JAKARTA (Arrahmah.com) – Kerja Densus 88 jauh dari profesional. Selain menembak dari jarak dekat dua orang di sebuah warung kopi di Tulungagung. Dua orang ditangkap tanpa dasar serta seorang terkena pantulan peluru nyasar.
Dua orang warga Muhammadiyah Tulungagung yang sempat ditangkap dan ditahan selama sepekan dalam operasi anti teror , dilepaskan oleh Densus 88. Sapari dan Mugi Hartanto dipulangkan ke keluarganya Ahad malam (28/7/2013).
“Alhamdulillah dua orang pengurus cabang Muhammadiyah kecamatan Pagerwojo itu sudah kembali dalam kondisi sehat,” kata anggota PP Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya Senin (29/7/2013).
Sapari dan Mugi pulang dalam kondisi normal. Walaupun ada bekas borgol ditangan. “Ini pelajaran bagi Densus 88 agar tidak sembarangan memvonis seseorang terlibat tindak pidana terorisme,” kata aktivis Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah itu.
Keluarga Sapari dan Mugi , menurutnya, tidak akan menuntut balik Densus 88 Polri. Mereka juga sudah menandatangani surat pernyataan menerima pemulangan dari polisi.
“Itu sikap keluarga, tapi sikap organisasi (Muhammadiyah) masih kita musyawarahkan. Yang jelas, harus ada rehabilitasi nama baik,” katanya.
Pada bagian lain operasi Densus 88 Mabes Polri di Tulungagung pekan lalu masih menyisakan masalah. Seorang warga sipil Sujono menderita luka tembuk karena peluru personel burung hantu itu. “Kami meminta Kapolri melakukan penyelidikan karena warga sipil itu terluka cukup parah,” ujar Haris Azhar, koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) di kantornya, Senin (29/07).
Sujono berada tidak jauh dari lokasi penyergapan di jalan Pahlawan, Tulungagung, Jawa Timur. Dia tersungkur karena mendapat peluru richocet (pantulan) yang berasal dari senjata petugas. Dua orang atas nama Dayat dan Rizal tewas dan hingga kini masih diidentifikasi di RS Polri, Jakarta.
Menurut Haris, tindakan itu bias dikatagorikan pelanggaran hukum pidana. Yakni, pasal 351 KUHP ayat dua tentang perbuatan mengakibatkan luka berat dengan ancaman lima tahun penjara.
“Insiden itu juga melanggar aturan internal kepolisian,” ujar alumni Essex University, Inggris itu. Pertama, pasal 2 Peraturan Peraturan Kapolri No 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme.”Penindakan tersangka harus profesional, ini jelas tidak sesuai aturan itu,” katanya.
Lalu, pelanggaran atas Peraturan Kapolri Nomor 1 Pasal 3 point (c) tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Juga, Peraturan Kapolri Nomor 1 Pasal 13 ayat 1. “Setiap individu anggota polri wajib bertanggungjawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya,”katanya.
Menurut Haris, kondisi ini menunjukan bahwa penyalahgunaan kekuatan secara berlebihan dan tidak profesionalnya anggota Densus 88.
“Kapolri harus melakukan penyidikan terhadap anggotanya (Densus 88) terkait dengan peristiwa yang terjadi di Tulungagung,” katanya. Selain itu. Polri harus meminta maaf dan bertanggung jawab memberikan pemulihan dan ganti rugi kepada Sujono dan keluarganya.
(azmuttaqin/arrahmah.com)