MALI (Arrahmah.com) – Ribuan pengungsi yang melarikan diri dari konflik di Mali bertahan dalam kondisi memprihatinkan di kamp yang dikelola PBB di Mauritania, sebuah badan amal medis memperingatkan, seperti dilansir MuslimsToday pada Sabtu (13/4/2014).
Kondisinya sangat buruk bahwa orang sehat menjadi sakit setelah mereka tiba di kamp, kata Medecins Sans Frontiere (MSF), kutip BBC.
Hanya ada satu toilet untuk setiap 3.000 penduduk dan pendatang baru harus membangun tempat penampungan mereka sendiri, kata MSF.
PBB mengklaim pernyataan itu sebagai tuduhan serius, dan juga mempertanyakan beberapa temuan dalam laporan tersebut.
Badan pengungsi PBB UNHCR, yang mengawasi kamp, mengatakan beberapa fakta “tampaknya ‘ketinggalan zaman’ dan tidak mencerminkan realitas saat ini,” dan mengklaim bahwa sekarang ada lebih dari 2.500 toilet, tersedia sekitar satu untuk setiap 30 pengungsi.
MSF mengatakan sebagian dari 70.000 pengungsi kini tinggal di kamp Mbera, bagian terpencil Mauritania, menunda kembali ke rumah mereka karena ketegangan konflik di Mali utara.
“Lebih dari 100.000 orang dari utara Mali saat ini mengungsi di dalam negara mereka atau telah melarikan diri ke luar negeri sebagai pengungsi,” kata Henry Gray, koordinator darurat untuk MSF.
MSF menambahkan bahwa kondisi di kamp semakin memburuk sejak salibis Perancis memimpin intervensi militer di Mali pada bulan Januari.
Laporan MSF, Stranded in the Desert, didasarkan pada kesaksian lebih dari 100 pengungsi di kamp Mbera.
Para pengungsi hanya menerima 11 liter (2,9 galon) air per hari di tengah suhu yang panasnya berkisar 50 derajat Celcius. Di samping itu, ada rasa putus asa para pengungsi karena kekurangan toilet, meskipun diakui sekarang ada tambahan yang sedang dibangun.
Sebuah studi MSF di kamp tersebut pada November lalu mengungkapkan kondisi gizi yang kritis, dengan tingkat kematian di atas ambang batas darurat untuk anak di bawah dua tahun.
Dan kondisi memburuk sejak intervensi salibis Perancis di Mali mendorong gelombang baru 15.000 pengungsi.
Pendatang baru harus menunggu lebih dari sebulan untuk menerima materi perumahan, dan harus membangun tempat penampungan sementara dari tongkat dan potongan-potongan kain.
“Jumlah konsultasi di klinik MSF di kamp Mbera telah meningkat dari 1.500 menjadi 2.500 per minggu,” kata MSF.
“Jumlah anak yang dirawat per minggu karena gizi buruk telah menjadi lebih dari dua kali lipat, 42-106, meskipun status gizi para pengungsi yang baru umumnya baik ketika ditinjau di kamp.”
MSF mengatakan situasi telah membaik dalam beberapa pekan terakhir.
Tapi MSF segera menyerukan kepada UNHCR dan organisasi bantuan yang beroperasi di kamp itu untuk melipatgandakan upaya mereka dalam menyediakan tempat tinggal, air bersih, toilet, dan makanan pada standar kemanusiaan minimum.
Kekhawatirannya adalah bahwa para pengungsi – yang kebanyakan adalah perantau – akan meninggalkan kamp, tapi tidak akan dapat kembali ke rumah mereka karena konflik yang berkepanjangan, kecuali jika kondisi di kamp membaik secara signifikan, kata analis Mary Harper kepada BBC Afrika.
UNHCR mengklaim sedang mempelajari laporan itu secara rinci.
“Masalah gizi buruk di kamp Mbera merupakan perhatian utama dan telah menjadi perhatian utama selama beberapa waktu … Kami menganggap laporan itu sebagai tuduhan serius,” klaim juru bicara UNHCR, Dan McNorton.
“Bagaimanapun, beberapa fakta yang terdapat dalam laporan [MSF] itu tampaknya ‘ketinggalan zaman’ dan tidak mencerminkan realitas saat ini.”
Dia mengklaim jumlah toilet di kamp meningkat, ada juga lebih dari 570 titik air dan lebih dari 1.500 kamar mandi.
Badan-badan yang beroperasi di kamp sudah, “mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan taraf kesehatan keseluruhan” dan “upaya tambahan telah diadakan di sana sejak awal tahun untuk mengatasi masalah malnutrisi dalam menanggapi situasi kritis ini,” tambahnya. (banan/arrahmah.com)