KAIRO (Arrahmah.com) – Sama seperti Tunisia, pergerakan massa di Mesir memanfaatkan jejaring sosial untuk berkomunikasi, tukar informasi dan merencanakan gerakan. Inilah senjata ampuh mereka.
Unjuk rasa dan anarki tak lagi pilihan utama para pemberontak untuk menggulingkan kekuasaan. Internet menjadi media baru yang ditakuti.
Pasalnya, internet memudahkan masyarakat untuk berbagi informasi tanpa terbatas waktu dan tempat. Selain itu, efek yang diberikan internet tidak bisa diprediksi.
Meskipun upaya memblokir Twitter, Facebook dan situs lainnya terus dilakukan pemerintah Mesir, sebuah halaman di jejaring sosial Facebook yang mengkhususkan diri untuk merancang unjuk rasa Jumat (28/1) kemarin berhasil meraih ratusan ribu pengikut.
Kemampuan internet untuk mengumpulkan massa memang tidak terbatas.
Wajar, halaman Facebook itu dipenuhi pendapat, beberapa di antaranya cenderung berlebihan. “Amunisi telah menyala di setiap pengunjuk rasa. Demonstran yang menginginkan pemenuhan hak azazi manusia telah dibantai,” tulis salah satu pengguna Facebook.
Di sisi lain, jejaring sosial membantu wartawan memahami perkembangan situasi di area yang tidak mampu mereka jangkau. Sebagai contoh, saat wartawan asing mengalami kesulitan melaporkan situasi kota Suez, wilayah dengan tingkat kekerasan terburuk, berhasil mengeruk keuntungan dari media internet.
Aliran foto dan video di Twitter, blog, Facebook yang menyebar menjadi panduan perkembangan situasi Mesir. Di sebuah negara seukuran Mesir, bahkan media besar pun tidak bisa mengakses kawasan manapun, terutama ketika pasukan keamanan memenuhi jalanan.
Dalam salah satu tulisan Twitter misalnya, mereka menyerukan unjuk rasa besar-besaran di Giza, pinggiran Kota Kairo. Selain itu, Rabu lalu, masyarakat diminta berkumpul di Tahrir Square, pusat kota Kairo. Tentu saja ada halangan di metode tersebut karena pihak berwenang pun dapat membaca tindakan mereka. Di sisi lain, banyaknya ajakan bisa membingungkan masyarakat.
Dalam kasus apapun, media sosial dapat diambil alih sebagai perangkat organisasi, misalnya pengumpulan muslim di masjid-masjid Mesir. Mereka menyerukan unjuk rasa setelah shalat Jumat. Ikhwanul Muslimin Mesir memang paling gencar mengajak masyarakat turun ke jalan meskipun, dampak signifikan belum diketahui.
Media sosial juga merupakan sumber saran praktis bagi siapapun yang berunjuk rasa. Salah satu pengguna Twitter misalnya menyarankan masyarakat bagaimana mencuci gas air mata dari muka mereka atau mengingatkan orang untuk menghindari penggunaan lensa kontak selama unjuk rasa.
“Tiup hidung Anda dan berkumur. Gunakan obat pencuci mata dari dalam ke luar dengan kepala yang dimiringkan,” tulis salah satu pengguna Twitter terkait saran berunjuk rasa.
Ada beberapa blog dan halaman Facebook yang menarik. Salah satu aktivis Mesir menggunakan foto dramatis kerusuhan di Kairo untuk membuat poster online soal protes yang direncanakan Jumat berjudul ‘Walk Like an Egyptian’.
Beberapa pengguna lain mempublikasikan foto, video dan musik yang sempat dipublikasikan beberapa jaringan televisi internasional. Media pemerintah Mesir sejauh ini memang sedikit ‘tertutup’ melaporkan unjuk rasa itu.
Aktivis online, sebagian besar pekerja profesional atau ahli bahasa, seringkali menemukan cara untuk mengatasi halangan pemerintah. Mereka juga menawarkan aplikasi gratis yang memudahkan. “Pengguna Nokia di Mesir, Anda bisa menggunakan aplikasi Snaptu agar Twitter dan Facebook bisa diakses.”
Pengguna internet di Mesir memang kebanyakan merahasiakan identitas mereka karena sering menawarkan akses ke situs yang dilarang pemerintah. Mereka juga memanfaatkan metode mirror seperti yang digunakan Wikileaks saat situs itu ‘dibuang’ oleh server Amazon di Amerika Serikat. (sm/arrahmah.com)