Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
(Arrahmah.com) – Kecelakaan maut di tol Jagorawi yang melibatkan anak musisi Ahmad Dani, Abdul Qodir Jaelani (Dul) beberapa waktu lalu menyisakan cerita yang berimbas pada banyak hal terutama pada masalah kasus pidana anak. Seperti diketahui kecelakaan maut ini menelan korban yang menewaskan 7 orang dan 8 lainnya luka-luka. Bahkan Polisi sudah menetapkan Dul sebagai tersangka kasus kecelakaan ini. Banyak pihak yang menilai status tersangka yang disandang oleh Dul, masih terlalu dini. Banyak yang berharap, jika pihak yang berwajib bisa menemukan solusi lain.
Dikutip dari republika.co.id (Selasa, 17/09/2013) Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kakanwil Kemenkumham Jawa Barat Agus Anwar menyatakan kasus kecelakaan maut di Tol Jagorawi yang melibatkan anak bungsu musisi Ahmad Dhani yaitu Abdul Qodir Jaelani (13 tahun) dan telah mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia, tidak bisa diselesaikan hanya dengan menyantuni keluarga korban semata. Tetapi pidananya harus tetap dipertanggungnjawabkan walaupun perdatanya sudah selesai dengan cara menyantuni keluarga korban.
Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP Sambodo Purnomo mengatakan Undang-Undang Lalu Lintas dan Jalan tidak mengenal pelimpahan pidana dari anak kepada orang tuanya. Jadi tidak bisa orang tua disalahkan dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anaknya. Yang dianggap bertanggung jawab dan ditetapkan tersangka tetap anaknya meskipun masih di bawah umur. (antaranews.com, Selasa 17 September 2013)
Komisioner KPAI, Asrorun Niam Sholeh mendorong agar penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan putra Ahmad Dhani, Dul, di luar peradilan pidana. Cara ini, menurut komisioner KPAI bisa ditempuh jika ada kesepakatan antara pelaku dan korban kecelakaan maut di tol Jagorawi itu. Ini ditujukan untuk semata-mata merealisasikan tujuan hukum, yaitu keadilan dan kemaslahatan anak. Menurut Niam, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk menyelesaikan kasus ini di luar proses hukum formal dan mengesampingkan proses hukum pidana terkait kecelakaan. Jika keluarga korban setuju.
Hal ini kontradiktif dengan fakta yang pernah terjadi di Sumut. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Pematangsiantar, Sumatera Utara (Sumut) mengejutkan pemerhati anak dan pejuang HAM. Sebab hakim menjatuhkan vonis 66 hari penjara bagi anak berusia 11 tahun.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma Hal ini bertolak belakang dengan putusan MK tentang batas usia anak (detikcom, Jumat (7/6/2013). Vonis ini dijatuhkan oleh hakim tunggal Roziyanti kepada bocah berusia 11 tahun pada Rabu (5/6). Bocah itu dikenai hukuman 66 hari karena melanggar 363 ayat 1 ke 4 e KUHPidana juncto Pasal 4 UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Menurutnya Hal ini bertentangan dengan putusan MK tertanggal 24 Februari 2011 yang memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Seharusnya, jika usia belum 12 tahun maka vonisnya dikembalikan ke orang tua atau dikembalikan ke negara. Dalam hal ini diberikan kepada Kementerian Sosial untuk mendidiknya. Bocah tersebut terlibat pencurian HP dengan temannya yang telah berusia 16 tahun. Roziyanti menjatuhkan lamanya hukuman bagi kedua terdakwa sama. Ini artinya para penegak hukum melanggar hukum. Tidak saja UU, tetapi juga konstitusi.
Buah dari sistem yang salah
Menelaah dari kasus Dul ini dan kasus kriminalitas lainnya ini banyak faktor yang melatarbelakanginya seperti ekonomi, keluarga/lingkungan, dan lain-lain. Dalam kasus Dul ini faktor keluargalah yang paling mengedepan sehingga kasus ini terjadi, selain itu faktor lingkungan juga sangat berperan sehingga hal ini terjadi. Lingkungan adalah tempat perkembangan sosial, dan pada fase inilah saatnya remaja telah mengalami perkembangan kemampuan untuk memahami orang lain (social cognition) dan menjalin persahabatan. Remaja memilih teman yang memiliki sifat dan kualitas psikologis yang relatif sama dengan dirinya, misalnya sama hobi, minat, sikap, nilai-nilai, dan kepribadiannya.
Seperti diketahui bahwa Dul telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan maut ini. Jika dicermati dari fakta di atas dalam menyikap sanksi bagi anak yang melakukan kriminalitas, tidak lain dan tidak bukan bahwa sistem sanksi dalam demokrasi memungkinkan adanya kompromi. Sehingga dapat menimbulkan kontradiksi di antara kasus itu sendiri. Pidana Abdul Qodir Jaelani (Dul) tidak seharusnya berbeda dengan yang terjadi di Sumut, karena pelakunya sama-sama masih ABG. Tapi pemberlakuan hukum yang diterima berbeda. Dalam hal ini harus dilihat secara general, tentang persamaan perlakuan hukum yang ditilik dari usia pelaku meski jenis kasusnya memang berbeda.
Solusi Islam
Kasus-kasus kriminal yang melibatkan anak-anak (usia kurang dari 18 tahun) semakin marak, baik kuantitasnya maupun kualitasnya yang semakin banyak. Dalam persepsi hukum positif saat ini, yakni UU Perlindungan Anak, anak didefinisikan mereka yang berusia kurang dari 18 tahun.
Definisi ini sejatinya bertentangan dengan fakta di lapangan. Terbukti saat ini usia 14-18 tahun itu sudah membentuk sosok tak ubahnya seperti orang dewasa, karena memang mayoritas usia inilah – bahkan lebih rendah lagi, telah mengalami pubertas sebagai tanda-tanda peralihan dari masa anak-anak menjadi dewasa. Sangat salah jika memposisikan mereka sebagai anak-anak, sehingga setiap perilakunya ditolelir. Berlaku kriminal pun dibela dengan memposisikan mereka sebagai korban. Karena itu, definisi anak tidak relevan. Bersikap lunak terhadap anak perilaku kriminal hanya akan menularkan efek buruk terhadap anak lain, yang akan bisa melakukan hal serupa atau bahkan lebih buruk.
Adapun kondisi yang melatarbelakangi kriminalitas anak seperti yang disebutkan di atas, seperti himpitan ekonomi, rendahnya pendidikan, kurangnya perhatian orang tua dan lain-lain, bisa dituntaskan oleh negara dengan mekanisme penerapan sistem yang mampu memenuhi itu semua. Bukan dengan menghukum ringan pelaku kriminal, atau bahkan memaafkannya sama sekali.
Bagaimana Islam dengan tegas memisahkan kategori anak dan dewasa, yakni ditandai dengan masa pubertas/baligh. Tanda-tanda baligh itu antara lain itu ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki, atau haid bagi perempuan, serta perubahan fisik lainnnya. Bagi yang belum baligh, dan jika melakukan tindak kriminal, orangtuanya yang dikenai sanksi, sementara anaknya yang melakukan tindak kriminal harus dibina/dididik. Bagi anak yang telah baligh konsekuensinya adalah taklif/pembebanan hukum syara’ sudah berlaku. Termasuk ketika melakukan tindak kejahatan, harus dihukum setimpal.
Negara harus menciptakan sistem yang mampu menyiapkan anak, saat ketika baligh harus sudah siap memikul beban hukum, sehingga bisa memilih dan memilah mana tindakan terpuji/kebaikan, dan mana tindakan tercela/kejahatan, sehingga tercegah menjadi pelaku kriminal.
Keluarga, masyarakat dan negara bertanggung jawab terhadap kriminalitas yang dilakukan anak-anak. Tingkat tanggung jawabnya bertambah dan puncaknya berada di negara. Menyerahkan pendidikan anak kepada keluarga saja belum cukup, apabila masyarakat dan negara tidak menerapkan aturan dan sanksi untuk melindungi anak-anak dari tindak kejahatan dan berbuat jahat.
Dalam pandangan Islam,negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi anak dan mengatasi persoalan kriminalitas anak ini secara sempurna. Setiap ada pelanggaran Hukum Allah, maka negara harus melaksanakan eksekusi sesuai syari’at Islam. Dengan Islam-lah anak bisa terjauh dan terhindar dari tindak kriminal, dan kewajibkan negara untuk menerapkan hukum tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتِلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
“Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Dalam hadist lainnya, “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Islam mewajibkan negara untuk menjamin setiap warganya/masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Dengan jaminan seperti ini, para ayah diberikan kesempatan bekerja untuk mencukupi nafkah keluarganya. Para ibu dikembalikan kepada fungsi utamanya sebagai pendidik anak-anak dan pengatur urusan rumah tangga, sehingga bisa berkonsentrasi menjadikan putra-putrinya menjadi anak yang shalih dan shalihah agar terhindar dari kasus kriminalitas. Wallâhu a’lam bish-shawâb.
(arrahmah.com)