanya. Hadir pula para dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammad Natsir (STID Natsir).
Dalam sambutannya KH Syuhada Bahri mengatakan, tahun ini Dewan Dakwah mengirimkan 10 da’i alumnus STID Natsir ke pedalaman di 9 provinsi yaitu Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur.
Setelah setahun mengabdi di pedalaman, para da’i Dewan Dakwah ditarik ke Pusat untuk melanjutkan pendidikan ke Strata-2. ”Kecuali yang nyangkut, mendapat jodoh warga setempat dan menetap di sana,” kata Ustadz Syuhada. Lulus S-2, para kader da’i kembali mengabdi setahun di pelosok Nusantara, sebelum kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang doktoral.
Sementara itu Ketua STID Natsir DR Mohammad Noer menjelaskan, kesepuluh da’i tersebut merupakan sarjana Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam. ”Mereka adalah da’i sarjana angkatan keempat, dengan kualifikasi lulus Strata-1, hafal minimal 4 juz Alquran dan mengikuti pembekalan pengabdian dakwah,” tuturnya.
Pembekalan da’i penting untuk meningkatkan kapasitas dan posisi tawar da’i di tengah umat. Seperti dituturkan Hery Sitorus, yang sudah setahun mengabdi di pedalaman Mentawai, di lapangan da’i Dewan Dakwah mau tidak mau harus jadi ”solusi”. Ia misalnya, mengajak masyarakat bercocok tanam padi agar tidak lagi memakan umbi-umbian seketemunya. Setelah 15 tahun terakhir tidak mengenal sawah padi, akhirnya sejak tahun lalu warga setempat panen raya 20 hektar padi. Keberhasilan memberikan solusi mengatasi krisis pangan itu memperlancar dakwah Hery.
(azmuttaqin/nurbowo/arrahmah.com)