Tepat dua tahun sesudah peristiwa 11 September, harian terkemuka Timur Tengah, Al-Syarqul Awsath, menulis bahwa bukan saja belum mampu mengatasi aksi terorisme, Amerika Serikat (AS) bahkan banyak menimbulkan masalah baru karena konsep terorisme melebar ke mana-mana. Harian itu mengingatkan agar AS mendengar usul dunia Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. “Mendefinisikan terorisme merupakan satu cara untuk keluar dari perang jangka panjang yang melelahkan. Kita berharap agar kejadian di Irak menyadarkan kelompok konservatif di Washington,” demikian laporan harian terbesar Arab itu.
Sejak AS melancarkan apa yang disebut “perang melawan teror”, banyak pemimpin negara berpikir serius tentang hal itu agar jangan sampai tidak mendapat restu dari AS. Maka, demi mempertahankan kekuasaan atau kemaslahatan tertentu, berbagai paradoks akibat konsep “terorisme” terpaksa dibiarkan terjadi. Lihatlah, bagaimana negara Pakistan dapat melakukan tindakan yang kontradiktif terhadap Taliban. Pakistanlah yang mendukung dan turut membesarkan Taliban. Tetapi, mereka juga yang kemudian memburu Taliban, mengikuti jejak AS. Simaklah berbagai paradoks seputar wacana “terorisme” dan “fundamentalisme” berikut ini.
Direktur Institute for Popular Democracy di Filipina, Nakamura, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kehadiran tentara AS di Filipina. Secara resmi, kata Nakamura, kehadiran tentara AS adalah untuk membantu penumpasan teroris Abu Sayyaf. Tetapi, yang ia baca dari satu situs internet, setelah menumpas “gang kriminal” Abu Sayyaf, tentara AS akan diarahkan untuk memberantas “teroris MILF”, lalu “teroris MNLF”, dan seterusnya. Jika itu yang terjadi, maka yang berlaku adalah perang total, karena MILF dan MNLF merupakan kelompok politik dan militer dengan puluhan ribu pasukan, dan dukungan luas di dunia Islam. (Siaran Radio BBC, Kamis, 31 Januari 2002 pukul 05.000 WIB).
Dunia internasional mengecam sikap AS yang terlalu menyudutkan Palestina dan menganakemaskan Israel. AS menyebut pasukan pengamanan Arafat sebagai “teroris” dan berencana menutup perwakilan Palestina di Washington, DC. “Saya kira diskusi yang menyamakan Arafat dengan teroris ini tidak pantas dan tolol. Ini adalah kebijakan yang berbahaya,” kata Menlu Swedia Anna Lindh. Ia menambahkan, “Ini benar-benar tidak waras. Hal ini bertentangan dengan prosesperdamaian menyeluruh … dan bisa mengarah kepada perang terbuka di Timur Tengah.” (Harian Kompas, 29 Januari 2002).
Profesor linguistik di MIT, Noam Chomsky, menulis berita yang menyimpulkan, “Pengeboman atas Afghanistan (oleh pasukan sekutu yang dipimpin AS) adalah kejahatan yang lebih besar daripada teror 11 September.” Pendekatan Barat terhadap konflik Afghanistan adalah pendekatan yang didasari pandangan cupet dan sangat berbahaya. “AS adalah terdakwa negara teroris,” tegas Chomsky. (Koran Tempo 12November 2001).
Pada 16 Januari 2002, Human Rights Watch yang berkedudukan di New York meluncurkan laporan pelanggaran-pelanggaranHAM sepanjang tahun 2001. Dalam laporannya bertajuk Human Rights Report 2002, organisasi itu menyimpulkan bahwa AS dan pemerintah George Walker Bush sebagai pelanggar HAM terbanyak di dunia. Lembaga ini juga mengecam keras tindakan Bush dan Jaksa Agung AS John Ashcroft, dalam kasus penangkapan lebih dari 1.100 warga Muslim atau Arab yang ditahan dalam upaya investigasimencari pelakuaksi serangan 11September 2001 ke WTC.
Guru besar Universitas Penslyvania, Edward S. Herman, dalam bukunya The Real Terror Network (1982) mengungkap fakta-fakta keganjilan kebijakan antiterorisme AS. Selama ini AS merupakanpendukung rezim-rezim “teroris” Garcia di Guatemala, Pinoshet di Chili, dan rezim Apartheid di Afrika Selatan. Pada tahun 1970-an AS memasukkan PLO, Red Brigades, Cuba, Lybia sebagai teroris, tetapi rezim Afrika Selatan dan sekutu-sekutu AS di Amerika Latin tidak masuk dalamdaftar teroris. Padahal, pada 4 Mei 1978 tentara Afrika Selatan membunuh lebih dari 600 orang warga di kamp pengungsi Kassinga, Namibia. Sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Tentara Afrika Selatan juga terbuktimembunuh ratusanpenduduk sipil Angola. Israel, negara sekutu utama AS di Timur Tengah dan tokoh-tokohnya, juga melakukan berbagai aksi terorisme.
Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, dalam tayangan Panorama BBC, 17 Juni 2001, oleh Jaksa PBB Richard Goldstone, dinyatakan harus diadili sebagai penjahat perang, karena terbukti bertanggung jawab atas pembantaian ribuan pengungsi Palestina di Shabra-Satila, 1982. Sejarah pendirian dan perjalanan negara Israeldipenuhi dengan rangkaian teror demi teror terhadap warga Palestina. Dalam sebuah wawancara dengan koran Yediot Aharonot, 26 Mei 1974, Ariel Sharon menyatakan, “Kita harus selalu menyerang, menyerang, tanpa berhenti. Kita harus menyerang mereka di mana pun adanya. Di dalam negeri, di negeri Arab, danbahkan di seberang lautan sekalipun. Semuanya pasti akan dapat dilakukan.” (Roger Geraudy, Israel dan Praktik-Praktik Zionisme [Bandung: Pustaka, 1988], hlm. 148-162).
Pandangan politik seperti Sharon inilah yang didukung penuh oleh pemerintahan AS, bukan saja secara politis, tetapi juga secara keuangan dan militer. Itulah tindakan “Sang Kaisar” di sebuah dunia yang dikatakan sebagai “unbalanced world”. Posisi dan tindakan AS itu mengingatkan kisah legenda tentang “Kaisar” dan “Bajak Laut” yang dengan manis dimetaforkan oleh Noam Chomsky. Chomsky menyebut AS dan Israel sebagai “dua negara yang dipimpin oleh dua komandan teroris dunia”. “Sang Kaisar” yang mengacau samudera, dengan kapal raksasa, membunuhi jutaan orang dan melakukan kekejaman di mana-mana. Sementara,”Bajak Laut” yang melakukan “kekerasan kecil-kecilan” sudah dicap sebagai “teroris”, yang wajib diperangi dan dimusnahkan. Orang-orang yang mau menjadi “hamba Sang Kaisar” juga diberi kedudukan dan anugerah mulia, atau disebut mendapat “carrot”. Sebaliknya, orang-orang yang pernah atau punya hubungan dengan “sang bajak laut” diberikan “hukuman” yang disebit “stick”. Maka, ketika berpidato di Kongres AS, 20 September 2001, Presiden Bush memberikan ultimatum, “Setiap bangsa di semua kawasan kini harus memutuskan: apakah Anda bersama kami, atau Anda bersama teroris. Sejak hari ini, bangsa mana pun yang masih menampung atau mendukung terorisme akan diperlakukan oleh AS sebagai rezim musuh.” (Tentang metafor ‘Kaisar’ dan ‘Bajak Laut’ dapat dilihat dalam buku Noam Chomsky, Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris? [Bandung:Mizan, 2001]).
Dengan posisinya sebagai “Kaisar”, maka AS berleluasa menerapkan berbagai kebijakan untuk membuat “hitam” dan “putih” dunia internasional. Pada 31 Januari 2002, koran-koran di Indonesia kembali memuat pernyataan George W. Bush bahwa AS akan terus memburu teroris, dan memperingatkan negara-negara yang masih ragu-ragu untuk memerangi terorisme. “Jika mereka tidak bertindak, Amerika akan bertindak,” kata Bush. Dalam perang melawan terorisme, tidak ada wilayah abu-abu (grey area), yang ada adalah “hitam-putih”. Mengutip Newsweek, Koran Tempo (31 Januari 2002) memberitakan bahwa Indonesia termasuk yang dinilai tidak bersikap tegas. Sikap Indonesia ini berubah total setelah peristiwa Bom Bali, 12 Oktober 2002. Bush juga menegaskan lagi bahwa Iran, Korea Utara, dan Irak sebagai “Poros Setan”.
Mengapa pemerintah Bush kini begitu bersemangat meluaskan perang ke berbagai penjuru dunia, khususnya ke berbagai pihak yang disebut sebagai “Islam militan”? Jawaban atas pernyataan itu dijelaskan oleh Michele Steinberg, yang pada26 Oktober 2001 menulis analisis berjudul ‘Wolfowitz Cabal’ is an Enemy Within U.S. di jurnal Executive Intelligence Review.
Tulisan Steinberg itu dimulai dengan cerita tentang keterlibatan Irak dalam serangan 11 September 2001, seperti dimuat dalam harian The Observer, Londonedisi 14 Oktober 2001. Berita yang diberi judul “Irak Behind U.S. Anthrax Outbreaks” itu ternyata salah total. Berita salah itu mengutip sumbernya dari pernyataan tanpa bukti dari kalangan “American Hawks” (sebutan bagi pejabat-pejabat AS yang bersemangat dalam melancarkan perang) yang menyatakan bahwa “ada banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan Presiden Irak Saddam Hussein dalam peristiwa aksi pembajakan 11 September 2001. Salah seorang “hawk” menyatakan bahwa jika perang melawan teror ini keta harus berperang ratusan tahun lamanya, maka kita akan melakukannya.
Siapakah kelompok maniak perang di AS tersebut? Itulah yang disebut Steinberg sebagai “Wolfowitz cabal” atau komplotan rahasia Wolfowitz (mantan Dubes AS untuk Indonesia yang kini menjabat Deputi Menteri Pertahanan AS). Komplotan rahasia itu menginginkan agar segera dilakukan perang terhadap Irak, menyusul serangan AS ke Afghanistan. Perang itulah yang mereka harapkan akan menyeret AS ke kancah perang global yang mereka inginkan. Steinberg mencatat: “Tetapi, Irak sebenarnya hanya batu lompatan lain guna mendorong ‘perang’ anti-taroris menjadi ledakan besar ‘benturan peradaban’ (clash of civilizations), di mana kawasan Islam akan menjadi simbol musuh dalam sebuah Perang Dingin Baru.”
Teori “Clash of Civilizations”, menurut Steinberg, adalah teori yang dikembangkan oleh Profesor Havard University yang menjadi penasihat keamanan Presiden Carter, yaitu Zbigniew Brzezinsky dan sejumlah anak didiknya, termasuk Samuel P. Huntington. Brzezinsky bermaksud menggunakan “kartu Islam” untuk melawan Unisoviet, dan setelah itu memosisikan Islam fundamentalis untuk berhadapan dengan Islam yang pro-Barat, Islam moderat, dan pemerintahan Arab. Analisis ini juga menyebutkan bahwa komplotan rahasia Wolfowitz yang mempromosikan teori “Clash of Civilizations” juga merupakan musuh dalam selimut bagi AS. Komplotan ini memiliki jaringan di Dephan, Deplu, Gedung Putih, dan Dewan Pertahanan Nasional AS. Mereka mampu membajak kebijakan AS dan dapat menyeret kekacauan di Afghanistan (dan Irak, red.) saat ini ke dalam satu perang global. Menurut Steinberg, “cabal”mampu merancang operasi “negara dalam negara”, sebagaimanapernah terjadi dalam kasus”Iran-Contra”. Apalagi, “cabal” menempatkan tokoh-tokoh penting dalam jajaran pengambilan kebijakan pertahanan AS, sepertiKetua Badan Kebijakan Pertahanan(Defence Policy Board), Richard Perle.
Meskipun tidak disertai dengan referensi yang mendalam, tetapi analisis Steinberg cukup menarik. Karena, fakta-fakta kemudian banyak yang sejalan dengan analisis tersebut. Analisis ini juga sejalan dengan berbagai analisis tentang kelompok “neo-konservatif” di AS (yang telah dibahas pada bagian sebelumnya). Pengaruh dan cengkeraman kelompok sayapkanan di AS banyak sekali diungkap. Penempatan kelompok “militan Islam” sebagaimusuh utama Barat juga diberikan legitimasi ilmiah oleh Huntington dan Lewis, dengan mengeksploitasi doktrin clash of civilization. Kebijakan ini kemudian dijadikan sebagai konsep global yang harus diterapkan oleh seluruh negara di dunia. Sama halnya ketika dunia harus menjadikan komunisme sebagai musuh bersama. Sebagai contoh, adalah pernyataan berkali-kali tokoh overseas chinese, Lee Kuan Yew, yang menekankan bahwa Indonesia adalah sarang Islam militan. Menurut Lee, seperti dikutip Koran Tempo, 2Juni 2002 dan Media Indonesia, 3 Juni 2002, Muslim militan di Asia Tenggara sedang berkomplot untuk menggulingkan pemerintah; ia juga mendesak AS agar membantu militer Indonesia, karena hanya militer yang dapat menumpas Muslim militan.
Di lapangan, pengertian “teroris”, “militan”, dan “fundamentalis” tidaklah jelas dan sangat bias, tergantung kepentingan. Jika “militan Islam”, fundamentalis Islam” dan “radikal Islam” merupakan musuh Barat yang paling utama saat ini, sehingga dikatakan Fukuyama di majalah Newsweek, Special DavosEdition,Desember 2001-Februari 2002, mereka harus diperangi, maka tentunya perlu didefinisikan terlebih dahulu, siapakah yang disebut sebagai “militan”, “fundamentalis”, atau “radikal” itu? Dan, apakah dunia bisa secara fair dan adil menerapkan definisi itu untuk semua jenis manusia, bangsa, dan negara? Lagi-lagi masalahnya adalah soal standar.
Majalah Timeedisi 30 September 2002 menurunkan satu tulisan berjudul, “Taking the Hard Road”. Tulisan itu dibuka denan kata-kata yang sangat memojokkan posisi Indonesia, “Indonesia menghadapi pilihan sulit: menggulung kaum ekstrimis dan risikonya mendapatkan reaksi keras dari umat Islam atau mengundang kemarahan Amerika”. Kata majalah ini pula, “Kegagalan Indonesiadalam bertindak atas Jamaah Islamiyah (JI) atau Ba’asyir, menurut para pejabat AS, dapat mempercepat serangkaian sanksi ekonomi, seperti pembatalan pinjaman dan voting yang menolak bantuan dari IMF.”
Terlepas dari berbagai masalah hukum yang kemudian diterapkan kepada Baasyir, bagi kaum Muslimin secara luas, muncul pertanyaan: adilkah perlakuan dunia internasional, khususnya AS terhadap Baasyir dan kawan-kawan, jika dibandingkan dengan perlakuan mereka terhadap Ariel Sharon, misalnya? Tokoh Yahudi “sekuler kanan’ dari Partai Likud ini juga sudah sangat tersohor berbagai aktivitas terornya. Track-record Sharon dalam soal pembantaian terhadap warga Palestina sulit dilupakan. Tahun 1953, saat memimpin Unit 101, yang dibentuk untuk melakukan pembasmian di Tepi Barat, Sharon melakukan pembantaian di Desa Kibya dan membunuh 69 warga Palestina–setengahnya wanita dan anak-anak. Yang paling dramatis tentu saja saat menjabat Menhan Israel, tahun 1982, Sharon membiarkan terjadinya pembantaian terhadap ratusan–ada yang menyebut angka 2000-3000 jiwa–pengungsi Palestina oleh pasukan Kristen Phalangis. Sharon hanyalah bagian kecil dari apa yang disebut oleh Roger Garaudy sebagai kebijakan negara Israel yang secara sistematismenerapkan metode “terorisme negara”. Namun, kejahatan-kejahatan Sharon dan Israel justru terus dibela oleh AS.
Media massa juga menjadi bagian penting dari penyebaran kerancuan terminologi dan definisi tentang terorisme dalam kaitannya dengan Islam. Sebagai contoh adalah pemberitaan media massa di Indonesia tentang “kelompok Abu Sayyaf”. Harian Kompasmenggunakan istilah yang beragam untuk Abu Sayyaf. Yaitu: (1) “kaum militan” (seperti ditulis dalam tajuknya, 20 Juni 2002), (2) “kelompok gerilya Muslim” (seperti ditulis dalam berita Kompas, 19Juni 2002, (3) “gerilyawan separatis” (ditulis dalam tajuk Kompas). Harian Media Indonesia, 19 Juni 2002 menggunakan istilah “kelompok pemberontak” untuk Abu Sayyaf. Koran Tempo (19Juni 2002) menggunakan istilah “gang penculik”. Sementara, pada edisi esoknya, Koran Tempo tidak menggunakan sebutan apapun, dan hanya menyebut kelompok ini sebagai “kelompok Abu Sayyaf”. Adapun Republika, 20 Juni 2002, menggunakan sebutan “kelompok gerilya Abu Sayyaf”.
Istilah “militan” dan “gerilya Muslim” yang digunakan Kompas terhadapkelompok Abu Sayyaf, yang telah dicap sebagai “penculik,”perampok”, “pemberontak”, “separatis”, sadar atau tidak berkaitan dengan pembentukan citra Islam. Mengapa? Karena, pada saat yang sama Kompas tidak menyebut “terorisme Yahudi” pada Israel dan “pembantai Kristen” pada tokoh-tokoh Kristen yang terjadi di Serbia,atau Timothy McVeigh yang mengebom gedung WTC di Oklahoma City tahun 1996. Meskipun tercatat sebagai Kristen fundamentalis, apakah Presiden Truman yang mendukung Israel juga dapat dikatakan sebagai teroris?
Dalam Perang Teluk, 1991, Angkatan Udara AS menjatuhkan 88.000 ton bom di Irak, jumlah yang setara dengan tujuh kali lipat yang dijatuhkan di Hiroshima. Media Barat dan koran-koran di Indonesia tidak memberitakan peristiwa Pengadilan Kejahatan Perang Amerika (Tribunal for American War Crimes) di New York, yang dihadiri 22 hakim dari 18 negara bagian. Keputusan pengadilan itu menetapkan: AS dan para pejabat terasnya dinyatakan bersalah atas 19 tuduhan kejahatan perang. (Willem Oltmans, Di Balik Keterlibatan CIA [Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001], hlm. 4).
Dengan keputusan pengadilan itu, mengapa George Bush senior tidak dijuluki oleh media massa sebagai “militan Kristen”? Jika Osama yang dicurigai sebagai otak penghancur gedung WTC sudah dicap sebagai “militan” dan “teroris”, begitu juga Abu Sayyaf yang Muslim dicap sebagai “militan”, “teroris”, dan “gerilya Muslim”, mengapa Ariel Sharon yang jelas-jelas bertanggung jawab terhadap pembantaian Shabra-Shatila tidak disebut sebagai “militan dan teroris Yahudi”? Mengapa banyak media massa tidak memberikan sebutan semacam itu?
Pada edisi 20 Juni 2002, Kompas menurunkan berita tentang Israel berjudul, “Israel Kembali Duduki Jenin dan Kalkiliya”. Kompas tidak memberikan sebutan apa pun untuk Israel dan Ariel Sharon, misalnya Israel diberi julukan sebagai “negara penjajah Yahudi” atau “teroris Yahudi”. Padahal, Israel sendiri tak segan-segan menyebut dirinya sebagai “The Jewish State”. Ariel Sharon juga hanya ditulis Kompas sebagai “PM Ariel Sharon” tanpa embel-embel “teroris”, “penjagal”, “tokoh garis keras”, atau “militan” Yahudi.
Kerancuan penggunaan istilah-istilah tersebut juga bisa dilihat sebagaimana yang disebutkan oleh tokoh-tokoh di Indonesia. Dalam disertasinya di Universiti Sains Malaysia (USM) yang diterbitkan Paramadina (1999), dengan judul Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam–Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Parta Jama’at-i-Islami (Pakistan)–Yusril Ihza Mahendra menyimpulkan bahwa Jama’at-i-Islami dan Al-Ikhwan al-Muslimun termasuk kategori kelompok fundamentalis. Sedangkan Masyumi masuk kelompok modernis bersama Liga Muslim Pakistan. Dalam “Catatan Pinggirnya” di majalah Tempo , 27 Januari 2002, Gunawan Muhammad menutup tulisannya dengan kalimat,”Fundamentalisme memang aneh dan keras dan menakutkan:ia mendasarkan diri pada perbedaan, tetapi pada gilirannya membunuh perbedaan.” Lalu, pada pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 21 Oktober 1992, Nurcholish Madjid mengatakan, “Kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika.”
Jika digabungkan kesimpulan Yusril Ihza Mahendra, Goenawan Muhammad, dan Nurcholish Madjid, yang sama-sama menggunakan istilah”fundamentalisme”, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa tokoh-tokoh Islam,seperti Hasanal-Banna, Sayyid Quthub, Yusuf al-Qaradhawi, Abul A’la Maududi, Syaikh Ahmad Yasin, dan sebagainya pantas dicap “sama bahayanya dengan narkotika” dan “menakutkan”. Itulah yang dilakukan Israel, dengan membunuh Syaikh Ahmad Yasin. Jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memiliki kaitan dengan perjuangan Ikhwanul Muslimin juga dimasukkan dalam kategori “fundamentalisme”, maka dengan logika yang sama, Dr. Hidayat Nurwahid yang memimpin MPR juga perlu dimusnahkan, karena dia lebih berbahaya darinarkoba.
Mengaitkan faktor ‘kekerasan’ dengan ‘fundamentalisme agama’ juga tidak selalu tepat. Rezim-rezim biadab diberbagai belahan bumi, seperti Rezim Reza Pahlevi, Marcos, Apartheid Afrika Selatan, Augusto Pinochet, dan sebagainya bukanlah pengikut “fundamentalisme”. Mereka adalah rezim sekuler. Rezim di Israel yang kejam juga bukan pengikut Yahudi fundamentalis atau Yahudi Ortodoks, melainkan rezim yang lahir dan tumbuh dari kalangan Yahudi sekuler. Presiden George W. Bush yang tega membunuhi anak-anak dan warga sipil Afghan, Irak, Palestina, dan sebagainya juga tidak secara tegas menyatakan diri sebagai fundamentalis Kristen, meskipun pada kenyataannya ia berasal dari kalangan fundamentalis Kristen. Memang, dalam bukunya, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, Huntington mengungkap hasil polling di AS,November 1994, yang mengungkapkan, 33% publik AS melihat “Islam fundamentalis” sebagai ancaman. Di kalangan pimpinan ASjumlahnya malah 39%. Dalam polling lain yang melibatkan 35.000 responden yang peduli pada kebijakan politik luar negeri AS, 61% responden menyatakan, “Islamic revival” sebagai ancaman bagi AS. (Huntington, The Clash of Civilizations, hlm. 215).
Di AS, kelompok Kristen fundamentalis diistilahkan sebagai New Christian Right (NCR), juga berpengaruh besar dalam pemerintah AS. Presiden Bush dikenal memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kalangan Kristen fundamentalis, seperti Billy Graham, Pat Robertson, Jerry Falwell. Tokoh-tokoh Kristen inilah yang memberikan dukungan kuat kepada Israel. Soal keterkaitan erat Bush dengan kaum fundamentalis Kristen banyak diungkap oleh pengamat politik AS. Dalam bukunya berjudul The Eagle’s Shadow: Why America Fascinates and Infuriates the World, Mark Hertsgaard mencatat tentang Bush junior ini: “George W. Bush, yang menyebut Yesus Kristus sebagai filosof favoritnya, adalah seorang Kristen yang “terlahir kembali” yang punya utang politik terhadap kaum Kristen fundamentalis.”
Menurut Hertsgaard, sejakawal 2000, kelompok Kristen sayapkanan (Christian right) ini memang telah memilih berdiri di belakang Bush. Presiden AS ini pun kemudian membuat politik balas budi terhadap kelompok yang memiliki basis kuat, terutama di AS bagian Selatan. Di antaranya dengan menggeser tanggung jawab sosial dari pemerintah kepada gereja dan mengangkat hakim serta pejabat-pejabat federal yang bersimpati terhadap kepentingan fundamentalis. Kekuatan Kristen sayap kanan bisa dilihat saat “the two most powerful Republicans” Trent Lott dan Tom Delay berhasil menggerakkan proses impeachment terhadap Clinton dalam kasus skandal seksnya dengan Monica Lewinsky. Di jajaran Republikan, hanya sedikit senator yang dapat terpilih tanpa dukungan kelompok Kristen sayap kanan ini. Memang, dalam soal agama, AS sering bersifat ambigu. Pada satu sisi tetap memegang prinsip sekuler, bahwa negara tidak melakukan campur tangan dalam urusan agama. Tetapi, kata Hertsgaard, “Agama merupakan kunci guna memahami banyak hal tentang AS.” Maka, tak heran, jika politisi Demokrat pun sering menampilkan diri sebagai sosok yang religius. Clinton dan Algore, misalnya, juga bangga menyatakan dirinya sebagai “born again” Baptists. Clinton juga melakukan ritualitas Kristen saat melakukan pengakuan dan permohonan maaf kepada rakyat AS atas skandalnya dengan Lewinsky. (Mark Hertsgaard, The Eagle’s Shadow: Why America Fascinates and Infuriates the World [Crows Nest: Allen and Undwin, 2002], hlm. 121-123).
Kristen fundamentalis alias Kristen sayap kanan (NCR) mulai dikenal pada akhir 1970-an. Ketika itu masyarakat AS menyaksikan kebangkitan munculnya kelompok ini, yang dalam politik AS dikenal sebagai “gerakan politik keagamaan konservatif (a conservative religio-political movement)”. Gerakan yang berakar pada “American evangelical Protestantism” ini bertujuan untuk mendirikan agama Kristen tradisional sebagai kekuatan dominan dalam seluruh aspek sosial kemasyarakatan, termasuk politik. Pesan dari NCR adalah menyerukan kebangkitan agama, regenerasi moral, dan kebangkitan kembali bangsa Amerika.Seorang tokoh NCR, Jerry Falwell, menyatakan bahwa Amerika membutuhkan dampak dari kebangkitan spiritualmurni, yang dibimbing oleh pendeta-pendeta yang percaya pada Bible; bahwa ‘kanker moral’ telah menyebabkan pembusukan masyarakat dari dalam. (Peter Beyer, Religion and Globalization [London: SAGE Publications, 1994], hlm. 114-122).
Karena menyimpan banyak masalah, Mark Jurgensmayer menolak menggunakan istilah “fundamentalis” kepada kaum Muslim yang menginginkan kebangkitan nasional religius. Ia menulis bukunya dengan judul: The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State. Menurutnya, istilah “fundamentalis” bernada peyoratif (penghinaan), yang berkonotasi “intoleran”, “merasa benar sendiri”, dan “menerapkan pandangan sempit dogma agama secaraliteral”. Istilah ini lebih merupakan tuduhan ketimbang bersifat deskriptif. Artinya, lebih mencerminkan sikap terhadap kelompok lain ketimbang menjelaskan siapa mereka. Karena itu, menurut Jurgensmayer, lebih tepat memberi identitas para aktivis yang berorientasi keagamaan secara pribadi dan politik sebagai “nasionalis religius”, sebagailawan dari “nasionalis sekuler”. (Mark Jurgensmeyer, The New Cold War? hlm. 406). Pada tataran praktis, perbedaan perlakuan terhadap “fundamentalis” Yahudi, Kristen, atau Islam, dalam kamus terorisme internasional saat ini, menunjukkan istilah “terorisme” masih begitu lekat dengan kepentingan politik–baik dalam maupun luar negeri–AS yang kemudian menjadi pangkal berbagai problemapelik internasional.
Problema pelik internasional itu ternyata dalam pandangan Bush bisa menjadi sangat sederhana. Bush membagi dunia menjadi dua: dunia jahat dan dunia baik. Dunia jahat, menurut Bush (red.), adalah musuh AS, dan dunia baik adalah yang mendukungnya. Siapa pun bisa melihat ketidakberesan sikap politik “siapa yang kuat dia yang benar” ini. Penguasa AS yang bersikaplain akan tersingkir atau disingkirkan, seperti yang terjadi pada John F. Kennedy. Dalam bahasa Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia, dunia kini kembali ke “zaman batu”, karena menempatkan “perang” sebagai jalan menyelesaikan masalah. Hukum dan aturan internasional yang disusun sendiri oleh AS dan sekutu-sekutu pemenang Perang Dunia II kini justru diinjak-injaknya sendiri. Inilah sebenarnya akhir tatanan internasional (pax-Americana). Inilah akhir dari aliran politik idealis yang mengagungkan hukum dan moral dalam menciptakan perdamaian. Yang menang akhirnya aliran politik realis, yang menempatkan “power” sebagai faktor utama pencipta perdamaian.
Dalam buku Western State Terrorism (ed. Alexander George), dikompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S.Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya. William Blum menyebut, kebijakan politik luar negeri AS memang secara klinis dapat dikatakan “gila”. Dan, itu diakui oleh para pembuat kebijakan itu sendiri. Blum meletakkan kesimpulannya itu di bawah subjudul “the madman philosophy” (filosofi orang gila). Penulis yang hengkang dari Deplu AS tahun 1967 gara-gara menentang Perang Vietnam ini mengungkap studi internal “US Strategic Command” tentang “Essentials of Post-Cold War Deterrence”. Dikatakan bahwa tindakan AS yang kadang kelihatan ‘out of control’, irasional, dan pendendam, bisa jadi menguntungkan untuk menciptakan rasa takut dan keraguan pada musuh-musuhnya. (William Blum, Rogue State, hlm. 26).
Untuk mengakhiri kemelut internasional dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat AS, William Blum mengajukan konsep sederhana. Jika ia menjadi presiden AS, kata Blum, ia akan sanggup menghentikan aksi terorisme terhadap AS hanya dalam beberapa hari. Dan itu bersifat permanen. Caranya:
(1) ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anakyatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS;
(2) ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS telah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51;
(3) ia akan memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90% dari angka 330 miliar USD per tahun.
Itulah yang akan dikerjakan Blum pada tiga hari pertamanya di Gedung Putih. Tetapi kemudian katanya, sebagai konsekuensi dari langkah-langkah itu, maka pada hari keempat saya akan dibunuh. (William Blum, Rogue State, hlm. 24).
Rekayasa informasi global itulah yang sekarang terus berlangsung, melalui media-media massa global. Masyarakat global diberi ketidakberdayaan dalam berbagai hal untuk menghadapi hegemoni informasi. Kepentingan-kepentingan Barat–terutama AS–dapat terwujud. Dalam bidang ekonomi, AS berhasil mengglobalkan berbagai produk industrinya, sehingga menjadi “selera dunia”. Terjadilah homogenitas dalam 3F dan 1T: food (makanan), fun (hiburan), dan fashion (mode), dan thought (pikiran). Banyak warga dunia merasa bangga meminum Coca-Cola, makan ayam goreng KFC dan burger McDonald’s, menikmati musik AS, dan tidak malu-malu meniru mode pakaian Britney Spears atau Jennifer Lopez yang sangat tidak pantas. Bukan hanya itu, umat manusia jugadipaksa dan diprovokasi supaya berpikir seperti Barat, berpikir sekuler dan liberal, sebagai bagian dari budaya global. Bahkan, kaum muslimin didorong untuk meninggalkan cara berpikir tauhid, yang hanya mengakui Al-Qur’an sebagai kitab suci yang valid dan mukjizat, dan hanya mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar.
Sedangkan wacana terorismeyang kiniberkembang–dengan aktor utama adalah Al-Qaeda– sebenarnya merupakan wacana yang sudahmasuk dalam bingkai kepentingan dan hegemoniwacana. Sebagai penguasa dunia, berbagai kejahatan AS memang tidak dapat dijangkau oleh hukum internasional. William Oltmans, misalnya, mengungkapkan,tahun 1992, Ramsey Clark, Jaksa Agung di masa Lyndon B. Johnson,menerbitkan laporan setebal 325 halaman berjudul ‘The Fire this Time’. Di bawah subjudul ‘US War Crimes in the Gulf’, Clarkmenceritakan, ia sedang berada di Baghdad saat sebuah bom presisi yang dikendalikan laser ditembakkan ke tempat-tempat perlindungan bawah tanah dan membunuh ratusan orang, termasuk perempuan dan anak-anak. Angkatan Udara AS menjatuhkan 88.000ton bom di Irak pada 1991, jumlah yang setara dengan tujuh kali lipat yang dijatuhkandi Hiroshima. Kejahatan perang AS di Irak itu sebenarnya sangat luar biasa, tetapi media massa di AS melupakannya. Padahal, Pengadilan Kejahatan Perang Amerika (Tribunal for American War Crimes) di New York, yang dihadiri 22 hakim dari 18 negara, menyimpulkan bahwa AS dan para pejabat terasnya dinyatakan bersalah atas ke-19 tuduhan kejahatan. Mereka juga menunjukkan bagaimana Bush senior telah melanggar PiagamPBB dan konstitusi AS. Ironisnya, tidak satu media massa pun berani menerbitkan berita tersebut. William Oltmans, wartawan senior asal Belanda yang kini menetap di New York, menyorot ironi pers di AS itu dengan mencatat: “Itulah keadaannya di negara yang menggembar-gemborkan keberhasilan bahwa mereka telah dapat membangun masyarakat yang bebas dan berdemokrasi.” (William Oltmans, Di Balik Keterlibatan CIA, 2001, hlm. 3-5). Kapankah dunia akan mampu keluar dari paradoks global semacam ini?
Sumber: Diringkas dari Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Adian Husaini (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 211-230
Oleh: Abu Annisa
www.alislamu.com