JAKARTA (Arrahmah.com) – Terdakwa kasus terorisme Aceh, Ustadz Abdullah Sunata dalam eksepsinya menilai dakwaan terhadap dirinya dibuat Jaksa Penuntut Umum (JPU) secara sembrono, terkesan kabur, tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap (obscuur libel).
Sidang lanjutan Ustadz Abdullah Sunata, terdakwa yang diduga terlibat kasus terorisme di Aceh kembali digelar, Rabu (5/1/2011), dengan agenda pembacaan Eksepsi (nota keberatan) terhadap Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan sebelumnya (14/12/2010).
Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum Ustadz Abdullah Sunata dari Tim Pengacara Muslim (TPM), membeberkan tatacara pemeriksaan (penyidikan) yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Dimulai dari tingkat kepolisian, saat terdakwa masih berstatus tersangka atas dugaan telah melakukan tindak pidana terorisme, di mana terdakwa tidak mendapat hak-hak hukum sebagaimana mestinya.
“Bukan karena tidak didampingi penasihat hukum, akan tetapi tidak diberikan hak-haknya oleh penyidik untuk menentukan dan menunjuk penasihat hukum sendiri. Lalu memaksakan Asludin Hatjani cs yang merupakan bentukan oknum-oknum polri untuk menjadi kuasa hukumnya. Bahkan Asludin mengaku-ngaku sebagai Tim Pengacara Muslim, “ ungkap TPM.
Atas pencatutan Asludin Hatjani yang mengatasnamakan TPM, Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Pengacara Muslim Indonesia telah membantah dengan tegas terkait kedudukan Asludin sebagai anggota yayasan. “Kami sudah melaporkan hal ini kepada Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim untuk membentuk tim atas dugaan skandal penunjukan penasihat hukum yang dipaksakan,” jelas TPM.
Pemaksaan penunjukan penasihat hukum, menurut TPM, jelas-jelas telah melanggar ketentuan Pasal 54, 55, 56 ayat (1) KUHAP tentang hak menentukan penasihat hukum sendiri. Karena itu, upaya penghalangan atas hak-hak terdakwa (Abdullah Sunata) terdahulu selama pemeriksaan di tingkat penyidikan untuk menunjuk penasihat hukumnya sendiri. “Tindakan penghalangan itu jelas melanggar hukum
Setelah diperjuangkan, kuasa hukum terdakwa kemudian diambil alih oleh TPM dengan segala resikonya, seperti perlakuan diskriminatif selama berada di tahanan, dipersulit untuk mendapatkan kunjungan keluarga hingga kemungkinan untuk dipindahkan tahanan ke sel yang jauh lebih buruk.
Surat Dakwaan Kabur
Seperti diketahui, yang menjadi dasar dan pokok dakwaan JPU terhadap Abdullah Sunata, lelaki kelahiran 4 Oktober 1978 ini, adalah penggunaan senjata api yang berasal dari terdakwa atas pelatihan asykari/militer di Hutan Perbukitan Desa Jalin Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar.
Masih menurut dakwaan JPU, pada akhir bulan Januari 2009, pelatihan militer di Hutan Perbukitan Desa Jalin Kecamatan Jantho Kabupaten Aceh Besar dimulai dengan peserta lebih kurang 40 orang. Peserta pelatihan militer tersebut dibagi dalam beberapa regu dengan perlengkapan berupa senjata api laras panjang dan pendek beserta amunisi/peluru.
Pada saat kegiatan latihan militer berjalan, kegiatan tersebut diketahui oleh aparat kepolisian Polres Aceh Besar dan terjadilah baku tembak antara aparat kepolisian dengan peserta pelatihan militer di pemukiman Desa Lamkabeu Kecamatan Selimun yang mengakibatkan tiga orang anggota Brimob Polri tewas dan satu warga Desa Lamkabeu, serta 11 orang anggota Brimob lainnya mengalami luka tembak.
Dalam dakwaan pertama primair, subsidair dan kedua oleh JPU, terdakwa dinilai telah melakukan permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dengan sengaja. JPU juga mendakwakan Abdullah Sunata dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan dengan menyembunyikan pelaku serta informasi terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
Surat dakwaan juga menyebutkan, pada bulan Februari 2010, terdakwa mengetahui dari pemberitaan media bahwa dirinya dinyatakan DPO oleh pihak kepolisian, karena terlibat aksi tindak pidana terorisme di Nangroe Aceh Darussalam.
TPM dalam eksepsinya menilai, surat dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum (JPU) secara sembarangan dan sembrono. Dakwaan yang ditimpakan terhadap terdakwa, terkesan kabur, tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap (obscuur libel).
“Dakwaan JPU itu tidak benar dan tidak dapat dijadikan alasan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan tindak pidana terorisme. JPU tidak menguraikan unsur delik dari semua pasal yang didakwakan. Lalu, bagaimana mungkin terdakwa melanggar suatu perbuatan tindak pidana, tetapi perbuatan materiil deliknya tidak diuraikan,” tegas TPM yang diketuai oleh Achmad Michdan SH.
Dalam bantahan TPM, dakwaan pertama primair, subsidair dan kedua JPU, kata TPM, tidak jelas menentukan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti), bahkan terindikasi terjadi error in objecto. Dakwaan JPU tidak jelas mengurai cara-cara yang ditempuh terdakwa ketika melakukan pemufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Dakwaan JPU juga tidak jelas soal bagaimana cara terdakwa menyembunyikan pelaku dan informasi tindak pidana terorisme. Dengan demikian, surat dakwaan JPU dinyatakan batal demi hukum.
TPM juga menyatakan, PN Jakarta Timur tidak berwenang mengadili perkara ini. Dakwaan harusnya dilaksanakan di PN Depok atau PN Jakarta Selatan, mengingat terdakwa saat ini ditahan di Kepolisian Resort (Polres) Jakarta Selatan. TPM menyatakan, surat dakwaan JPU batal demi hukum, dan meminta hakim ketua melepaskan dan membebaskan terdakwa dari rumah tahanan negara. (voa-islam/arrahmah.com)