BANDA ACEH (Arrahmah.com) – Upaya penanggulangan bencana alam di Indonesia dinilai masih amburadul, akibat belum adanya standar operasional prosedur (SOP) nasional dimiliki Pemerintah.
Peneliti kebencanaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, Fidel Bustami di Banda Aceh, Rabu (22/12/2010) mengatakan, ketiadaan SOP nasional dimiliki Pemerintah saat ini, menyebabkan penanggulangan bencana tidak terarah dan kordinasi antar instansi terkait juga kacau.
“Yang terjadi di Indonesia sekarang campur aduk, tidak jelas. Pada saat bencana baru sadar, belum ada komitmen dari petinggi negara kita,” katanya dalam seminar “jurnalisme bencana” di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh.
Pemerintah dinilai hanya terlihat “panik” saat bencana datang, tetapi komitmen untuk mencegah bencana yang seharusnya bisa dilakukan belum terlihat keseriusannya.
Ketika terjadi bencana, kata dia, juga tidak terlihat adanya kordinasi yang baik antara lembaga-lembaga teknis, karena ketiadaan SOP yang jelas dimiliki secara nasional.
“Kita belum melihat bagaimana koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan Badan Meteorogi Klimotologi dan Geofisika (BMKG) dan juga dengan Kementerian Kordinator Kesejahteraan Rakyat bisa lebih tajam supaya upaya penanganan bencana lebih bagus,” ujarnya.
Begitu juga dengan melibatkan aparat keamanan dalam mengurusi tanggap darurat, tidak selamanya berjalan mulus, kerap pula terjadi kericuhan karena ketidaksiapan mereka dalam mengendalikan emosi warga terkena bencana.
Ketidakseriusan Pemerintah juga terlihat dimana hingga sekarang belum ada lembaga yang bisa memberikan informasi mitigasi bencana secara detail kepada media, untuk diberitakan sebagai upaya memahamkan sekaligus menyiapkan masyarakat menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
“Bahkan sekarang peta mitigasi bencana ada, tetapi tidak pernah dipublikasikan,” kata Fidel yang juga menyebutkan seluruh wilayah di Indonesia rawan bencana karena negeri ini terletak pada “Titik api”.
Menurutnya saat ini hanya Aceh yang sedikit maju dalam menanggulangi bencana, dimana Provinsi yang pernah dihantam tsunami 26 Desember 2004 itu sudah memiliki SOP skala daerah.
Sementara itu, wartawan juga penulis buku “Jurnalisme Bencana dan Bencana Jurnalisme” Ahmad Arif mengatakan, meski Indonesia rawan bencana, pemberitaan tentang mitigasi bencana belum menjadi isu “seksi” bagi media saat ini.
“Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah ada, mitigasi bencana jadi topik di media. Media selalu melihat bencana itu menarik ketika tragedi,” kata dia.
Pemberitaan bencana dinilai juga sering memicu ketakutan berlebihan bagi masyarakat akibat terlalu dibesarkan atau keliru, akibat sebagian media hanya memberitakan bencana untuk mengejar rating atau pembaca.
Arif mengatakan, sebagian besar media dalam meliput bencana hanya fokus kepada jumlah korban meninggal, seharusnya mereka lebih menonjol korban yang bisa diselamatkan dan mengundang empati lewat beritanya.
Sementara Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Mukhtaruddin Yacob menilai, sebagian media saat ini juga menjadikan bencana sebagai ajang melatih mental bagi wartawan baru.
“Wartawan baru yang belum cukup dibekali tentang kebencanaan ditugaskan meliput bencana, sehingga mereka sering keliru dalam memberitakan dan timbullah bencana baru,” katanya.
Menurutnya televisi merupakan media paling banyak melanggar etika dalam memberitakan bencana selama ini, terutama melalui tayangan langsung yang menjadi trend untuk mengejar rating saat ini. (ant/arrahmah.com)