YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Kondisi rakyat Indonesi saat ini makin memprihatinkan. Krisis multi dimensi terus terjadi dan seakan tidak ada solusi. Iklim politik juga amburadul dan saling sikut. Carut marut politik merambah juga ke tokoh lintas agama yang mengkritisi rezim berkuasa SBY. Majelis Mujahidin sebuah institusi yang selalu lantang menyuarakan penegakan syari’ah Islam dilembaga negara dengan Dakwah dan Jihad mewaspadai manuver perseteruan kaum agamawan dengan rezim SBY, berikut pernyataan sikap lengkapnya yang dikeluarkan kemarin, Ahad (30/01/2011).
Bismillahirrahmanirrahim.
Rakyat Indonesia, kini mengalami frustrasi sosial. Karena, semakin lama rezim SBY berkuasa, ancaman kemiskinan, dekadensi moral, kriminalitas, dan tentu saja korupsi, semakin keras mendera kehidupan rakyat Indonesia. Sepuluh tahun masa reformasi, seolah-olah Indonesia ditakdirkan bernasib sial, nista dan binasa. Bukan saja karena pemerintah tidak efektif memberantas korupsi, malah menyuburkan praktik mafia hukum, mafia pajak, dan mafia pengadilan.
Gelombang anti pemerintah, mulai mengalir deras dari berbagai kalangan. Seruan ‘Tokoh Lintas Agama’ kepada pemerintah, supaya menghentikan segala bentuk kebohongan publik yang melukai nurani keadilan masyarakat, tentu patut diapresiasi. Pernyataan yang dibacakan di kantor PP. Muhammadiyah, Senin 10 Januari 2011 itu terdiri dari 7 butir, pada intinya mengoreksi kegagalan pemerintah memberantas korupsi, mengatasi kemiskinan, menghentikan pelanggaran hukum dan HAM. Mereka menilai, pemerintah masih mengedepankan pencitraan dan bersikap berpura-pura, terutama dalam upaya penegakan hukum dan HAM. Mereka menyerukan tahun 2011 sebagai tahun perlawanan terhadap kebohongan.
Kemudian mereka menutup pernyataan tersebut : “Bagi kami, sejumlah kenyataan di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 45. Kita harus mendesak pemerintah untuk segera mengakhiri pengingkaran itu. Jika pemerintah menolak atau mengabaikan desakan tersebut, berarti pemerintah melakukan kebohongan publik.”
Sikap Majelis Mujahidin
Carut marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, semestinya mendorong kaum agamawan dan para aktivis gerakan, supaya introspeksi diri, terutama kaitannya dengan peran dan fungsi agama dalam membangun negeri ini. Berbagai konflik kepentingan yang berlindung atas nama umat, agama dan keyakinan, kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan HAM tidak akan memberi solusi tanpa transparansi mendasar dan kejujuran tokoh agama meletakkan parameter kebenaran agama dalam membangun negeri ini, sebagaimana amanat UUD NRI 1945 Ps. 29 ayat (1) dan (2). Bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam kerangka ini, Majelis Mujahidin mempertanyakan koreksi kaum agamawan, sekaligus koreksi terhadap sikap rezim SBY dalam mencari solusi atas problem bangsa. Apa dan Siapa di balik protes kaum agamawan, dan kepentingan apa di balik sikap rezim SBY yang ngotot dengan retorika ‘anti rakyat’nya? Pertanyaan ini penting karena beberapa alasan:
- Tokoh-tokoh Nashrani, selama ini, tidak pernah mau bersuara sama dan mendukung kebersamaan pelaksanaan aturan pemerintah dalam hal penyebaran agama (SKB tiga Menteri) yang sudah disepakati. Bahkan pihak Kristen menggunakan berbagai fasilitas ilegal maupun legal untuk kepentingan missinya.
- Selama para tokoh lintas agama tidak mau bersikap jujur dan menyepakati bersama tentang parameter kebenaran dan keadilan dalam beragama, sehingga secara proporsional dapat menempatkan diri dalam fungsi dan peran masing-masing agama, yaitu memberikan kontribusi terhadap kemajuan Indonesia, maka pernyataan sikap tokoh lintas Agama di atas hanyalah menambah kebohongan di atas kebohongan penguasa. Hubungan agama dan negara menjadi absurd (tidak jelas), dan solusi yang ditawarkan sekedar penyelesaian pinggiran (peripheral), tidak menyentuh pada inti persoalan.
- Mengapa Presiden SBY enggan menjadikan Syari’ah Islam sebagai solusi atas problem kenegaraan? Apakah demokrasi di Indonesia menolak Syari’at Islam dalam mengelola kehidupan NKRI yang mayoritas penduduknya Muslim. Lalu, apa penjelasan pemerintah terhadap UUD ’45 pasal 29 yang kami kutip di atas?
Demikian pernyataan sikap Majelis Mujahidin ini disampaikan dalam upaya mengurai keruwetan tata kehidupan beragama dan bernegara yang dipertanyakan oleh tokoh lintas agama, sekaligus antisipasi terhadap anasir yang memiliki kepentingan terselubung atas nama lintas agama.
Yogyakarta, 25 Shafar 1432/ 30 Januari 2011
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Irfan S. Awwas M.
Ketua
Shabbarin Syakur
Sekretaris
Menyetujui Amir Majelis Mujahidin :
Drs. Muhammad Thalib
(saif al battar/arrahmah.com)