Catatan Agung Pribadi (HISTORIVATOR)
(Arrahmah.com) – Saat ini di DPR sedang dibahas RUU keormasan dimana Pancasila kembali akan dijadikan asas bagi ormas.
Ini adalah Déjà vu bagi umat Islam ketika Benny Moerdani menggarap (mengobok-obok) dan mengintervensi ormas-ormas Islam supaya tidak radikal dan tidak memperjuangkan masuknya syariat Islam ke dalam sistem bernegara di Indonesia.
Supaya hal ini tidak terulang lagi patut kita pelajari sejarah bagaimana penguasa Orde Baru memaksakan dan menghancurkan ormas Islam melalui asas tunggal Pancasila.
Adalah Leonardus Benyamin Moerdani atau yang lebih dikenal dengan LB Moerdani, otak anti Islamnya Orde Baru. Ia meneruskan sepak terjang Ali Moertopo.
Daftar perbuatan Benny begitu panjang atas umat Islam. Salah satu yang paling fenomenal adalah kasus Tanjung Priok. Tapi sayangnya, ia lolos dari jeratan hukum dunia.
Pada 1983-1985 Benny melakukan penggarapan (penggarapan adalah istilah Ali Moertopo untuk mengobrak-abrik gerakan ormas dan partai politik, demikian menurut Dahlan Ranuwihardjo) terhadap umat Islam dengan memuluskan perintah Soeharto agar semua ormas dan parpol berasaskan Pancasila.
Garapan pertama Benny adalah PII, Pelajar Islam Indonesia. Organisasi pelajar ini memiliki sejarah harum di masa lalu. Gagasan asas tunggal Pancasila menjadikan PII berjuang di bawah tanah. Sebab tahun 1985 PII merencanakan kongres menolak Pancasila sebagai asas. Dan sejak saat itu, organisasi ini dijadikan ilegal. PII juga dicap sebagai ekstrem kanan oleh pemerintah Orde Baru.
“Kakak” PII yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) juga digarap oleh Benny Moerdani. Hanya bedanya HMI tidak menjadi organisasi ilegal melainkan pecah menjadi dua. HMI Dipo 16 yang menerima Pancasila sebagai asas dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal.
Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh HMI berjalan alot. Pada mulanya, dalam persiapan kongres 1983 sudah ada utusan-utusan pemerintah yang alumni HMI atau penyebutan oleh anggota HMI saat itu adalah “antek-antek pemerintah”. Terjadilah konflik antara anggota HMI dengan alumni HMI.
Benih-benih konflik ini semakin tersemai dan terbuka dalam kongres di Padang, tahun 1986. Menyadari potensi reaktif HMI yang radikal, pemerintah mulai menggarap anggota-anggotanya yang dianggap akomodatif.
Melalui berbagai lobi yang dilakukan oleh Abdul Gafur dan Akbar Tandjung, mereka berhasil meyakinkan HMI untuk mencari “jalan selamat”. Dalam sidang pleno PB HMI 1983/1985 tanggal 5 April 1985 di Ciloto Jawa Barat, HMI menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Pelaksanaan kongres ini sempat tertunda beberapa bulan karena adanya conditioning oleh pemerintah. Kemudian tokoh-tokoh akomodatif diberi lampu hijau oleh pemerintah dan tokoh-tokoh garis keras seperti Abdullah Hehamanua dan Eggi Sujana diberi lampu merah.
Terpilihlah Saleh Khalid sebagai Ketua Umum PB HMI. Persoalan tidak berhenti sampai di situ karena keputusan ini ditolak oleh banyak sekali anggota HMI. Mereka berpendapat bahwa penetapan Pancasila sebagai asas tunggal diterima tidak melalui kongres.
Mereka yang menolak ini membentuk HMI Tandingan berupa HMI MPO dan mencoba “mengadili” pengurus HMI bentukan pemerintah. Sejak saat itu muncul pengurus tandingan pada banyak cabang HMI di Indonesia. Dan sejak saat itu pula HMI MPO disebut ekstrem kanan.
Rangkaian berikutnya adalah catatan fenomenal lain yang terkait dengan nama Benny pada tahun 1984. Saat meletusnya tragedi Tanjung Priok. Selain kondisi masyarakat yang memang sangat tidak puas terhadap pemerintah dan mendapat “suntikan” dari para penceramah yang dianggap “keras”, unsur rekayasa dan provokasi juga terlihat (walaupun masih misteri sampai saat ini). Materi ceramah yang di antaranya penolakan keras terhadap asas tunggal Pancasila makin menambah panas hawa Jakarta kala itu.
Yang juga menarik adalah peristiwa sesudahnya yaitu kasus “lembaran putih” berupa surat protes yang dikeluarkan oleh Petisi 50. “Lembaran putih” ini juga berisi himbauan agar pemerintah tidak memaksakan asas Pancasila kepada semua partai dan ormas.
“Lembaran putih” ini dijadikan alasan oleh Benny Moerdani menangkapi sejumlah dai dan tokoh seperti AM Fatwa, Abdul Qadir Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardhie, dan lain-lain.
Menurut Panji Masyarakat yang terbit pasca persidangan, kasus ini benar-benar seperti dagelan.
Orang-orang tersebut di atas juga disebut ekstrem kanan. Beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok, tanggal 4 Maret 1985, timbul peristiwa peledakan dua kantor BCA di Jakarta.
Di malam Natal dua gereja diledakkan di Malang, Jawa Timur. Sebulan kemudian tepat pada tahun baru 1986, sembilan stupa Candi Borobudur diledakkan. Hal yang lucu adalah yang dituduh sebagai pelaku pengeboman ini antara lain adalah Hussein Al Habsyi, seorang dai tunanetra. Bagaimana mungkin ia dituduh menjadi pelaku pengeboman? Pelaku pngeboman ini juga dicap ekstrem kanan.
Pada 1987 di Aceh muncul barisan jubah putih dipimpin Teuku Bantaqiyah. Gerakan ini mencita-citakan tegaknya Islam sedunia. Bulan Mei 1987, dengan berjalan kaki di desa Blang Beuradeh, Beutung Aseuh, Aceh Barat, kelompok ini menyampaikan sikap dan aksinya. Hingga terjadi beberapa kekerasan.
Benny langsung menyebutnya sebagai gerakan ekstrem. Dan, beberapa waktu kemudian, Teuku Bantaqiyah berserta pengikutnya ditemukan tewas terbantai, mengenaskan.
Lalu ada pula cap peristiwa Lampung yang disandangkan pada penduduk sebuah kampung di Lampung? Gerakan ini meletus ke permukaan pada Februari 1989. Mereka membunuh beberapa anggota ABRI. Sedangkan di pihak rakyat Lampung jatuh 27 korban termasuk sosok yang disebut-sebut sebagai pimpinan gerakan, Anwar alias Warsidi.
Pemerintah menyebut pelaku peristiwa Lampung ini sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) dan Ekstrem Kanan. Kemudian juga terkuak kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh yang berubah menjadi arena killing field alias ladang pembantaian.
Begitu juga sosok dan karir Benny saat pembajakan pesawat Garuda yang lebih dikenal dengan sebutan Kasus Woyla terjadi. Benny naik daun.
Dalam kasus ini performance Benny sebagai seorang intel sejati, betul-betul tergambar. Saat pelumpuhan pembajak telah usai, ketika kilauan lampu blitz menyambar wajahnya, justru di saat itulah Benny tak tergoda.
Sebagai seorang intel, Benny benar-benar sempurna menyembunyikan jati dirinya, dan itu pula yang menambah kesan misterius pada sosok ini. Padahal, Benny ikut terlibat langsung dalam proses pelumpuhan kasus pembajakan pesawat Woyla itu.
Diam-diam, setelah kasus usai, Benny pergi lewat pintu ekor pesawat. Naik taksi dan langsung menuju Cendana untuk melaporkan tugasnya pada bos besar kala itu, Soeharto.
Benny memang telah meninggalkan apa yang telah ia jaga dan lakukan selama ini. Tapi, masa jabatannya yang lebih dari 40 tahun dalam dinas militer, terutama intelijen, tentu punya arti lain.
Gagasan dan pikiran-pikiran Benny, sesungguhnya tak pernah mati. Kematian Leonardus Benyamin Moerdani hanya sebuah pertanda, satu babak telah usai. Dan kini, babak baru sedang dimulai.
Apa yang dilakukan Densus 88 benar-benar memfotokopi sepak terjang Benny Moerdani. Dan, karenanya, dalam serangkaian rentetan cerita ini, kita juga harus waspada dengan rencana penerapan asas Pancasila yang saat ini sedang digodok di DPR. Pemaksaan asas Pancasila, sebagaimana di era Soeharto, jangan pernah terulang lagi! Yang kala itu memakan korban jiwa yang tak sedikit.
(salam-online.com/arrahmah.com)