JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Forum Silaturahmi Umat Islam Poso, KH Adnan Arsal, menolak pernyataan Kepala BNPT yang menyebut Poso sebagai salah satu pusat terorisme di Indonesia. Selain Poso, Mbai menyebut dua kota lainnya, Jakarta dan Solo, juga sebagai pusat teroris.
“Kami tidak terima, Poso dituduh sebagai pusat teroris,” KH Adnan Arsal dalam diskusi publik “Memberantas Terorisme tanpa Teror dan Melanggar HAM” di Auditorium Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (11/4/2013).
Jika dikaitkan dengan peristiwa yang disebut aparat sebaagai terorisme, seperti Bom Bali, Adnan mengaku tidak tahu menahu soal peristiwa tersebut.
“Kami tdak tahu peristiwa Bali, kami tidak tahu peristiwa WTC. Kenapa tiba-tiba mengarah Poso sebagai pusat teroris. Saya minta data kepada Ansyaad, kenapa beliau tidak hadir?”, Adnan balik mempertanyakan ketidakhadiran Ansyaad Mbai sore itu.
Adnan menjelaskan, peristiwa Poso memiliki latar belakang berbeda dengan kasus-kasus lain. Di Poso pernah terjadi konflik antara umat Islam dengan kaum Nasrani pada 1998 dan 2000 lalu. Saat itu, meski telah empat kali dilakukan perdamaian, tetapi kaum Nasrani selalu ingkar.
“Empat kali kami berdamai, perdamaian. Setiap kali habis menandatangani perdamaian, umat Islam diserang. Empat kali, akhirnya saya berfikir, apa yang haru saya lakukan,” kata Adnan.
Melihat kondisi seperti itulah, Adnan mengaku akhirnya menghubungi sejumlah pihat terkait untuk melakukan pembelaan terhadap umat Islam. Tokoh umat Islam Poso ini akhirnya menghubungi Gubernur Sulawesi Tengah, pimpinan MUI dan Kepala Kantor Departemen Agama setempat. “Saya komadokan jihad,” kata Adnan.
Dalam kondisi terdesak umat Islam akhirnya bangkit melawan secara fisik. Sebab musuh mereka menyerang umat Islam melewati Kompi 711. “Mereka tidak dilarang, dibiarkan. Ini ketidakadilan,” jelasnya.
Adnan lantas menceritakan pembantaian yang dilakukan Laskar Kristen di Pesantren Walisongo. Jumlah mereka yang menyerang sekitar lima ribu orang. Anak-anak dibantai di Masjid dalam pesantren tersebut. Bahkan ditemukan sejumlah 41 kepala mayat yang dibuang di laut tanpa kepala.
Anak-anak dan saksi mata itu sebelumnya dikumpulkan dan diamankan oleh aparat di Masjid. Tetapi setelah ditinggal, mereka justru dibantai oleh kaum Salibis. “Ini latar belakang kekerasan, melebihi teroris,” tandasnya.
Menurut Adnan, umat Islam di Poso hanyalah melakukan perlawanan atas kebiadaban yang menimpa mereka. Sekaligus kembali merebut wilayah yang sebelumnya dikuasai umat Islam dan direbut kalangan Nasrani. “Kami merebut wilayah dan membela hak-hak umat Islam,” ungkapnya.
(SI Online/arrahmah.com)