TEL AVIV (Arrahmah.com) – Sejumlah pemimpin Israel cemas melihat kondisi ‘panas’ yang ada di Mesir, dan pada Minggu (30/1/2011) sejumlah analis Zionis memperingatkan jika Islam mendominasi kepemimpinan Mesir, maka hal tersebut akan menjadi ancaman bagi perdamaian kedua negara yang sudah berlangsung selama 30 tahun.
Di tengah-tengah gelombang protes yang belum pernah terjadi sebelumnya terus menelan Mesir, para pejabat Israel gugup menyaksikan perkembangan perpolitikan Mesir dan menilai kemungkinan dampak kerusuhan tersebut pada hubungan yang sudah terjalin erat antara kedua negara.
“Kami dengan seksama mengikuti apa yang sedang terjadi di Mesir dan di wilayah kami,” kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu hari Minggu (30/1) setelah mengadakan pembicaraan larut malam dengan Presiden AS Barack Obama dan Hillary Clinton.
“Perdamaian antara Israel dan Mesir telah ada selama lebih dari tiga dekade dan tujuan kami adalah untuk memastikan bahwa hubungan ini terus ada,” katanya.
Dua harian terlaris di Israel memuat headline yang sama pada halaman depan mereka hari Minggu (30/1), dengan tajuk “Timur Tengah Baru” dan memperlihatkan ketakutan bahwa fundamentalis Islam akan mengisi kekosongan politik yang ditinggalkan oleh pemerintahan otokratis Presiden Mesir Hosni Mubarak.
“Dalam situasi kacau ini, keuntungan ada di pihak-pihak seperti Ikhwanul Muslim, karena mereka adalah yang paling terorganisir dan juga yang paling tegas,” kata Benjamin Miller, pakar konflik dan keamanan Timteng dari Universitas Haifa.
Meskipun aktivis Ikhwanul Muslimin tidak sejauh ini telah menonjol dalam demonstrasi, kelompok ini memiliki keuntungan infrastruktur politik yang luas, katanya.
Israel juga sangat prihatin dengan prospek keuntungan yang akan dimanfaatkan Islam di Mesir.
Mesir merupakan negara Arab pertama yang berdamai dengan Israel pada tahun 1979. Pada tahun 1994, Yordania menjadi negara Arab kedua yang membuat perdamaian formal dengan Israel. (althaf/arrahmah.com)