Oleh : Abu Fikri
(Aktivis gerakan revivalis Islam Indonesia)
(Arrahmah.com) – Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Termasuk konflik politik di Mesir. Hikmah terbesar yang bisa dipetik dari konflik Mesir adalah perlunya penyatuan visi perjuangan umat Islam. Dan Kesatuan itu akan mampu diwujudkan dengan jalan diantaranya memiliki pandangan yang sama tentang : 1) Problema pokok dan mendasar yang dihadapi, 2) Solusi atas problema pokok dan mendasar tersebut dan 3) Cara perjuangan yang ditempuh sebagai solusi. Penyatuan visi perjuangan Islam tersebut bisa dilakukan melalui mekanisme kontak dan silaturahim yang masif dan sistematis.
Tidak bisa hanya mengandalkan mekanisme membangun wacana saja. Seperti menyampaikan press release atau membuat analisis politik terkait dengan persoalan yang dihadapi. Tetapi pola silaturahim dan kontak yang masif dan sistematis mesti dilakukan. Kalau perlu masuk menjadi bagian anggota organisasi/jamaah islam lain yang jelas-jelas basis ideologi, metode dan arah perjuangannya. Mengingatkan dari dalam, tentu menjadi lebih efektif ketimbang mengingatkan dari luar. Masuknya anggota-anggota gerakan Islam ideologis ke dalam gerakan-gerakan islam yang lain akan menumbuhkan rasa ukhuwah Islamiyah yang luar biasa.
Tentu ini bukan dalam bingkai pengaburan anggota gerakan/jamaah Islam terhadap manhaj gerakan yang diyakini masing-masing. Atau menjadikan wasilah silaturahim itu sebagai sesuatu untuk menghalalkan segala cara. Hubungan antar jamaah/gerakan Islam lebih spesifik lagi hubungan antara anggota gerakan/jamaah Islam yang intensif, masif dan sistematis akan memiliki implikasi positip yang multiple. Selain berguna merevitalisasi aktivitas gerakan, juga berfungsi sebagai kontrol terhadap semua agenda pergolakan yang diharapkan berimplikasi luas secara kolektif. Ini sekaligus sebagai media untuk mengeliminasi segala bentuk sekat-sekat kelompok pergerakan yang sudah menjadi thobi’I. Seperti misalnya Islam untuk menghimpun kekuatan umat menjadi satu kekuatan pergolakan yang dahsyat.
Ada beberapa hal penting yang bisa kita petik dari peristiwa konflik Mesir antara lain :
Pertama, kekalahan Mursy adalah representasi kekalahan kaum muslimin secara menyeluruh karena terkotak-kotak dalam sekat-sekat arogansi kepentingan kelompok dan arogansi keyakinan sempit terhadap manhaj perjuangan. Selain kekuatan militer, di Mesir kaum muslimin terpetak-petak dalam ragam kelompok-kelompok antara lain : 1). Ikhwanul Muslimin dengan sayap partainya Partai Kebebasan dan Keadilan sebagai pendukung Mursy, 2) Tamarroud pendukung Mubarak yang anti Mursy, 3) Tajarroud kompetitor Tamarroud yang mengklaim pengerahan massa puluhan juta untuk gerakan anti Mursi, 4) Partai An Nuur dan Salafis. Partai An Nuur adalah partai terbesar setelah ikhwanul Muslimin. Partai ini cenderung memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Belakangan justeru ikut mendukung kudeta militer. 5) Al Azhar adalah perguruan pendidikan rujukan di Mesir maupun negeri-negeri kaum muslimin yang lain. Al Azhar merasa khawatir karena para petingginya akan diganti oleh para petinggi Ikhwanul Muslimin. Begitu ragamnya kelompok/gerakan Islam yang masing-masing “keukeuh” dengan kepentingan kelompoknya menjadi sasaran empuk AS dan sekutu-sekutunya untuk memetakan dan memecah belah kaum muslimin di Mesir.
Kedua, dominannya kelompok liberal yang diback up oleh militer didikan AS -Al Sisi- menunjukkan begitu besarnya intervensi sistematis secara politis AS untuk tetap mengawal dan menentukan peta konstelasi politik Mesir. AS juga memanfaatkan psikologi milliter Mesir yang masih memiliki semangat peninggalan lama jaman Hosni Mubarak. AS bermain di dua kaki. Dengan militer di satu sisi dan seolah-olah juga melakukan pembelaan terhadap Mursy. Ujung dari keinginan AS adalah siapapun pemimpin ke depan Mesir harus dipastikan tetap bisa mengamankan kepentingan geo ekonomi politik AS bersama kanca-kancanya di kawasan tersebut.
Ketiga, hanya ada dua polarisasi kekuatan politik yang besar saat ini di Mesir. Dan semua kekuatan-kekuatan politik yang ada di Mesir akan mengikuti mainstream salah satu dari dua kekuatan besar itu. Yang pertama adalah kekuatan militer bersama kelompok liberal. Yang kedua adalah kekuatan pro Mursy terutama dari kekuatan politik Ikhwanul Muslimin yang tetap menghendaki Mursy sebagai presiden yang legitimate. Barang siapa yang ikut menentang atau tidak sepakat dengan Mursy maka kelompok-kelompok itu akan terkanalisasi ke dalam kepentingan kelompok militer dan pro liberal yang diback up oleh AS bersama sekutu-sekutunya. Begitu sebaliknya. Kecuali yang hanya ingin menjadi penonton, pengamat atau komentator saja. Ikhwanul Muslimin yang mendukung Mursi dengan segala pro kontranya versus kelompok liberal bersama militer adalah sebuah gambaran lemahnya kesatuan dan dukungan kaum muslimin untuk memperjuangkan agenda perjuangan Islam bersama melawan penjajahan AS bersama dengan para antek-anteknya.
Konstruksi Perjuangan Islam di Indonesia
Perjuangan Islam di Indonesia telah melampaui masa perjuangan dari waktu ke waktu jauh sebelum Indonesia ada. Saat itu Indonesia masih dikenal dengan sebutan nusantara. Perjuangan Islam di negeri ini telah mengalami dinamika yang cukup variatif. Mulai dari nuansa penuh kedamaian sampai dengan nuansa pergolakan senjata. Kita mengenal Perang Paderi oleh Imam Bonjol, Cut Meutia, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanuddin di luar Jawa dan di Jawa ada Perang Diponegoro oleh Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Ali Basyah Sentot Prawirodirjo, dan Fatahillah. Kita juga mengenal perjuangan Islam di dataran Jawa oleh Wali Songo yang sejatinya adalah para penguasa di tanah Jawa. Semua para pejuang Islam itu adalah para pejuang yang berjuang mensyi’arkan Islam dan menjadikan Islam sebagai hukum negara.
Perjuangan Islam di Indonesia memberikan legitimasi secara historis bahwa umat Islam di Indonesia adalah umat yang konsisten bersatu untuk mengenyahkan segala bentuk penjajahan di Indonesia. Adalah umat Islam yang sepenuhnya selalu memiliki rumusan yang jelas siapa kawan dan siapa lawan. Memiliki agenda dan musuh bersama yakni penjajahan yang menguasai wilayah dan tanah-tanah negeri-negeri kaum muslimin. Hingga sampai tiba waktunya Indonesia masuk pada masa perjuangan parlemen dari era perang fisik berubah menjadi perang diplomatik di pentas panggung politik praktis pada tahun 1955 an. Saat pertama kali diperkenalkan pemilu. Di pentas itulah berkembang kekuatan-kekuatan politik yang mengendalikan keputusan-keputusan politik negeri ini. Poros aliran ideologi politik berkompetisi cukup ketat. Ada aliran ideologi politik sosialis, nasionalis, komunis, liberalis dan Islam. Saling tarik ulur memperebutkan pengaruh dominan di tubuh parlemen.
Dinamika pergolakan pengaruh kekuatan-kekuatan politik berkompetisi sedemikian ketat. Hingga kemudian kita menemukan masa hingga saat ini. Dimana representasi kekuatan politik Islam kurang nampak dominan bahkan terjadi sebuah proses sistemik eleminasi kekuatan politik islam tahap demi tahap. Di era sekarang kekuatan politik di dalam parlemen yang menonjol adalah kelompok liberalis dan nasionalis. Kekuatan politik Islam yang benar-benar memperjuangkan Islam bukan saja sebagai prinsip-prinsip yang hanya diadopsi spirit substansinya saja melainkan yang berjuang benar-benar untuk menjadikan Islam sebagai hukum negara minim sekali.
Mengambil hikmah krisis politik di Mesir untuk merumuskan konstruksi perjuangan Islam di Indonesia maka ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan :
Pertama, mendorong dan menekan penguasa untuk mengurangi dan bahkan memutuskan ketergantungan pada penjajah AS bersama sekutu-sekutunya. Yakni memutuskan ketergantungan semua bidang terutama bidang ekonomi politik sebagai sesuatu yang sangat penting bagi sendi-sendi kehidupan. Termasuk ketergantungan kepada seluruh piranti-piranti badan-badan internasional (IMF, World Bank, dan lain-lain) yang menjadi perpanjangan tangannya. Karena ketergantungan tersebut menjadi pintu masuk penjajahan.
Kedua, menyatukan visi perjuangan yang sama di antara berbagai kelompok/gerakan/organisasi massa Islam dengan berbagai perbedaan manhaj perjuangan terutama organisasi massa Islam yang besar untuk menghadapi dan menghalau agenda busuk kelompok liberal yang menjadi perpanjangan tangan para penjajah. Agenda busuk kelompok liberal di antaranya mempengaruhi proses pengambilan keputusan penting di negeri ini melalui mekanisme legislasi di parlemen untuk kepentingan para penjajah.
Ketiga, melakukan pendekatan kepada kekuatan militer sebagai simpul kekuatan riil negara agar meyakini sekaligus membantu agenda perjuangan Islam untuk membebaskan penghambaan manusia atas manusia menuju penghambaan manusia atas Tuhan di semua aspek kehidupan. Beralihnya penghambaan kepada Tuhan sejatinya adalah diterapkannya aturan/hukum yang datang dari Sang Pencipta sebagai pemecahan persoalan kehidupan manusia secara sistemik dan komprehensif.
Keempat, membangun kesadaran masyarakat secara umum yang mayoritas muslim tentang arti pentingnya meyakini dan menjalankan ajarannya sendiri Al-Islam secara paripurna dan menyeluruh. Sekaligus mengajak masyarakat untuk berjuang bersama menjadikan Al-Islam ajaranya sendiri sebagai satu-satunya sistem keyakinan yang mengatur seluruh aspek kehidupannya dalam bingkai negara.
Pada akhirnya mari kita perlu renungkan apa yang disampaikan oleh Rasullullah SAW tentang pentingnya membangun kesatuan untuk mewujudkan kekuatan besar umat Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِبِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum Muslimin dalam saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menolong di antara mereka seperti perumpamaan satu tubuh. Tatkala salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan merasakan pula dengan demam dan tidak bisa tidur” [HR Imam Muslim dalam Shahih-nya]. Wallahu a’lam bis shawab.
(azmuttaqin/arrahmah.com)