WASHINGTON (Arrahmah.com) – Tumbuh di lingkungan yang membenci Islam, seorang pemuda Amerika akhirnya memeluk Islam setelah bertemu dengan seorang Muslimah berkerudung di sebuah kamp pemenang beasiswa di Washington, lansir Muslims Today pada Rabu (22/5/2013).
“Saya dibesarkan di Tacoma, dan saya belum pernah melihat seorang Muslim,” kata Carlos Sandoval, lulusan SMA Mount Tahoma, kepada The Bellingham Herald.
“Bagi saya saat itu – Arab, Islam, Muslim – itu semua sama.”
Bertemu dengan Bashair Alazadi, seorang Muslimah berkerudung berusia 16 tahun di sebuah kamp Washington pada tahun 2007, membuat Sandoval yang saat itu masih seorang Katolik berusia 17 tahun ingin menggali lebih jauh kepribadian Alazadi untuk mengetahui tentang kepercayaan gadis itu.
Dilahirkan di Irak, Alazadi pindah dengan keluarganya ke Everett pada usia 4 tahun. Dia saat itu dilempari pertanyaan tentang Islam, terutama setelah peristiwa 9/11.
“Dia bertanya mengapa saya memakai kerudung,” kata Alazadi.
“Dia ingin melihat rambut saya.”
Saat Sandovol terus mengajak Alazadi untuk kencan, dia selalu mendapat jawaban “tidak”.
Pada saat itu, Sandoval merasa tertantang untuk membuktikan bahwa Alazadi telah mengalami “pencucian otak”.
“Awalnya, saya membenci Islam. Saya berusaha meyakinkannya bahwa dia telah mengalami ‘pencucian otak’, bahwa agamanya adalah agama yang ‘menindas’,” katanya.
“Saya membeli Al-Qur’an supaya saya bisa membacanya dan menyerang dia dengan pertanyaan-pertanyaan. Namun, semakin banyak saya membaca, semakin saya belajar, semakin saya menghargai Islam.”
“Bashair lebih cerdas dari saya, lebih artikulatif. Dia lebih berasimilasi ke negara ini dari pada saya sendiri,” katanya.
“Saya dibesarkan sebagai seorang Meksiko, dan ada stigma yang melekat. Dia dibesarkan sebagai seorang Muslim, dan ada stigma untuknya juga.”
Merasa jatuh cinta, Sandoval dan Alazadi meminta izin kepada ayah Alazadi untuk menikah pada tanggal 29 Agustus 2009.
“Saya memeluk Islam sebelum pernikahan. Saya tidak melakukannya hanya untuk menikahi Bashair. Saya menganggap ini adalah langkah terakhir dalam mempelajari Islam,” katanya.
Menemukan Islam bersama istrinya, Sandoval justru terlihat lebih mempertahankan keyakinan barunya terhadap kesalahpahaman Islam ketimbang istrinya sendiri.
“Jika seseorang mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang Islam, saya mungkin mengabaikan mereka. Namun Carlos justru akan membimbing mereka,” kata Alazadi.
“Saya yang dibesarkan sebagai seorang Muslim, tapi sekarang dia tahu lebih banyak tentang Islam daripada saya.”
Alazadi lulus pada bulan Desember dan bekerja sebagai akuntan di Seattle, belajar untuk kredensial akuntan publik bersertifikatnya.
Sandoval lulus akhir pekan depan dan ingin bekerja di tahanan anak.
Pasangan bahagia ini menghargai cara orang tua mereka menerima keputusan mereka.
“Ayah saya tidak suka ketika dia pertama kali bertemu dengannya, tapi sekarang dia memperlakukannya seperti anaknya sendiri,” kata Alazadi.
Adapun Sandoval, istrinya telah memberikan kesan dengan orang tuanya sejak pertemuan pertama mereka.
“Orang tua saya mencintai Bashair juga,” katanya.
“Kami bangga dengan cara kedua orang tua kami menerima kami dan keputusan kami.”
Amerika Serikat adalah rumah bagi sekitar enam hingga delapan juta komunitas Muslim.
Menurut sebuah studi tahun 2011 oleh Pew Forum tentang Agama dan Kehidupan Publik, sekitar 20 persen Muslim AS adalah mualaf. Dari mereka yang menjadi mualaf, sekitar 54 persen adalah laki-laki dan 46 persennya adalah perempuan. (banan/arrahmah.com)