Oleh: Dr. Adian Husaini
(Arrahmah.com) – Lazimnya,perempuan biasanya ingin tampil cantik, dan senang dipuji kecantikannya. Sementara laki-laki lazimnya senang memandang kecantikan perempuan. Keinginan naluriah itu ada pada manusia. Rasulullah saw pun memberitahukan, bahwa perempuan dikawini karena empat hal: kecantikannya, hartanya, nasabnya, dan juga agamanya. Nabi memerintahkan untuk mengutamakan faktor agama, jika rumah tangganya mau selamat. Toh, faktor cantik tidak dilarang untuk dijadikan sebagai pertimbangan. Sebab, itu memang naluriah laki-laki normal.
Al-Quran juga menjelaskan, salah satu syahwat dunia adalah kecintaan kepada perempuan, anak-anak, harta perniagaan,emas dan perak, sawah ladang, dan peternakan. (QS 3:14).
Islam bukanlah agama yang membunuh naluri manusia, sehingga melarang pemeluknya untuk menikah dengan alasan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tapi, Islam juga bukan agama yang memerintahkan umatnya untuk mengumbar nafsu syahwatnya. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam menunjung tinggi prinsip keadilan.Islam tidak membunuh hawa nafsu, tetapi mengendalikan dan mengatur hawa nafsu, sesuai dengan konsep Sang Pencipta, agar manusia meraih kebahagiaan (sa’adah); bukan sekedar meraih kepuasan syahwat jasmaniah.
Seperti telah kita bahas dalam CAP-359, peradaban Barat yang mencengkeram pemikiran manusia modern saat ini, adalah peradaban yang secara ekstrim memuja ‘materi’.
Unsur-unsur fisik dieksploitasi untuk kepuasan syahwat secara berlebihan. Sementara unsur “jiwa” (nafs) diabaikan, dan diserahkan kepada kendali syahwat. Peradaban Barat modern adalah peradaban yang memuja “kekuasaan, kekayaan, kecantikan, dan kepopuleran” (power, wealth, beauty, popularity). Dalam posisi seperti inilah, aspek kecantikan perempuan mendapatkan tempatnya. Para desainer dan juru gambar berusaha keras bagaimana mengeksploitasi dan mendandani tubuh perempuan agar “memuaskan”, menarik, dan membangkitkan syahwat laki-laki. Para manajer eksploitasi syahwat itu tahu persis, bagian-bagian mana dati tubuh perempuan yang harus dibuka dan bagian mana yang harus ditutup, agar – kata mereka – tampak indah, cantik, dan menarik.
Dunia industri kapitalis yang tidak peduli halal-haram pun tak lupa memanfaatkan (mengeksploitasi) tubuh perempuan agar menjadi daya tarik konsumen, meskipun terkadang, tak ada hubungan antara produk dan tubuh perempuan. Misal, ditampilkannya perempuan seksi untuk mengiklankan produk ban dan cat pengkilat mobil. Tentu, perancang iklan itu paham betul, bahwa tampilnya perempuan cantik dengan pakaian ala kadarnya bisa membangkitkan minat (syahwat) pembeli.
Mantan Menteri P&K, Dr.Daoed Joesoef memberikan kritik keras terhadap kontes-kontes kecantikan, dengan menyebutkan bahwa: “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah.” (Dikutip dari buku “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran”(Jakarta: Kompas, 2006).
Itulah sebenarnya tujuan utama kegiatan kontes kecantikan. Yakni, eksploitasi tubuh perempuan untuk keuntungan bisnis tertentu. Ironisnya, kegiatan bisnis ini dikemas dengan jargon-jargon sosial bahkan pendidikan. Seolah-olah, kontes kecantikan perempuan adalah untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Padahal, menurut Daoed Joesoef, semua itu adalah bohong belaka. Praktik kontes perempuan lebih merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Pakaian yang ala kadarnya – biasanya berupa bikini dan sejenisnya – disyaratkan untuk dikenakan pada sesi tertentu agar tubuh kontestan dapat dilihat dan diukur dengan jelas.
Kata Daoed Joesoef: “Namun tampil berbaju renang melenggang di catwalk, ini soal yang berbeda. Gadis itu bukan untuk mandi, tapi disiapkan, didandani, dengan sengaja, supaya enak ditonton, bisa dinikmati penonjolan bagian tubuh keperempuanannya, yang biasanya tidak diobral untuk setiap orang… setelah dibersihkan lalu diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan, dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”
Itu pendapat Dr. Daoed Joesoef yang dikenal sebagai salah satu tokoh sekuler di Indonesia. Jika tokoh sekuler saja berani bersikap tegas, seyogyanya para tokoh Islam – apalagi yang sedang memegang kendali kekuasaan – berani bersikap lebih tegas lagi. Substansi dari kontes kecantikan yang mengumbar dan mengeksploitasi keindahan tubuh perempuan adalah pola pikir dan kegiatan yang keliru. Dalam istilah Islam, itu disebut hal yang batil dan mungkar.
Kata Rasulullah, jika seorang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan ‘tangan’-nya; jika tidak mampu, dengan lisan (ucapannnya); dan jika tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hatinya. Tapi, ingkar dengan hati, tidak rela dan benci terhadap kemungkaran, adalah selemah-lemahnya iman.
Tentu saja orang bisa melihat pada sisi yang berbeda. Tergantung pada cara pandangnya terhadap realitas (worldview). Seorang yang berpaham materialisme dan sekulerisme tidak mempersoalkan masalah moral terhadap kontes semacam ini. Haram-halal, berdosa atau berpahala, ibadah atau maksiat, bukanlah hal penting bagi kaum materialis. Bagi mereka yang terpenting adalah kelimpahan materi, ketenaran, dan puja-pujian terhadap kecantikannya.
Cobalah renungkan, betapa kasihannya orang yang terjangkit pemikiran semacam ini. Ia salah. Ia tanpa sadar telah dikendalikan oleh setan untuk mengumbar hawa nafsunya. Hawa nafsu telah dijadikan Tuhan. Orang seperti ini, sudah tertutup mata, telinga, dan hatinya dari kebenaran. (QS 45:23).
Al-Quran menyebutkan, bahwa orang yang merasa benar dan merasa telah berbuat baik, padahal amalnya sesat dan salah, adalah manusia yang paling merugi amalnya. (QS 18:103-104).
Kecantikan bagi seorang perempuan adalah karunia dan sekaligus ujian Allah bagi si perempuan. Harusnya, kecantikannya digunakan untuk beribadah dan dakwah. Ironisnya, biasa kita saksikan, perempuan-perempuan yang terjebak oleh bujuk rayu setan agar mengeksploitasi kecantikan dan kemolekan tubuhnya untuk menggoncang-goncang syahwat lawan jenisnya. Dan itu tentu ada imbalan yang menggiurkan, berupa kemikmatan hidup duniawi.
Untuk tampil cantik – tepatnya untuk dikatakan cantik – sebagian perempuan mau melakukan tindakan hina dengan membuka auratnya. Padahal, jika dirnungkan dengan hati tulus ikhlas, jika jutaan orang sudah memuji-muji kecantikannya, apakah si perempuan akan bahagia?
Seorang yang menggantungkan hidupnya pada pujian manusia, tidaklah akan pernah meraih bahagia sejati. Segala puji hanya layak dipanjatkan kepada Allah. Bukan manusia yang patut dipuji degan melupakan Allah. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Sebab. kecantikan, ketampanan, ketenaran, kekayaan, kekuasaan, dapat diraih seseorang hanya karena atas ijin dan karunia Allah. Jika Allah menghendaki, dalam sekejap, semua kecantikan yang dipuja-puja itu bisa sirna.
Si empunya kecantikan sepatutnya mau berpikir, bahwa tak lama lagi, kecantikannya akan pudar . Kecantikan yang diumbar dan ‘dijualnya’ akan sirna. Puji-pujian itu pun akan hilang. Bersamaan dengan itu, muncullah perempuan-perempuan yang lebih cantik dan lebih menarik dari dia. Sungguh kasihan, jika seorang menggantungkan kebahagiannya pada pujian orang. Sebab, itu tak kan diraihnya. Pujian manusia bisa buat puas sementara waktu. Bukan kebahagiaan yang hakiki yang hanya bisa diraih oleh orang taqwa.
Martabat perempuan
Jurnal Islamia-Republika edisi 18 April 2013 menurunkan laporan utama tentang martabat perempuan dalam pandangan Islam. Dalam artikelnya, “Teologi Perempuan dalam Islam”, Fahmi Salim – Wasekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) – mengungkapkan kisah seorang sahabat perempuan bernama Asma’ binti Yazid yang mengajukan aspirasi kaumnya kepada Rasulullah saw. Di zaman “pemaksaan paham kesetaraan gender” saat ini, aspirasi Asma’ perlu kita renungkan.
Ketika itu, Asma’ mendatangi Rasulullah, saat beliau sedang berkumpul dengan sejumlah sahabat laki-laki. Berikut aspirasi kepada Rasulullah: “Demi Allah yang menjadikan ayah dan ibuku tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh muslimah. Tiada satu pun diantara mereka saat ini kecuali berpikiran yang sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas aktivitasnya, menunggui rumah kalian para suami, dan yang mengandungi anak-anak kalian. Sementara kalian kaum lelaki dilebihkan atas kami dengan shalat berjamaah, shalat jumat, menengok orang sakit, mengantar jenazah, bisa haji berulang-ulang, dan jihad di jalan Allah. Pada saat kalian haji, umrah atau berjihad, maka kami yang jaga harta kalian, menjahit baju kalian dan mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami tidak bisa menyertai kalian dalam semua kebaikan itu?”
Rasul melihat-lihat para sahabatnya dan berkata, “Tidakkah kalian dengar ucapan perempuan yang bertanya tentang agamanya lebih baik dari Asma’?”
“Tidak wahai Rasul,” jawab sahabat.
Beliau lalu bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kaummu bahwa melayani suami kalian, meminta keridhaannya, dan menyertainya ke mana pun ia pergi pahalanya setara dengan apa yang kalian tuntut”. Asma’ lalu pergi keluar seraya bertahlil dan bertakbir kegirangan. Kisah diatas direkam oleh Abu Nu’aim al-Asbahani dalam kitab Ma’rifat al-Shahabah (Vol.22/420).
Aspirasi Asma’ berbeda secara substansial dengan aspirasi kaum pegiat kesetaraan gender saat ini. Asma’ tidak menuntut kesetaraan secara nominal; bahwa perempuan dan laki-laki harus sama-sama aktif di ruang publik untuk kemajuan pembangunan. Perempuan yang aktif mendidik anak-anaknya di rumah dengan sungguh-sungguh tidak dianggap telah berpartisipasi dalam pembangunan. Yang dituntut oleh Asma’ adalah kesetaraan substansial, bukan kesetaraan nominal. Peran bisa berbeda. Tapi,peluang untuk meraih pahala dari Allah adalah sama besarnya.
Karena itulah, setelah Rasulullah memberitahukan bahwa istri yang taat dan diridhai suami serta menyertai suaminya, mendapatkan pahala yang sama dengan pahala suaminya, maka Asma’ bertakbir kegirangan. Asma’ tidak menuntut peran yang sama dengan laki-laki. Yang dituntut adalah pahala dari Allah. Sungguh berbeda tuntutan Asma’ dengan aktivis gender yang tidak menggunakan logika pahala dan ibadah saat merumuskan paham “kesetaraan gender” sekuler.
Akibat adanya kekeliruan dalam menggunakan tolok ukur “martabat perempuan” maka pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menetapkan angka minimal untuk pengurus perempuan dalam partai politik adalah 30 persen. Peneliti INSISTS, Dr. Dinar Dewi Kania dalam artikelnya yang berjudul “Martabat dan Keterwakilan Perempuan”, mengupas secara tajam kekeliruan cara pandang UU nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan UU No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik dalam kaitan dengan martabat perempuan. Kedua Undang-Undang itu telah memberi mandat kepada partai politik untuk melibatkan perempuan sekurang-kurangnya 30% dari daftar caleg yang diusulkan partai politik peserta pemilu.
“Umat Islam seharusnya dapat lebih jeli menilai bahwa aturan tentang kuota caleg perempuan berpotensi mengalihkan perhatian perempuan dari peran utama mereka sebagai ibu dan pendidik anak-anak di rumah. Bahkan, dalam paham ini, tugas dan peran sebagai Ibu rumah tangga dipandang sebelah mata, dianggap tidak lebih mulia ketimbang aktif di parlemen. Apakah mereka berpikir, bahwa dengan “memaksa” perempuan aktif di ruang publik dan meninggalkan keluarga, maka laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dapat lebih leluasa bergaul sampai larut malam, demi “kemajuan bangsa”? Sementara suami harus menjaga anak-anak bersama pembantu di rumah, menunggui istrinya pulang dari raker berhari-hari di luar kota?” tulis Dr. Dinar Kania.
Seorang Muslim pasti memiliki cara pandang yang khas terhadap “martabat perempuan”. Cara pandang muslim berlandaskan pada prinsip keadilan dalam Islam. Islam mengajarkan pemeluknya agar berperilaku adil kepada seluruh umat manusia tanpa memandang harta, kedudukan atau jenis kelamin. Allah swt telah menegaskan, bahwa” …. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dengan ayat ini, ajaran Islam secara tegas menetapkan bahwa nilai kemuliaan seorang manusia diukur dari iman, ketinggian akhlak dan perbuatan-perbuatan baiknya.
Menyimak kekeliruan dan ketidakberadaban kontes-kontes kecantikan, kita berharap tidak ada orang Muslim yang ikut-ikutan mendukung berbagai jenis kontes kecantikan, semisal kontes Miss World. Jadi, kontes Miss World bukanlah hanya soal baju, tapi soal penetapan dan pemberian penghargaan martabat perempuan yang keliru. Tidaklah tepat jika ada pemimpin daerah yang menyetujui acara semacam itu, hanya karena pada kontes kali ini tidak lagi diperagakan parade bikini. Andaikan kontes Miss World menggunakan mukena sekali pun, kontes semacam itu tetap keliru, sebab martabat utama perempuan dinilai berdasarkan unsur utama kecantikan fisiknya. Kontes semacam ini sudah salah menetapkan martabat perempuan.
Tulisan ini hanyalah sekedar bentuk taushiyah kepada sesama Muslim, yang masih terlibat dalam acara Miss World dan sejenisnya. Semoga mereka menyadari kekeliruannya. Cobalah bayangkan, andaikan di Hari Akhir nanti, penyelenggara acara kontes atau pemimpin daerah yang menyetujui acara itu, ditanya oleh Allah SWT! Apa jawab mereka? Apakah mereka merasa telah beramal shalih, karena berhasil mendatangkan devisa? Apa bedanya dengan meraih penghasilan dari pajak pelacuran dan perjudian?
Rasulullah bersabda: “Dua golongan ahli neraka yang belum pernah saya lihat sebelumnya: para lelaki yang membawa cambuk di tangannya seperti ekor sapi yang digunakan untuk mencambuk manusia, dan perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, sesat dan menyesatkan. Kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak mencium baunya.” (HR Muslim).
Sebagai pengemban perjuangan risalah kenabian, tugas kita hanyalah menyampaikan titah baginda Rasul saw tersebut kepada umat manusia, apa pun agamanya. Semoga bermanfaat bagi yang mau mengikuti petunjuk-Nya.
Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
(hidayatullah/arrahmah.com)