KAIRO (Arrahmah.com) – Para demonstran di Mesir mengabaikan peringatan yang diberikan oleh rezim Hosni Mubarak. Mereka terus bergerak mendekati parlemen pada hari Rabu (9/2/2011). Mubarak mengancam dengan dalih bahwa aksi protes tersebut bisa melemparkan Mesir pada kekacauan. Sementara itu di selatan, kekerasan mematikan terhadap para demonstran terus terjadi.
Sekitar seribu orang demonstran berjalan ke parlemen meminta para anggotanya mengundurkan diri. Protes tersebut dilakukan dengan damai, sementara aparat keamanan pemerintah tetap berjaga-jaga di sekitar parlemen. Demonstran berjanji mereka tidak akan meninggalkan tempat tersebut sampai para legislator itu hengkang.
Malam sebelumnya, sebelum mereka bergabung dengan sejumlah orang lainnya, ribuan pendukung aksi demonstrasi besar yang sudah berlangsung selama dua minggu itu menyamakan persepsi bahwa mereka ingin mendepak presiden otokrat mereka dan mengganti rezim yang sudah berkuasa selama 30 tahun tersebut.
“Saya akan tetap di sini sampai ia pergi,” kata May Abdelwareth, yang menghabiskan tiga hari di Tahrir Square, Kairo. “Saya melakukan hal ini untuk diri saya sendiri, untuk anak-anak saya, jadi mereka tidak perlu hidup dengan kondisi yang pernah saya alami.”
Di tempat lain, para relawan yang menyediakan fasilitas MCK di sekitar tempat demonstrasi mengindikasikan bahwa para peserta protes tidak akan meninggalkan Tahrir Square.
Sejak aksi serupa meluas di luar Kairo, terjadi kerusuhan maut di Kharga yang menewaskan tiga orang dan menyebabkan 100 orang lainnya cedera akibat tembakan yang dilancarkan oleh aparat keamanan pada para demonstran.
Sementara itu, Amerika Serikat tetap resah menyaksikan kondisi luar biasa yang terjadi di negeri Arab itu. AS berharap agar transisi untuk menentukan pemerintah yang sesuai dengan aspirasi rakyat Mesir segera terjadi tanpa kekerasan. Jika tidak demikian, AS memperingatkan, maka Mesir akan terancam dikuasai oleh Islam.
Pada Selasa (8/2), wakil presiden AS, Joe Biden, pada Omar Sulaeman (andalan lain AS di Mesir) melalui telepon, mendesak agar segera terjadi transisi politik di Mesir, termasuk dialog nasional bersama para oposisi, Gedung Putih melaporkan.
Hadirnya Ikhwanul Muslimin sebagai salah satu peserta aksi protes ini pun mencemaskan para investor Barat bahwa gerakan ini benar-benar akan dimanfaatkan untuk membangkitkan Islam di Mesir.
Pada saat yang sama, Daulah Islam Irak, mendesak rakyat Mesir agar berpaling dari sekularisme, demokrasi, serta nasionalisme. Daulah Islam Irak pun mendesak agar rakyat Mesir berjihad untuk memperjuangkan tegaknya negara Islam – ide yang bahkan ditentang oleh gerakan Islam Ikhwanul Muslimin itu sendiri.
“Kami adalah rakyat Mesir, Kristiani dan Muslim,” ujar Abdelrahem Sami, salah seorang peserta protes yang bermata pencaharian sebagai seorang dokter dan telah menghabiskan malam-malamnya di Tahrir Square.
“Siapapun yang mengatakan hal yang berbeda, itu artinya mereka sedang berusaha memecah belah kami, untuk membuat kami takut satu sama lain. Dan hal itu sama dengan yang dilakukan oleh rezim,” pungkasnya. (althaf/arrahmah.com)