JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Ustadz Abu Bakar Ba’asyir mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/03/2011). Kepaniteraan MK meregistrasi perkara ini dengan Nomor 16/PUU-IX/2011.
Ustadz Abu melalui kuasa hukumnya, HM Mahendradatta telah melakukan perbaikan sesuai dengan saran Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hamdan Zoelva. Sebelumnya, pemohon mengajukan lima pasal dalam UUD 1945 sebagai batu uji. Namun, lanjut Mahendradatta, sesuai saran Majelis, pemohon hanya menonjolkan satu pasal. yakni Pasal 28D ayat (1).
“Kami juga telah mencermati Putusan MK Nomor 018/PUU-VI/2006 dan menyepakati pendapat Mahkamah. Dalam pendapatnya, Mahkamah berpendapat, bahwa penahanan oleh penyidik atau penuntut umum harus didasarkan atas pertimbangan yang cukup rasional dan tidak dengan serta merta saja dilakukan penahanan yang hanya didasari keinginan subjektif semata dari penyidik atau penuntut umum,” urai Mahendradatta sebagaimana dikutip dari laman MK.
Mahendradatta menjelaskan bahwa pemohon memahami pendapat Mahkamah tersebut sudah terkandung dalam muatan Pasal 21 ayat (1). Akan tetapi, lanjut Mahendradatta, norma tersebut tidak dapat diterapkan sama sekali sehingga terjadi kemacetan atau kebuntuan serta norma tidak jalan sama sekali.
“Oleh karena itu, dibutuhkan penafsiran yang mengikat. Tidak ada permasalahan dalam norma pada Pasal 21 ayat (1), namun permasalahan ada pada penafsiran pasal a quo. Dan hal tersebut menjadi permanen, karena menjurus pada penafsiran yang sama, yaitu diskresi absolut dengan menentukan persyaratan melarikan diri ataupun merusakan barang bukti. Ini bukan masalah penerapan, tapi penafsiran. Jadi, ada penafsiran inkonstitusional di luar sana,” paparnya.
Dalam petitumnya, jelas Mahendradatta, Pemohon meminta agar Majelis Hakim MK memberikan penafsiran konstitusional terhadap pasal a quo. “Bukan hanya sekadar pertimbangan saja, agar mengikat secara hukum. Hal ini semata-mata agar Pasal 21 ayat (1) sesuai dengan Pasal 28D ayat (1),”ujarnya.
Pemohon dalam pokok permohonannya mendalilkan Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana” bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon meminta frasa “diduga keras melakukan tindak pidana” dibatalkan MK.
Alasan pengujian pemohon adalah karena ditangkapnya Abu Bakar Ba’asyir oleh Densus 88 dalam mobil yang sedang ditumpanginya dan adanya penahanan secara paksa oleh polisi, pemohon merasa polisi hanya mendasarkan pada dugaan adanya tindak pidana yang dilakukan pemohon.
Penjelasan Pasal 95 ayat (1) juga diujikan. Pasal ini berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘kerugian karena dikenakan tindakan lain’ ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan”.
Dengan penjelasan tersebut, pemohon mendalilkan tidak bisa mengajukan tuntutan ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) yang berbunyi “tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”. (hidayatullah/arrahmah.com)