(Arrahmah.com) –Pelanggaran HAM dalam Praktik Kontraterorisme di Berbagai Negara
“hal – hal yang sebelumnya tidak diterima pada tanggal 10 september 2001, kini sudah dianggap wajar. Hal – hal yang sebelumnya dianggap biadab dinegara barat selama perang dingin (penyiksaan, penahanan tanpa pengadilan, pengadilan yang terpancung) kini siap diterima dibeberapa negara. Pemerintah telah menghabiskan dana yang sangat besar untuk memperkuat keamanan dalam perang melawan teror, tapi banyak orang, baik miskin maupun kaya, diwilayah selatan maupun utara, yang merasa lebih tidak aman dibanding sebelumnya sejak berakhirnya perang dingin.”
(Irene Khan, Sekretaris Jendral Amnesty International)
Suka atau tidak, dunia sekarang telah berubah sejak 11september 2001, berkat liputan spektakuler dari media, kita semua bisa menyaksikan serangan terbesar yang pernah terjadi atas AS. Namun, ada satu hal yang mungkin saat itu belum bisa dibayangkan oleh masyarakat dunia, bahwa sejak itulah dunia berubah menjadi lebih tidak aman, lebih tidak stabil, dan lebih tidak adil setelah pemerintah AS bereaksi atas serangan tersebut. Mulai dari invasi ke Afghanistan yang saat itu dipimipin oleh Taliban – yang menurut pemerintah Bush melindungi Al – Qaeda yang dituduh bertanggung jawab atas serangan 911; kemudian serangan ke Iraq tahun 2003; hingga berbagai aturan dan kebijakan kontra terorisme yang justru memberikan teror tersendiri bagi masyarakat.
Inilah “perang melawan teror”, sebagaimana istilah yang disematkan oleh G.W.Bush, yang atas nama perang melawan teror itulah segalanya dianggap benar, meski melanggar hukum internasional, HAM, dan bahkan konstitusi negara itu sendiri. contoh paling populer dari kebuasan ini adalah perlakuan kejam militer AS atas para tahanan perang dipenjara Guantanamo – dimana ratusan orang ditahan tanpa dakwaan resmi maupun hak untuk mendapatkan peradilan yang adil – serta penjara Abu Ghuraib, yang atas desakan internasional sekarang sudah ditutup.
Menurut Amnesty International, banyak negara menggunakan “perang melawan teror” sebagai alasan untuk menginjak –injak HAM. Atas nama keamanan, politik, dan profit HAM telah diinjak – injak oleh pemerintah diberbagai negara.
Tema tentang kontraterorisme dan HAM menarik perhatian yang cukup ramai sejak peristiwa 911 dan di dirikannya Komite Kontraterorisme pada tahun 2001 silam. Dalam Revolusi Dewan Keamanan PBB 1456 (2003) dan resolusi – resolusi sesudahnya, dikatakan bahwa seluruh negara harus memastikan bahwa segala tindakan yang diambil untuk memerangi terorisme harus sesuai dengan hukum internasional, terutama HAM, para pengungsi, dan hukum – hukum kemanusiaan lainnya.
Resolusi DK PBB 1373 (2001) menyatakan bahwa soal hak asasi manusia negara harus mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan aturan hukum nasional dan internasional, meliputi standar internasional mengenai HAM. Dalam pembukaan resolusi ini juga menegaskan bahwa dalam memerangi ancaman terorisme tetap harus sesuai dengan piagam PBB.
Dalam memerangi terorisme, pemerintah harus memastikan bahwa mereka memenuhi kewajiban lain bagi warganya dengan memastikan bahwa segala tindakan kontra terorisme dilakukan dengan tatap menghormati dan tidak melanggar HAM. Keamanan yang ingin digapai pada akhirnya adalah tentang memastikan sebuah lingkungan yang mana HAM terpenuhi, dihormati, dan dilindungi. Kondisi ini tidak tercapai ketika HAM dilecehkan, pengasingan dan ketidak puasan disalurkan melalui kekerasan politik.
Perlindungan HAM adalah sebuah persyaratan utama dan legal dalam operasi kontra terorisme. Ini integral dengan kesuksesan kampanye anti teror itu sendiri. Terorisme tidak akan bisa dikalahkan hanya dengan peralatan militer atau keamanan saja.
Perang melawan teror membutuhkan penguatan kembali atas nilai – nilai hak atas dasar manusia, bukan dengan mengabaikannya, sebagaimana yang terjadi saat ini diberbagai belahan dunia. Represi dan pelanggaran justru akan memicu lahirnya ekstremisme baru. Sebagaimana yang dikatakan oleh sekjen PBB dalam debat terbuka di KKT DK PBB tahun 2002: “menciptakan keamanan dengan mengorbankan HAM adalah sebuah pandangan yang sempit, kontradiktif, dan dalam jangka panjang justru akan melahirkan kekalahan.”
Komite Menentang Penyiksaan pernah mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengingatkan bahwa seluruh negara harus memastikan bahwa respons mereka atas ancaman terorisme internasional harus selaras dengan Komite Menentang Penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention againts Torture dan Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatmen or Punishment). Komite tersebut juga menegaskan bahwa: “tidak ada kondisi pengecualian, apapun itu, yang menjadi pembenaran atas tindakan penyiksaan.”
Transparansi dalam kebijakan kontraterorisme sangat diperlukan untuk melindungi HAM sekaligus untuk memastikan tercapainya keamanan nasional. Pelanggaran HAM semakin meningkat seiring dengan tindakan kontraterorisme yang dilakukan diluar aturan hukum internasional.
Kebijakan kontraterorisme yang diadopsi untuk memerangi terorisme di AS mengabaikan konvensi dan perjanjian internasional, termasuk Konvensi Jenewa dan Konvensi Menentang penyiksaan (Convention Against Torture). Pemerintah bush, yang saat ini sebagai dedengkot perang melawan teror, mencoba untuk mencari pembenaran atas tindakan yang mereka lakukan (yang jawaban ini mengilhami negara lain untuk melakukan kebijakan yang sama. Mereka mengklaim bahwa ancaman teroris telah membawa kita kepada sebuah paradigma baru dan paradigma ini membutuhkan pola pikir baru dalam hukum perang.
Amerika mengklaim bahwa “perang melawan teror” berbeda dengan konflik – konflik bersenjata yang pernah terjadi sebelumnya.
Salah satu metode yang sering digunakan oleh AS untuk mengabaikan hukum internasional adalah penyebutan teroris sebagai “enemy combatant“, bukan dengan istilah yang diterima secara internasional dalam konvensi Jenewa: “Lawful Combatant” (pejuang sah) dan “unlawful combatant” (pejuang yang tidak sah).dengan mengubah istilah ini, kebijakan AS mengindikasikan bahwa hukum internasional tidak berlaku untuk para tahanan terorisme. Meski demikian, sejatinya hukum Hak Asasi Manusia selalu berlaku dan aksi teror tidaklah berarti menghilangkan para tahanan kasus terorisme dari perlindungan Konvensi Jenewa. Meskipun terorisme menyebabkan ancaman yang unik dan kompleks atas keamanan, tindakan yang diambil harus tetap sejalan dengan hukum internasional dan tidak boleh melanggar hak asasi dasar manusia.
Persoalan mengenai hal terorisme bukanlah hal baru. Usaha internasional untuk melakukan kontraterorisme telah mulai berjalan sejak tahun 1937. Masalah ini telah dibahas dalam hukum internasional selama beberapa dekade dan tidak perlu ada paradigma yang benar – benar baru terkait dengan terorisme, hukum hak asasi dasar manusia secara internasional tetap berlaku sepanjang waktu, baik ada konflik bersenjata maupun tidak.
Pentingnya melindungi HAM untuk mencapai tindakan kontraterorisme yang efektif tidak bisa di abaikan. Kegagalan untuk selaras dengan hukum internasional dan HAM pada akhirnya justru akan semakin meningkatkan terjadinya terorisme. Penggunaan tindakan yang diskriminatif dan penyematan stigma negatif berpengaruh pada hak dari seluruh komunitas, dan mungkin justru akan menyebabkan terjadinya marjinalisasi yang semakin dalam dan radikalisasi dalam komunitas tersebut.
(lasdipo.com/arrahmah.com)