Pasukan salibis mengatakan penembak jitu yang menembak dari “lubang pembunuhan” menembuskan pelurunya ke dalam dinding berlumpur. Pejuang yang menunggu di parit yang digali di sekitar rumah-rumah petani berkumpul untuk saling melindungi. Petani yang tampaknya ujung Taliban untuk setiap pergerakan di luar, sering mengirimkan sinyal yang terdengar seperti suara burung.
Ketika pasukan dari Batalion 3, Resimen Marinir, disebarkan di distrik Sangin, provinsi Helmand, Afghanistan selatan pada September lalu, tentara Inggris yang telah lebih dulu berada di sana memperingatkan Amerika bahwa Taliban akan menunggu di setiap tempat untuk mendapat kesempatan membunuh mereka.
Namun mereka, memerintahkan bahwa pasukan harus lebih agresif dari Inggris, belajar cepat bahwa Taliban tidak hanya menunggu.
Di Sangin, Taliban datang setelah mereka.
Selama empat tahun di sana, Inggris telah kehilangan lebih dari 100 tentara, sekitar sepertiga dari seluruh kerugian negara itu dalam perang di Afghanistan.
Dalam empat bulan, 24 marinir di kamp Pendleton telah tewas.
Lebih dari 140 lainnya mengalami luka, beberapa dari mereka kehilangan anggota badan. Keluarga prajurit mengalami kehancuran.
“Kami adalah keluarga yang patah hati namun bangga,” ujar Letjen John Kelly. Ia tidak hanya berbicara untuk batalion, satu anaknya Robert Kelly tewas saat memimpin patroli di Sangin.
Mereka telah menerima tugas yang menakutkan. Menekan sebuah daerah di mana Inggris pernah ada, wilayah di mana Taliban mendominasi, wilayah di mana bom dibuat untuk membunuh dan meneror di Sangin dan provinsi tetangga, Kandahar.
Hasilnya? Batalion yang memiliki moto “Get Some” mengalami telah lebih dari 408 pertempuran dan menemukan 434 bom tepi jalan. Dan sekitar 122 bom meledak sebelum mereka temukan.
Beberapa personil yakin bahwa Taliban telah mengembangkan kemampuan untuk memilih seorang komandan atau pemimpin tim jauh lebih baik dari perang Vietnam.
Terletak pada pertemuan dua sungai di provinsi Helmand, Sangin adalah campuran dari gurun berbatu dan lahan pertanian yang membentang di mana jagung dan delima ditanam. Ada perbukitan, kebun pohon dan kanal simpang siur. Para petani bekerja di ladang mereka sementara anak-anak bermain di jalan berdebu.
“Sangin adalah salah satu tempat tercantik di Helmand, tapi sangat menipu,” ujar Sersan Dean Davis. “Ini merupakan tempat yang sangat berbahaya, bahaya yang bisa Anda rasakan.”
Tiga orang tiba di Sangin pada musim gugur lalu, mereka tahu bahwa mereka akan menghadapi perjuangan hidup mereka.
John Chase Barghusen (26), meminta untuk dipindahkan ke batalion 3-5 agar ia bisa kembali ke Afghanistan.
Derek A. Wyatt (25), seorang pemimpin pasukan infantri yang gembira mendapatkan misi ini namun khawatir tentang istrinya yang tengah mengandung anak pertama mereka.
Juan Dominguez (26), telah bermimpi untuk pergi ke medan perang sebagai marinir sejak ia hampir keluar dari sekolah dasar.
Apa yang terjadi terhadap mereka di Sangin menunjukkan harga yang harus dibayar untuk kampanye melumpuhkan Taliban di basis mereka dan membantu melepaskan Amerika dari perang yang masuk tahun kesepuluh.
Ketika Juan Dominguez menyelinap menuruni tanggul kecil saat berpatroli dan mendarat di atas bom yang ditanam, ledakan terdengar dari jarak beberapa mil.
“Itu sekitar 30-40 pound,” ujar Dominguez dari atas tempat tidurnya di rumah sakit militer di Bethesda.
“Aku menangis untuk ibuku dan morfin. Aku ingat, mereka mengambil kaki saya.”Kakinya diamputasi hingga atas lutut dan lengan kananya hancur dan tidak dapat diselamatkan. Seorang perawat mempertaruhkan nyawa dari penembak jitu, bergegas menuju Dominguez dan menghentikan pendarahan.
Dalam perjalanan Dominguez berdoa dalam hati: “Saya pikir ini adalah kehendak Tuhan, jadi sata mengatakan kepadanya ‘jika Anda akan mengambil nyawaku, maka ambillah.”
Memorinya terhadap Sangin kembali hidup. “Bagian kami berada di sana, di nekara itu,” ujarnya. “Itu membuat perut Anda mual. Keluarga miskin di sana, mereka menipu kami, karena mereka membantu Taliban.”
Seperti banyak marinir yang terluka, Dominguez sama sekali tidak pernah berpapasan dengan pejuang Taliban.
“Kami tidak tahu dengan siapa kami bertempur di sana, siapa teman dan siapa bukan,” katanya. “Mereka selalu mengawasi kami, kami pada dasarnya melakukan perang buta.”
Ibunya, Martha Dominguez, berada di rumah pada malam tanggal 23 Oktober ketika marinir datang mengetuk pintu untuk memberitahukan bahwa anaknya telah terluka parah. Dia meningalkan pekerjaannya dan berbegas ke Bethesda. Dia tidak pernah menjauhi kasur anaknya sejak saat itu. (haninmazaya/arrahmah.com)