(Arrahmah.com) – Tadabbur Al-Qur’an adalah sebuah aktifitas. Ia adalah sebuah fann, seni dan ketrampilan. Artinya, ia adalah hal yang bisa dipelajari dan bisa diraih oleh siapapun, dengan izin Allah Ta’ala, bukan monopoli para ulama tafsir semata.
Syaikh Isham bin Shalih al-Uwayyid dalam bukunya Fannu at-Tadabbur fil Qur’an al-Karim (Seni Tadabbur Al-Qur’an) menjelaskan setidaknya ada lima langkah yang harus kita lakukan jika kita ingin mentadabburi Al-Qur’an.
Langkah pertama, menurut beliau, adalah menghadirkan di dalam hati dan diri kita keyakinan penuh ~sebelum kita mulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an~ bahwa Al-Qur’an adalah kekayaan paling berharga bagi kita. Al-Qur’an adalah segalanya bagi kita. Al-Qur’an adalah ruh (nyawa), tanpanya kita adalah mayat yang berjalan. Al-Qur’an adalah cahaya, tanpanya kita buta dalam menapaki kehidupan di dunia. Al-Qur’an adalah petunjuk, tanpanya kita hanyalah binatang ternak yang tersesat.
Keyakinan itu harus kita hadirkan di dalam hati, perasaan dan pikiran kita sebelum kita mulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an, untuk selanjutnya mempelajari kandungan maknanya. Allah Ta’ala berfirman:
قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى (123) وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124)
Allah berfirman: “Turunlah kalian semua dari surga! Sebagian kalian akan menjadi musuh bagi sebagian lainnya. Maka jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku niscaya ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaaan buta.” (QS. Thaha [20]: 123-124)
Al-Qur’an adalah peringatan Allah yang paling agung dan sempurna. Jika kita berpaling darinya, tidak mau mempelajari kandungan maknanya dan mengamalkan konskuensinya, niscaya kita akan menjalani kehidupan yang sempit di dunia ini. Hatinya akan dilanda kegelisahan, kesedihan, kebingungan dan ia tidak akan merasakan ketentraman, meskipun ia bergelimang harta. Adapun nasib dirinya di akhirat sungguh lebih buruk lagi. (Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, 5/322)
Al-Qur’an adalah ruh, nyawa bagi aspek ruhani kita, tanpanya kita hanyalah mayat-mayat yang berjalan di muka bumi. Tanpa Al-Qur’an, hati kita sakit, bahkan mati, tak mampu menerima kebaikan dan petunjuk apapun. Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا
Dan demikianlah Kami mewahyukan kepadamu [Muhammad] ruh [Al-Qur’an] dari perintah kami. (QS. Asy-Syura [42]: 52)
Al-Qur’an adalah nur, cahaya. Tanpa Al-Qur’an, hati dan ruhani kita akan buta. Kita bisa memandang dengan kedua mata lahiriah (bashar) kita, namun mata batin (bashirah) kita tumpul. Kita menjalani kehidupan di muka bumi ini laksana orang buta. Kita tak bisa membedakan antara iman dan kekufuran, tauhid dan syirik, sunnah dan bid’ah, kebajikan dan kemaksiatan, perbuatan ma’ruf dan perbuatan mungkar, halal dan haram.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا (174) فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا (175)
Wahai seluruh umat manusia, telah datang kepada kalian bukti nyata dari Rabb kalian dan Kami telah menurunkan kepada kalian cahaya yang terang [Al-Qur’an]. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh dengannya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya dan karunia-Nya dan menunjukkan mereka ke jalan-Nya yang lurus. (QS. An-Nisa'[4]: 174)
Imam Ibnu Juraij berkata: Maksudnya adalah mereka beriman kepada Allah dan berpegang teguh dengan Al-Qur’an. (Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, 2/481)
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Maka apakah orang yang mengetahui [beriman] bahwasanya apa yang diwahyukan kepadamu dari Rabbmu adlaah kebenaran sama keadaannya dengan orang yang buta? Sesungguhnya yang bisa menerima peringatan hanyalah orang-orang yang memiliki akal [hati] yang sehat. (QS. Ar-Ra’d [13]: 19)
Al-Qur’an adalah huda, petunjuk yang akan membimbing umat manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan di muka bumi ini. Al-Qur’an adalah petunjuk hidup yang paling sempurna dan agung. Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam semua aspek kehidupan manusia; ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan-keamanan. Al-Qur’an memberi petunjuk dalam bidang akidah, ibadah mahdhah, mu’amalah dan akhlak. Al-Qur’an memberi petunjuk dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا
Katakanlah: “Wahai seluruh umat manusia, sungguh telah datang kepada kalian kebenaran [Al-Qur’an] dari Rabb kalian. Maka barangsiapa mengikuti petunjuk kebenaran tersebut, niscaya ia mencari petunjuk untuk kebaikan dirinya sendiri dan barangsiapa tersesat [tidak mau mengikuti petunjuk Al-Qur’an] niscaya ia tersesat untuk keburukan dirinya sendiri.” (QS. Yunus [10]: 108)
Saudaraku seislam dan seiman…
Oleh karenanya Allah Ta’ala mensifati orang-orang yang tidak peduli terhadap petunjuk Al-Qur’an, bahkan menjauhi petunjuk Al-Qur’an, dengan sifat-sifat yang sangat buruk dan menghinakan. Misalnya adalah dalam firman Allah Ta’ala:
فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ (49) كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُسْتَنْفِرَةٌ (50) فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ (51)
Maka mengapakah mereka dari peringatan [Al-Qur’an] ini, mereka berpaling? Seakan-akan mereka adalah keledai liar yang lari ketakutan. Lari menyelamatkan diri dari singa. (QS. Al-Muddatsir [74]: 49-51)
Agar makna ayat-ayat yang mulia di atas bisa kita resapi, marilah sejenak kita melihat makna beberapa kosakata di dalamnya:
– حُمُرٌ adalah bentuk plural dari himaar, yaitu keledai liar. Humur berarti keledai-keledai liar, dan sifat keledai liar adalah sangat waspada dan kencang larinya setiap kali mendengar suara atau mencium bau tukang pemburu.
– مُسْتَنْفِرَةٌ adalah lari dengan sangat kencang, yaitu lari dengan kencang dalam kondisi ketakutan. Penggunaan kata kerja dengan tambahan dua huruf sin dan ta’ (istanfara) yang menghasilkan subyek mustanfirah ~dari kata kerja dasarnya nafara sebelum mendapat tambahan dua kata, yang menghasilkan subyek naafir~ berfungsi memberi makna “sangat” dalam mensifati. Maka makna dari mustanfirah adalah lari menyelamatkan diri dengan sekencang-kencangnya lari yang bisa ia lakukan.
– قَسْوَرَةٍ adalah singa, atau manusia pemburu, atau sejenisnya. Ibnu Abbas, Abu Musa al-Asy’ari, Ikrimah, Mujahid bin Jabr dan mayoritas ulama tafsir mengatakan qaswarah adalah bentuk plural dari qaswar, yaitu tukang pemburu binatang [di hutan atau padang pasir]. Qaswarah berarti sekelompok pemburu binatang buas. Adapun Abu Hurairah dan Zaid bin Aslam menyatakan qaswarah adalah singa. (Muhammad Thahir bin Asyur at-Tunisi, At-Tahrir wa at-Tanwir fi at-Tafsir, 29/329-330)
Kesimpulannya, Allah Ta’ala mensifati orang-orang yang berpaling dari petunjuk Al-Qur’an dengan sifat yang sangat buruk dan merendahkan. Di sisi Allah Ta’ala, orang-orang yang berpaling dari petunjuk Al-Qur’an bukanlah “manusia yang sesungguhnya”, sebab mereka tak lain hanyalah “sekawanan keledai liar”. Bukan sembarang “sekawanan keledai liar”, namun “sekawanan keledai liar” yang lari sekencang-kencangnya dalam keadaan gemetar ketakutan, karena nyawanya berada di ujung tanduk akibat pengejaran sekelompok pemburu ahli atau sekawanan singa yang lapar. Na’udzu billah min dzalik.
Allah Ta’ala telah mengaruniakan nikmat teragung kepada kita, yaitu nikmat Islam dan iman. Allah telah menurunkan petunjuk hidup paling agung dan sempurna kepada kita, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Dengan dua petunjuk itu, Allah memuliakan dan mengangkat derajat kita di dunia dan akhirat.
Lalu, relakah kita menukar kedudukan kita yang mulai tersebut dengan petunjuk hidup hasil olah pikir orang-orang kafir yang tenggelam dalam lautan syahwat dan bujuk rayu setan? Relakah kita meninggalkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, lalu kita justru memilih pedoman hidup bernama demokrasi, kapitalisme, liberalisme, nasionalisme dan humanisme? Jika rela, sungguh kita tak lebih dari keledai-keledai yang malang. Na’udzu billah min dzalik.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhibalmajdi/arrahmah.com)