WASHINGTON (Arrahmah.com) – Amerika Serikat harus mulai mengikis perkembangan ekstrimisme Islam di dalam negeri sebelum terlambat. Hal ini disampaikan oleh mantan menteri pendidikan AS tahun 1985-1988 yang juga merupakan direktur Badan Nasional Pengendalian Kebijakan Obat-Obatan di bawah Presiden George W. Bush dalam CNN.
Melalui tulisan tersebut, William J. Bennet mengkhawatirkan akan terjadi keterlambatan penanganan terhadap semakin pekatnya ‘ekstrimisme’ Islam hanya karena pemerintah dan rakyat Amerika mengutamakan multikulturalisme, seperti yang terjadi di Inggris.
Ia mengungkapkan pidato perdana menteri Inggris, David Cameron, pekan terakhir yang berbicara mengenai masalah Islam radikal dan konsesi budaya-politik di Inggris. Tema utama dalam pidato yang disampaikannya di Munich Jerman itu adalah identitias kolektif.
Cameron menggambarkan bahwa banyak muslim yang kesulitan untuk mengidentifikasi diri dengan Inggris karena masyarakat Inggris sendiri yang menurutnya telah membiarkan identitas kolektif Inggris melemah.
“Di bawah doktrin multikulturalisme, kita telah mendukung perbedaan budaya untuk hidup terpisah satu sama lain,” ujar Cameron. Namun, ia menambahkan, konsep tersebut telah gagal untuk memberikan sebuah visi dimana masyarakat merasa mereka ingin menjadi bagian antara satu dengan yang lain.
Cameron juga mengatakan negaranya telah mentolerir masyarakat yang berbeda (baca: Muslim, Red.) terpisah dan berperilaku dengan cara-cara yang “bertentangan” dengan nilai-nilai Inggris.
Bennet mengungkapkan, “Cameron cukup benar dalam apa yang dikatakannya mengenai Inggris, dan hal itu sama benarnya dengan yang ada di sini, di Amerika. Saat orang kulit putih memiliki pandangan rasis, misalnya, kita benar-benar mengutuk mereka. Tapi ketika pandangan atau praktek yang berasal dari seseorang yang tidak putih, kita telah terlalu berhati-hati, terus terang bahkan takut, untuk menangani mereka.”.
Ia mengungkapkan bahwa Amerika telah dikagetkan dengan munculnya insiden penembakan di Fort Hood, Texas. Menurutnya, aparat keamanan AS telah memiliki informasi yang cukup untuk mendeteksi radikalisasi Nidal Hasan tetapi gagal untuk memahami dan bertindak menangani hal itu.
Berdasarkan hasil penyelidikan, Nidaal Hasan selama bertahun-tahun sebelum serangan itu, telah “secara terbuka menyatakan keyakinannya bahwa pemboman bunuh diri dibenarkan, bahwa operasi militer AS di Irak dan Afghanistan adalah perang terhadap Islam, bahwa Muslim Amerika di militer AS mungkin terlibat dalam pembunuhan terhadap saudara mereka sendiri, dan bahwa ketundukannya terhadap agamanya lebih besar daripada kewajiban bersumpah sebagai seorang perwira militer yang harus mendukung dan mempertahankan Konstitusi.”
Tetapi terlalu banyak yang tidak menganggapnya serius, keluh Bennett. Banyak yang menganggap bahwa pernyataannya tidak berbahaya.
“Harus ada batas dalam toleransi. Tapi batas-batas ini hanya dapat diuraikan dan diterima setelah kita benar-benar membela nilai-nilai kita. Kebenaran yang jelas adalah bahwa kita semua diciptakan sama dan diberkahi dengan hak mutlak dari kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan. Dan kita harus menolak ajaran lain: penindasan atas nama ekstremisme agama dan klaim penentuan nasib sendiri,” ungkap Bennett.
“Pembelajaran harus kembali dimulai saat ini. Namun untuk memulai itu, harus dimulai dengan pengajaran yang cukup besar,” pungkasnya. (althaf/arrahmha.com)