PARIS (Arrahmah.com) – Sementara Amerika Serikat dan Eropa meningkatkan tekanan untuk mendorong terjadinya reformasi demokratis di Mesir, namun kenyataannya negara-negara Barat itu pun harus menghadapi tantangan bahwa kerusuhan yang sedang berlangsung di Mesir bisa menyebar keluar perbatasan, sejumlah analis menyatakan.
Amerika Serikat pada hari Minggu (30/1) meningkatkan tekanan pada presiden Mesir, Hosni Mubarak, sekutu terdekatnya di dunia Arab, untuk membuat reformasi. Menlu AS, Hillary Clinton, mendesak sekutunya itu untuk melakukan sebuah “transisi yang tertib” menuju demokrasi.
Denis Bauchard dari Institut Hubungan Internasional Perancis (IFRI) mengatakan presiden AS Barack Obama telah memimpin, menyerukan reformasi politik, tanpa menyerang Mubarak, dan “hal itu cukup cerdas,” katanya.
Lebih jauh, Clinton pada Minggu (30/1) mengatakan bahwa tindakan Mubarak untuk menyebutkan nama-nama orang yang akan menduduki posisi wakil presiden dan perdana menteri hampir tidak cukup untuk menjawab keprihatinan rakyatnya.
“Kami berusaha untuk mempromosikan transisi yang tertib dan perubahan yang akan menanggapi segala hal yang dikeluhkan oleh rakyat Mesir yang protes,” kata Clinton pada berita televisi CBS.
Clinton mendesak pemerintah dan militer “untuk melakukan segala hal yang diperlukan untuk memfasilitasi transisi semacam itu”. Desakan Clinton ini pada saat yang sama menyiratkan bahwa Mubarak, yang telah memerintah selama hampir 30 tahun, tidak boleh ikut dalam pemilihan presiden bulan September mendatang.
Inggris, Perancis, dan Jerman juga telah melakukan pembicaraan bersama pada hari Sabtu (29/1) bersamaan dengan terjadinya bentrokan jalanan antara para demonstran dan aparat keamanan Mesir yang telah menewaskan sedikitnya 125 orang.
“Kami mendesak Presiden Mubarak untuk memulai proses transformasi yang harus tercermin dalam pemerintahan yang meluas dan dalam pemilihan umum yang bebas dan adil,” kata tiga negara dalam sebuah pernyataan.
Sebelumnya, Eropa dan Amerika sebetulnya merupakan dua pihak yang mendukung rezim Mubarak, kata Didier Miliar, seorang pakar di Institut Hubungan Internasional dan Strategis (IRIS) di Paris.
“Salah satu pelajaran yang bisa kita ambil di sini adalah bahwa kita perlu berada di sisi sejarah yang di negara-negara ini,” kata Senator AS, John McCain, yang kalah pada pemilihan presiden AS tahun 2008 oleh Obama.
“Kita perlu melakukan usaha yang lebih baik dan diskusi yang menekankan hak asasi manusia,” katanya di saluran berita CNN.
Paris juga berhati-hati dalam menanggapi kerusuhan serupa di bekas jajahannya, Tunisia, agar tidak berbalik melawan Presiden otoriter Zine El Abidine Ben Ali sampai setelah ia diusir.
Pemberontakan Tunisia seolah-olah menjadi inspirasi bagi Mesir, negara yang lebih besar dan lebih strategis bagi Barat.
Analis IRIS lainnya, Pascal Boniface, mengatakan Tunisia menciptakan sebuah “model generik” untuk menantang pemerintahan otoriter, yang dapat diulang dan ditiru di Afrika, Asia, dan di mana saja kekuatan represif mendominasi dan muncul.
Obama menyampaikan pidato kunci di Kairo pada tahun 2009, tak lama setelah terpilih. Dalam pidato tersebut, dengan penuh percaya diri, Obama berjanji untuk menjangkau dunia Arab (dunia Islam).
Akan tetapi optimisme terhadap janji-janji presiden kulih hitam Amerika pertama itu semakin menyusut kemunduran seiring dengan tak kunjung terealisasinya upaya AS untuk ‘mendamaikan’ Israel-Palestina.
Sekarang, Amerika harus bertaruh banyak dalam ‘mengelola krisis’ yang menimpa sekutunya, Mesir. Sementara itu, Kuwait dan Arab Saudi mendukung Mubarak.
“Mesir tetap menjadi pion utama (bagi Barat) di Timur Tengah,” kata Miliar. Barat benar-benar sedang cemas bahwa akan terjadi efek domino jika Mubarak jatuh, dengan sebuah gerakan protes yang bisa meluas di seluruh dunia.
Para pemimpin lama seperti Mubarak di Mesir, Moamer Kadhafi di Libya, Ali Abdullah Saleh di Yaman, dan sejumlah pemimpin di sub-Sahara Afrika yang berkuasa selama lebih dari satu dekade, dinilai para pengamat sebagai sasaran potensial dari perubahan yang cukup fenomenal sepanjang sejarah.
“Benua Afrika sedang berada di fase sejarah yang genting, dengan 22 pemilihan presiden dan legislatif akan jatuh tempo pada sesaat lagi,” kata seorang pejabat senior Prancis yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
“Saat ini bukan waktu yang baik untuk para diktator,” tambahnya. “Tindakan (protes) ini bisa menular.” (althaf/arrahmah.com)