WASHINGTON (Arrahmah.com) – Pemerintah Amerika berencana akan menerbangkan ribuan pesawat tak berawak, drone, di atas langit Amerika.
Kabar ini sangat meresahkan banyak orang, terutama bagi mereka yang tinggal di Amerika. Namun Federal Aviation Administration (FAA) malah meyakinkan bahwa rencana ini tinggal menunggu waktu, seperti dilansir KC pada Jumat (29/3/2013).
FAA memprediksi bahwa sistem kawanan pesawat tak berawak tersebut akan melenggang bebas di langit Amerika dalam waktu lima tahun mendatang, dengan patroli yang mencapai 10.000 sistem pesawat tak berawak komersial aktif (UAS) pada tahun 2020.
Melihat tren penerbangan sampai dengan tahun 2032, proyek FAA dari industri UAS berkembang dengan cepat.
“Di Amerika Serikat saja, lebih dari 50 perusahaan, universitas, dan organisasi pemerintah sedang mengembangkan dan memproduksi sekitar 155 desain pesawat tak berawak”, menurut badan tersebut.
Pada bulan Februari, FAA mengatakan telah mengeluarkan 1.428 izin kepada operator pesawat domestik sejak tahun 2007, angka yang jauh melebihi sertifikasi sebelumnya. Sementara itu, sekitar 327 izin terdaftar aktif.
Tingkat mengejutkan dari pertumbuhan teknologi ini berpotensi mengundang kekhawatiran dari kelompok hak asasi yang mengungkapkan keprihatinan atas masalah privasi dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
American Civil Liberties Union (ACLU) pada Desember 2011 menerbitkan sebuah studi berjudul, “Melindungi Privasi dari Pengawasan Udara” yang terkait dengan penggunaan teknologi drone.
“Berdasarkan tekanan tren pengembangan teknologi, kepentingan penegakan hukum, politik dan industri saat ini, dan kurangnya perlindungan hukum-jelas bahwa drone menimbulkan ancaman besar terhadap privasi orang Amerika,” kata ACLU.
Laporan ini kemudian menghadirkan keresahan masa depan di mana sistem pesawat tak berawak mengambil alih dan menjadi pusat alat penegak hukum:
“Armada UAV, yang saling berhubungan dan ditambah dengan perangkat lunak analisis, bisa memungkinkan pelacakan massa kendaraan dan pejalan kaki di sekitar wilayah yang luas,” ungkap studi tersebut. “Penggunaan drone juga bisa diperluas dari pengawasan ke intervensi yang sebenarnya dalam situasi penegakan hukum.”
ACLU menyatakan bahwa teknologi udara baru itu bahkan dapat digunakan untuk “melawan demonstran (mungkin dengan mengerahkan gas air mata atau teknologi lainnya), menghentikan kendaraan yang melarikan diri, atau bahkan menyebarkan senjata.”
Jaksa Agung AS, Eric Holder, baru-baru ini membela penggunaan kekuatan militer mematikan terhadap orang Amerika di negara asalnya sendiri, mengatakan hal itu akan dianggap sah dan dibenarkan dalam “keadaan yang luar biasa.”
Banyak orang yang akrab dengan UAS dari apa yang mereka ketahui tentang penggunaan militer AS mereka di zona perang, di mana pesawat dapat memata-matai target musuh, serta membidik mereka dengan senjata.
Saat ini sebagian besar serangan drone Amerika telah diterbangkan di Pakistan – mencapai 365 serangan, menurut sebuah studi oleh Investigasi Biro Jurnalisme dari Inggris. Kampanye rahasia yang menurut data resmi diperkirakan telah menewaskan 4.700 orang di Pakistan, Yaman dan Somalia, seperempat dari para korban diperkirakan merupakan warga sipil.
Bahkan jumlah anak-anak dan wanita yang dibunuh oleh drone mencapai 70% dari total keseluruhan korban.
Organisasi yang berbasis di London tersebut menambahkan bahwa pesawat tak berawak juga telah menewaskan antara 474 dan 881 warga sipil – termasuk 176 anak-anak – di Pakistan antara tahun 2004 dan tahun lalu.
Serangan-serangan itu telah memunculkan ketegangan pada hubungan AS dengan negara-negara sekutunya di kawasan itu. Tujuan pemerintah Amerika dalam pengguanaan teknologi ini menjadi sangat mencurigakan, terutama setelah pemerintahan Obama mengatakan berhak untuk membunuh orang Amerika yang diyakini menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional – tanpa proses hukum apapun.
Selama ini Al-Qaeda juga diidentifikasi sebagai target drone-drone Amerika, hal ini membuat kritikus Amerika bertanya-tanya apakah kekuatan drone ini suatu hari juga akan berlaku untuk kelompok-kelompok lain yang mengganggu Washington.
Bahkan pada tanggal 6-7 Maret, Senator Rand Paul melakukan apa yang Washington Post sebut sebagai usaha penggagalan undang-undang terpanjang dalam upaya untuk memprotes penggunaan serangan pesawat tak berawak terhadap warga Amerika.
Dengan menjatuhkan rudal hellfire, “Anda tidak bisa menjadi hakim, juri dan algojo sekaligus.”
Rand mengutip Amandemen Kelima Konstitusi AS dalam kritiknya terhadap apa yang ia yakini sebagai penyalahgunaan kantor eksekutif.
“Amandemen Kelima melindungi Anda, termasuk melindungi dari Anda dari seorang presiden yang mungkin membunuh Anda dengan drone,” tambahnya. (banan/arrahmah.com)