JAKARTA (Arrahmah.com) – Dalam perbincangan dengan beberapa jurnalis termasuk dengan jurnalis arrahmah.com pada Senin (13/5/2013) lalu, Mustafa B. Nahrawardaya menyayangkan sikap media massa yang tidak meliput dari dua sisi. Termasuk dalam hal pemberitaan tentang apa yang dinamakan dengan terorisme.
“Pemberitaan ini semua tidak fair, dalam memberitakan terorisme, mereka tidak cover both side,” katanya.
Semua informasi berasal dari satu sumber yakni mulut polisi. Apakah hari ini kita masih bisa mempercayai informasi sepihak dari kepolisian? Di tengah-tengah arus informasi yang sudah terbuka luas, dimana masyarakat bisa melihat langsung kejadian-kejadian yang ada. “Bagaimana mungkin kita bisa percaya kepada polisi untuk kasus terorisme?” tanya kordinator Indonesia Jurnalis Forum (IJF) ini.
Dahulu mungkin sebagian masyarakat masih terpukau oleh “kehebatan” Densus 88 dalam aksi-aksinya. Namun seiring waktu, dengan izin Allah terbukalah kedunguan mereka. Misalnya, dalam peristiwa 8 jam di Marga Asih Bandung pekan lalu. Polisi mengatakan baku tembak, berarti ribuan peluru ada di situ selama baku tembak 8 jam. Istilah baku tembak sendiri adalah menyesatkan. Padahal wartawan yang biasa meliput kriminal, bisa mengetahui itu bohongan atau sungguhan. “Di Bandung itu adalah bohong, dan Arsyad Mbai sendiri mengakui itu untuk pengalihan isu,” ujar mantan wartawan senior Jawa Pos ini.
Betapa kejinya mempertaruhkan nyawa seorang Muslim untuk sebuah pengalihan isu. Karena itu wartawan diminta jujur untuk melaporkan apa adanya. Boleh jadi ini sulit. Terlebih lagi mereka yang bekerja secara tim. Ada reporter di lapangan, kordinator liputan dan Pemred yang tidak jarang berbeda pendapat. Pemilik media atau Pemred mempunyai ketertarikan sendiri dan atau mendapatkan tekanan atau lobi dari penguasa. Namun yang jelas kejujuran itu nomor satu.
Bila tidak bisa jujur maka kedepankan sebisa mungkin kekritisan. “Tidak semua media bisa di bungkam, tidak mungkin semua media bisa seragam, semangat kritis ini perlu,” tambah Mustafa. Selanjutnya dia menjabarkan : “Sumber-sumber yang tidak valid termasuk dari kepolisian itu tidak layak menjadi sumber berita. Semua kasus-kasus terorisme berlangsung tertutup, pengacara dari kepolisian, wartawan hanya melihat dari jauh.”
Dan yang tidak kalah penting tentunya, adalah meliput dari sisi korban, ini sesungguhnya cover both side. Tidak kurang ada 115 pengakuan korban kekerasan dan kekejaman Densus 88 yang ada pada Mustafa. Media masa harus mengangkat hal tersebut, betapa penderitaan fisik dan psikis keluarga korban berat dan menahun.
Pembunuhan terhadap Muslim dengan dalih pemberantasan terorisme, harus dihentikan, tidak boleh kita berbaik-baik hati bercengkrama terhadap lembaga-lembaga yang menjadi penyokong pembunuhan terhadap Muslim. Sekarang terlihat jelas Ormas- ormas Islam semakin bersatu untuk isu itu. Namun ia menyayangkan ada ormas sebelah (tetangga) yang terkesan “menunggangi sakitnya ummat Islam dan mengambil keuntungan dari situ. ” katanya mengakhiri pembicaraan. (azmuttaqin/arrahmah.com)