BRUSSELS (Arrahmah.com) – Salah seorang pejabat NATO menyatakan bahwa NATO berencana untuk melakukan operasi selama 90 hari di Libya, namun rentang waktu tersebut masih bisa diperpendek atau sebaliknya, disesuaikan dengan kebutuhan, Reuters melaporkan pada Jumat (25/3/2011).
“Saya ragu misi ini akan berlangsung dalam hitungan hari,” kata Laksamana Edouard Guillaud, kepala militer Perancis. “Saya kira misi ini akan berlangsung selama berminggu-minggu. Mudah-mudahan tidak sampai bulan-bulan.”
Pernyataan ini diungkapkan sehari setelah sekjen NATO, Anders Fogh Rasmussen menyatakan bahwa pihaknya akan mengambil bagian dalam menegakkan zona larangan perang di Libya untuk menghalangi angkatan perang Muammar Gaddafi.
“Kami sedang ambil bagian dalam usaha internasional untuk melindungi warga sipil dari rezim Gaddafi,” ujar Rasmussen.
Sementara itu, Uni Afrika tetap dalam sikapnya untuk memfasilitasi pembicaraan demi mengakhiri perang di negara penghasil minyak tersebut. Namun NATO dan aliansi Barat tetap mengabaikan usulan damai.
Di Washington, juru bicara militer AS mengatakan koalisi telah menembakkan 16 rudal jelajah Tomahawk dan telah melakukan 153 kali terbang dalam 24 jam terakhir untuk menargetkan artileri, kekuatan mekanik, dan komando serta kontrol infrastruktur Gaddafi.
Barat berharap bahwa operasi penyerangan yang mereka lakukan akan menggeser keseimbangan kekuasaan di medan perang.
Pada saat yang sama, Guillaud mengatakan pesawat Perancis telah menghancurkan sebuah artileri tentara dekat kota timur Ajdabiyah, 150 kilometer (90 mil) sebelah selatan Benghazi.
Di London, Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan pesawat Tornado juga telah aktif di sana, menembakkan rudal terhadap kendaraan militer Libya yang mengancam warga sipil.
Namun, pejabat dan pekerja rumah sakit mengatakan warga sipil, termasuk perempuan, merupakan di antara mereka yang tewas dalam serangan udara terbaru Barat di ibukota Libya.
Salah seorang ulama, dalam khutbah Jumat di masjid Ahmad Basha, Tripoli, dan disiarkan langsung oleh Shababiyah TV, mendesak Libya “untuk menghadapi perang salib baru”. (althaf/arrahmah.com)