TRIPOLI (Arrahmah.com) – Muammar Gaddafi, pemimpin Libya, mengatakan dalam pidato yang disiarkan melalui televisi nasional Libya bahwa al-Qaeda bertanggung jawab atas pemberontakan yang terjadi di Libya.
“Sudah jelas sekarang bahwa perkara ini dijalankan oleh al-Qaeda,” katanya, berbicara melalui telepon dari lokasi yang tidak diketahui pada hari Kamis (24/2/2011).
Dia mengklaim bahwa para pengunjuk rasa adalah para pemuda yang sedang dimanipulasi oleh Osama bin Laden, dan bahwa banyak di antara mereka yang melakukan aksi unjuk rasa di bawah pengaruh obat-obatan.
“Tidak seorang pun yang berusia di atas 20 benar-benar akan ambil bagian dalam kegiatan ini,” katanya. “Mereka mengambil keuntungan dari usia muda orang-orang ini [untuk melakukan tindakan kekerasan], mereka tidak bertanggung jawab secara hukum!”
Pada saat yang sama, Gaddafi memperingatkan bahwa mereka yang berada di balik kerusuhan akan dituntut di pengadilan negara.
“Bagaimana Anda bisa membenarkan perilaku seperti itu, sementara para pemuda tersebut tinggal di lingkungan yang baik?” ia bertanya.
Situasi di Libya berbeda dengan Mesir atau Tunisia, katanya. Tidak seperti di negara-negara tetangga, Gaddafi mengklaim “tidak ada alasan untuk mengeluhkan apapun” di Libya.
Libya memiliki akses yang mudah terhadap pinjaman dengan bunga rendah dan komoditas sehari-hari yang murah, ia berpendapat. Reformasi yang ia lakukan kemungkinan adalah kenaikan gaji.
“Pemimpin simbolik”
Gaddafi mengaku bahwa ia sebelumnya adalah pemimpin “simbolik” yang tidak memiliki kekuatan politik nyata. Perannya dimainkan oleh Ratu Elizabeth II di Inggris, aku Gaddafi.
Dia juga memperingatkan bahwa aksi protes bisa memotong produksi minyak Libya. “Jika [para demonstran] tidak pergi untuk bekerja secara teratur, aliran minyak akan berhenti,” katanya.
Ibrahim Jibril, seorang aktivis politik Libya, berpendapat mengenai kemunculan Gaddafi di televisi nasional melalui saluran telepon, memperlihatkan bahwa Gaddafi tidak memiliki keberanian untuk tampil secara publik, dan membuktikan bahwa ia tetap ketakutan serta bersembunyi di rumahnya.
Jibril mengatakan, ada kesamaan antara pidato hari Kamis (24/2) dan pidato lain Gaddafi di awal pekan ini.
Menurut Jibril, semua yang dibicarakan Gaddafi dalam pidato terakhirnya hari Kamis (24/2) berisi kebohongan dan bualan.
Berjuang
Gaddafi sedang berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya di negeri ini, bersamaan dengan wilayah di bagian timur negara Afrika Utara yang luas itu sudah berada di bawah kendali demonstran pro-demokrasi.
Ali, salah seorang saksi mata, mengatakan kepada Al Jazeera melalui telepon pada Kamis (24/2) bahwa tentara mulai menembaki pengunjuk rasa damai di sekitar Syuhada Square dengan artileri berat dari pukul 06:00 dan telah berlangsung selama 5 jam.
“Mereka terus berusaha untuk membunuh oran,” katanya, menjelaskan bahwa tentara yang menargetkan bagian kepala dan dada para pengunjuk rasa sebagai sasaran timah panas mereka.
Dia memperkirakan sebanyak 100 pengunjuk rasa telah tewas dibunuh. Sekitar 400 orang cedera dan sekarang dirawat di rumah sakit kota. Dia mengatakan ia telah merekam sejumlah korban setelah penembakan berhenti, namun tidak dapat mengirimkan rekaman tersebut karena akses internet sudah terputus.
“Orang-orang di sini tidak meminta apapun, mereka hanya meminta sebuah konstitusi yang adil, mereka tidak ingin menembak siapa pun,” katanya.
Meskipun harus berhadapan dengan resiko penembakan yang lebih deras, dia dan para pengunjuk rasa lainnya akan terus melanjutkan protes mereka, bahkan jika hidup mereka jadi taruhannya.
Masjid ‘diserang’
Juga pada Kamis (24/2), satu unit tentara Libya yang dipimpin oleh sekutu Gaddafi, Naji Shifsha, menyerang menara masjid yang sedang diduduki oleh para pengunjuk rasa di Az Zawiyah, menurut para saksi.
Menurut saksi mata, pasukan pro-Gaddafi juga menyerang kota Misrata, yang berada di bawah kendali demonstran.
Mereka mengatakan kepada “para pengunjuk rasa revolusioner telah diusir aparat keamanan dengan senjata berat.” Mereka mengatakan pasukan pro-Gaddafi menyebut diri mereka sebagai “brigade Hamzah”.
bentrokan serupa juga telah dilaporkan di kota-kota Sabha di selatan, dan Sabratha, dekat Tripoli, yang terletak di sebelah barat.
Pengunjuk rasa anti-pemerintah tampaknya mengendalikan pantai timur negara itu, dari perbatasan Mesir sampai ke kota Tobruk dan Benghazi, kota terbesar kedua negara.
Ahmed Gadhaf al-Dam, salah satu pejabat keamanan dan sepupu Gaddafi, membelot pada Rabu malam (23/2). Ia mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor Kairo bahwa ia meninggalkan negara “sebagai protes dan untuk menunjukkan ketidaksetujuan” dengan “pelanggaran berat hak asasi manusia dan hukum internasional” yang dilakukan oleh rezim Gaddafi.
Al-Dam sedang melakukan perjalanan ke Suriah dari Kairo dengan pesawat pribadinya, salah satu sumber mengatakan. Ia membantah bahwa perjalanannya itu ditujukan untuk meminta bantuan sejumlah suku di Mesir untuk berjuang di Libya. (althaf/arrahmah.com)